Kelompok tani Sekato Jayo di Desa Lubuk Mandarsah, Kabupaten Tebo, adalah salah satu kelompok yang sampai saat ini masih berkonflik dengan perusahaan PT WKS (APP Sinar Mas). Konflik yang telah terjadi sejak 2007 itu sampai sekarang belum terselesaikan. Saat masa pandemi Covid-19, konflik kembali terjadi.
Masyarakat tani di desa itu berharap konflik ini dapat segera terselesaikan. Mereka minta pemerintah bisa melindungi keberadaan petani supaya mereka dapat memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari.
Liputan ini adalah hasil fellowship Jurnalisme Mengawal Transparansi & Akuntabilitas Penanganan Pandemi Covid-19 yang diselenggarakan AJI Indonesia dan UNESCO.
***
Menjelang sore yang masih terik, ketika Ahmad baru beranjak beberapa meter menyusuri sebidang lahannya, tiba-tiba langkah kakinya terhenti. Tatapannya langsung masygul saat menunjukan jejeran tanaman jengkolnya yang baru ditanam di Bukit Rinting, Desa Lubuk Mandarsah, Kabupaten Tebo, Jambi.
“Saya masih sedih, tanaman jengkol saya mati, kering,” ujar laki-laki 40 tahun itu sembari menunjukan jejeran tanaman pohon jengkol setinggi 30 centimeter yang mati.
Kemasygulan itu tak bisa disembunyikan dari raut muka Ahmad. Sebab, bibit jengkol anggota kelompok tani Sekato Jayo itu kata dia, bantuan dari pemerintah yang baru ia tanam. Belum tumbuh sempurna, tanamanya mendadak terkena racun herbisida yang disemprot menggunakan pesawat nirawak (drone) oleh PT Wira Karya Sakti (WKS), kelompok usaha APP Sinar Mas.
“Punya saya ada 200 batang jengkol dan duren yang baru ditanam, 40 batang disemprot dan digilas mati. Belum lagi di sebelah sana, tanaman sayur juga mati,” ujar Ahmad kepada jurnalis Kilasjambi.com di lokasi lahannya pada medio Juli 2020 lalu.
Di antara tanaman yang nelangsa itu, Ahmad menceritakan kronologi bagaimana saat itu drone dioperasikan–menebarkan racun herbisida. Kebetulan waktu itu ia berada di lokasi. Setelah mengetahui yang disemprotkan adalah herbisida gulma, lantas dia dan beberapa petani lainnya yang melihatnya langsung mengejar operator drone supaya menghentikan kegiatannya.
Pesawat nirawak saat itu kata Ahmad, diterbangkan mencapai ketinggian 15 meter, kadang lebih tinggi lagi meliuk-meliuk di udara. Perbuatan perusahaan dengan menggunakan drone–menyemprotkan herbisida itu juga mengenai tanaman produktif lainnya milik rekan Ahmad, sesama anggota kelompok tani Sekato Jayo.
“Kami tidak mau ribut, tapi sekarang tengoklah, tanaman kami mati, kuning-kuning sampai mati busuk, kemungkinan dosis untuk gulma yang dipakai besar,” ucap Ahmad.
Konflik yang terjadi antara petani dengan PT WKS telah berlangsung sejak lama dan telah terjadi rentetan konflik sebelumnya. Konflik ini pun kembali memuncak saat masa pandemi. Tindakan yang dilakukan perusahaan pada saat pandemi Covid-19 ini menjadi ancaman bagi petani, sekaligus menjadi ancaman bagi keberlangsungan pangan keluarga.
Alih-alih memberi ruang kepada petani untuk mengembangkan tanaman pangan, perusahaan besar Asia Pulp and Paper (APP Sinar Mas) melalui pemasoknya di Provinsi Jambi PT WKS justru menggusur pertanian produktif yang menjadi sumber pangan masyarakat.
Humas PT WKS, Taufik Qurochman mengklaim, penyemprotan herbisida itu disebut dengan kegiatan Pre-Planting Spraying (PPS). Itu dilakukan perusahaan untuk mempertahankan lahan untuk tanaman industri di wilayah konsesi mereka. “Kami sadar metode tersebut adalah baru, menggunakan teknologi drone. Namun kami tetap mengedepankan Standar Operating Prosedur (SOP) yang mengutamakan keamanan dan keakuratan,” kata Taufik.
Taufik menyebut, perusahaan senantiasa berupaya mengedepankan dialog untuk mencapai kesepahaman dengan pihak terkait. Selain itu ia mengklaim menjunjung tinggi seluruh hukum dan perundang-undangan yang berlaku dalam penyelesaian konflik antara perusahaan dengan kelompok tani.
Namun hal itu berbanding terbalik dengan klaim perusahaan. Justru yang terjadi di lapangan pelbagai kriminalisasi masih kerap dialami petani. Bahkan setelah penyemprotan herbisida, seorang petani masih mengalami kriminalisasi. Ahmad dilaporkan perusahaan ke polisi atas tuduhan perambahan hutan akasia. Ahmad secara kooperatif datang ke Polres Tebo dan menjelaskan bahwa ia menanam lahannya sendiri yang menjadi haknya. Di lokasi yang ditanami itu kata Ahmad, tidak ada pohon akasia.
“Udah sampai disitu, sampai saat ini perusahaan tidak mencabut laporannya, saya minta salinan BAP tidak dikasih, alasannya saya bukan tersangka,” ujar Ahmad.
Setelah insiden penyemprotan herbisida, kriminalisasi terhadap petani masih terjadi. Pada 28 April, petani bernama Agus saat membersihkan kebunnya didatangi dua orang berbadan tegap dan beberapa orang pengamanan perusahaan. Agus tak bergeming ketika dihardik oleh orang “suruhan” perusahaan. “Tiba-tiba terus dikeluarkan dua kali tembakan ke atas,” kata Agus.
Selain itu, pasca-penyemprotan itu pihak perusahaan sengaja menaruh dua unit alat berat di sekitar garapan di lahan warga. M Jais, Ketua Poktan Sekato Jayo, menduga alat berat itu sengaja ditaruh oleh perusahaan. Hal itu menurut Jais, supaya petani tersulut emosinya.
Logikanya sambung Jais, alat berat tersebut dalam sehari hanya dioperasikan dua jam. “Tanaman kami diinjak, logikanya alat berat itu sudah buruk, jadi memang sengaja dipasang supaya kami marah dan merusak alat berat itu,” kata M Jais. “Tapi kami diam saja, kami tahu itu pancingan, kalau merusak nanti pasti akan dilaporkan dan kami menjadi berhadapan dengan hukum.”
Tak hanya dibayangi ketakutan, setelah insiden penyemprotan herbisida dan kriminalisasi itu, petani juga kehilangan masa panen dan tak bisa memetik hasil. Akibat penyemprotan racun itu, petani juga merugi secara materil dan tenaga.
Berdasarkan hitungan yang dilakukan kelompok tani Sekato Jayo bersama tim Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jambi, tanaman petani yang rusak akibat penyemprotan racun menggunakan drone itu mencapai 2 hektar.
“Petani yang tanamannya mati mengalami kerugian jutaan rupiah, belum lagi kerugian tenago,” kata M Jais.
Setelah peristiwa penyemprotan drone, dan petani telah membeberkan jumlah kerugian, namun kata M Jais, sampai sekarang mereka belum mendapat ganti rugi. “Yang tanamanya mati itu punyanya Pak Surbakti, pak Halim, juga punya Ahmad,” kata dia.
M Jais mengatakan, kelompok tani yang diketuainya itu mempunyai hak menggarap tanah seluas 1.500 hektar. Tanah tersebut kata dia, merupakan tanah adat Desa Lubuk Mandarsah, yang diamanahkan Lembaga Adat setempat kepada Poktan Sekato Jayo untuk digarap menjadi ladang pertanian dan perkebunan.
“Tahun 1985 orang tua saya sudah buka ladang pertanian di sini,” kata Jais.
Nelangsa Setelah Tak Bisa Panen
Ahmad lalu beranjak mengajak saya ke lahan milik kawannya yang bernama Surbakti. Jaraknya yang hanya sepelemparan batu dari lokasi lahannya, Ahmad menunjukan beragam tanaman sayuran seperti cabai dan semangka yang ditanam di atas tanah seluas setengah hektar. “Ini juga terimbas penyemprotan racun herbisida yang dilakukan perusahaan,” kata Ahmad menunjukan jejeran tanaman cabai itu.
Puluhan batang cabai rawit yang telah ditanam berjejer itu daunnya kerontang, buahnya tak ada. Padahal saat ini menurut Ahmad, tanaman cabai tersebut merupakan puncaknya periode panen.
Namun apa daya, harapan petani untuk memetik hasil pertaniannya kini pupus sudah. Tak hanya cabai, tanaman semangka di lahan itu pun sudah ludes, tak bisa dipanen. Sebuah pondok beratap terpal biru yang berada di sekitar tanaman cabai yang nahas itu sekarang tak ditempati lagi oleh Surbakti.
“Waktu (penyemprotan herbisida) itu arah anginnyo ke barat sini, merembet kemana-mana sampai kena tanaman sayuran kami ini, di sini ada cabai, semangka, tanaman katu, dan pisang,” ucap Ahmad dengan nada murung. “Kami nelangsa, apa yang mau dipanen, sudah mati kering begini.”
Petani kecil seperti Ahmad dan lainnya mengaku, sangat dirugikan dengan tindakan perusahaan. Apalagi mereka bertani hasilnya tidak untuk mereka sendiri, melainkan juga akan dijual. Hasil panen mereka kerap dibeli tukang sayur keliling atau yang mereka sebut dengan istilah along-along. Dan along-along itu lah kemudian yang membawa hasil panen mereka untuk dijual ke desa-desa tetangga menggunakan keranjang sepeda motor.
Saat masa pandemi Covid-19 ini kata Ahmad, berdampak pada sektor pertanian mereka, terutama saat tanaman mereka mati dan gagal panen akibat tindakan perusahaan. Petani yang tanamannya mati, kini memenuhi kebutuhan pangannya dengan memetik dan mengumpulkan sayuran yang tumbuh di rawa yang berada di sekitar ladang mereka.
“Kami yang tanamannya mati kena herbisida itu sekarang ngumpulin kangkung, genjer yang tumbuh di rawa, kalau genjer banyak di sini, dikumpulin untuk disayur, kalau dapatnya banyak dijual,” kata Ahmad.
Dampak dari penyemprotan racun kimia herbisida menggunakan drone itu tak hanya mengenai tanaman petani. Namun, juga berimbas pada koloni lebah madu yang bersarang di pohon Sialang yang berada tak jauh dari lokasi penyemprotan.
Di lokasi itu terdapat empat batang pohon Sialang berukuran besar seperti Sialang Kedondong. “Biasanya ada sampai puluhan titik gerombolan lebah, tapi sekarang lebah pergi, padahal ini bisa dipanen madunya,” ujar Ahmad.
Anggota Poktan Sekato Jayo sangat berharap agar konflik ini dapat segera terselesaikan. Mereka berharap pemerintah bisa melindungi keberadaan petani. Hanya satu permintaan mereka, yakni ingin hidup tentram dan nyaman dengan bertani, tidak diganggu-ganggu.
“Jangan ada intimidasi apapun saat kami bertani, supaya kami bisa memetik hasilnya, petani menanam pasti mengharapkan hasilnya untuk dimakan,” ucap Ahmad.
Urusan kedaulatan pangan di Jambi dengan penduduk 3,6 juta jiwa itu masih menjadi persoalan serius. Mendatangkan pangan dari luar daerah menjadi sebuah ironi.
Provinsi Jambi dengan luas daratan yang mencapai 50.160 kilometer persegi itu kebutuhan pangannya masih bergantung pada daerah di luar Jambi. Produksi pangan yang berasal dari petani lokal hanya mampu memenuhi kebutuhan sebanyak 60 persen.
“40 persen semua kebutuhan pokok di Jambi masih dipasok dari luar provinsi,” kata Pelaksana tugas Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Rosnifa.
“Untuk komoditi cabai di Jambi masih mengandalkan dari Jawa. Sayuran juga masih didatangkan dari luar seperti dari Curup, dan daerah Sumatra Barat,” sambung Rosfina.
Ketidaktransparan Penyelesaian Konflik saat Masa Pandemi
Indonesia masih dilanda pandemi. Bahkan ketika pandemi, kriminalisasi dan intimidasi terhadap petani tetap terjadi. Konflik agraria yang terjadi di Provinsi Jambi pada masa pandemi terjadi pada kelompok tani Sekato Jayo. Puncaknya 10 April 2020, PT WKS dengan menggunakan drone melakukan penyemprotan racun herbisida di tanaman petani.
Akibat pandemi Covid-19 itu telah membawa dunia pada potensi krisis pangan. Bahkan Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) mengeluarkan imbauan kepada seluruh negara, termasuk Indonesia agar berhati-hati menghadapi pandemi ini.
Data hingga akhir Juli 2020, jumlah kasus yang terkonfirmasi positif di Tanah Air telah mencapai angka 108.376 kasus dan jumlah pasien yang meninggal dunia akibat Covid-19 mencapai 5.131 orang. Sedangkan di Provinsi Jambi, tercatat 162 orang terinfeksi. Dari jumlah ini di antaranya 115 sembuh dan empat pasien meninggal dunia.
Langkah-langkah dari pemerintah pusat dan daerah diperlukan untuk memenuhi kebutuhan pokok agar krisis pangan tidak terjadi saat masa pandemi. Namun masalah lain, alih-alih memberikan kesempatan petani untuk menggarap pertaniannya, pelbagai kriminalisasi malah masih menggusur lahan pertanian produktif.
Bagi anggota kelompok tani Sekato Jayo di Desa Lubuk Mandarsah, menanam adalah profesi. Mereka bercocok tanam–hasilnya menjadi bekal sehari-hari. Namun, petani di desa itu belum mendapatkan keadilan, lahan garapan petani belum diakui negara.
Bahkan saat masa pandemi Covid-19 itu petani belum bisa leluasa menggarap, menanam dan memanen hasil. Mereka belum mendapatkan hak atas tanah untuk mereka memproduksi sumber pangan sendiri melalui tanaman pangan. Kelompok tani itu semakin termarginal lantaran juga mendapatkan intimidasi atau kekerasan dari tim keamanan perusahaan.
Bentuk intimidasi, kriminalisasi, hingga perusakan tanaman petani yang terjadi di Poktan Sekato Jayo, Desa Lubuk Mandarsah sangat ironis. Direktur Eksekutif Daerah Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jambi, Rudiansyah, mengatakan dalam situasi menghadapi pandemi global ini seyogyanya semua pihak bahu-membahu dan saling meringankan beban bersama.
Rudi menyayangkan tindakan kesewenang-wenangan yang dilakukan perusahaan saat masa pandemi.
Menurut Rudi, dalam situasi pandemi sekarang ini menjadi bukti ada ketimpangan problem yang dilakukan pemerintah dalam menghadapi jurang krisis pangan. Selama ini pemerintah di Jambi masih berfikir ketersediaan pangan masih bergantung dari luar daerah.
Semangat pemerintah, baik itu di pusat dan daerah terhadap kedaulatan pangan kata Rudi, tidak diterjemahkan dengan baik. “Seharusnya pemerintah menetapkan fungsi-fungsi areal pertanian berkelanjutan itu untuk ditingkatkan produktivitasnya, tapi malah pemerintah masih cenderung menutup mata terhadap tindakan-tindakan yang dilakukan oleh korporasi untuk menghancurkan tatanan pertanian,” kata Rudi.
Rudi menilai kriminalisasi terhadap petani merupakan bentuk ketidaktransparan pemerintah dan perusahaan dalam menyelesaikan konflik yang terjadi saat masa pandemi ini. Pemerintah menurut dia, telah diam dan membiarkan wilayah pertanian masyarakat yang terancam oleh tindakan korporasi.
“Ini bentuknya sudah nyata ya, dari teriakan masyarakat tani itu tidak pernah dilihat bentuk action nyata yang dilakukan pemerintah di lapangan,” ucap Rudi. “Akhirnya pemerintah itu hanya sekadar yang tahu, tapi tidak bisa berbuat apa-apa.”
Gagalnya Komitmen FCP APP Sinar Mas
Merespon tindakan penyemprotan racun herbisida yang dilakukan PT WKS (APP Sinar Mas Group) membuat koalisi masyarakat bergerak membela petani. Sebanyak 90 koalisi organisasi masyarakat sipil di Indonesia dan Internasional menyurati investor dan buyer APP Sinar Mas.
Menurut koalisi, cara yang dilakukan perusahaan dalam menyelesaikan konflik dengan masyarakat itu membahayakan sumber kehidupan masyarakat di tengah situasi pandemi Covid-19.
Menurut koalisi, tindakan yang dilakukan perusahaan bukan yang pertama. PT WKS pernah bertindak sewenang-wenang kepada kelompok tani Lubuk Mandarsah. Pada tahun 2015, sekelompok pengamanan perusahaan pemegang konsesi Hutan Tanaman Industri (HTI) di bawah naungan APP Sinar Mas, terlibat pembunuhan terhadap pejuang tani, Indra Pelani.
Pada waktu itu jasad Indra Pelani dalam kondisi penuh luka tusuk dan pukulan benda tumpul. Ia ditemukan sekitar 8 kilometer dari pusat desa. Hasil investigasi Walhi Jambi dan koalisi NGO mengungkap insiden meninggalnya Indra Pelani melibatkan unsur terencana yang dilakukan 5 orang pegawai keamanan perusahaan. Kelima orang tersebut kini telah dijatuhi hukuman.
Setelah peristiwa terbunuhnya Indra Pelani, perusahaan dikenakan denda adat oleh masyarakat. Perusahaan menjalin kesepakatan kepada masyarakat, yang intinya tidak saling mengganggu. “Namun kesepakatan itu tidak direalisasikan perusahaan,” ujar Rudi.
Berdasarkan studi yang dilakukan Environmental Paper Network (EPN) dan koalisi NGO, Lubuk Mandarsah adalah 1 dari 107 yang mendera konflik aktif dengan perusahaan raksasa itu sejak tahun 2007. Namun, sejak tahun tersebut hingga sekarang penyelesaian konflik tak kunjung selesai.
Sebenarnya pada tahun 2013, APP Sinar Mas telah komitmen untuk menghormati hak-hak masyarakat dan menjalankan bisnis secara bertanggung jawab. Komitmen itu disebut Forest Conservation Policy (FCP). Sayangnya sejak komitmen itu digaungkan berbagai masalah masih berlanjut.
Direktur Walhi Jambi, Rudiansyah mengatakan, apa yang terjadi antara perusahaan dengan masyarakat Lubuk Mandarsah menjadi bukti kegagalan dari klaim penyelesaian konflik dan perubahan pola bisnis sebagaimana yang digaungkan APP kepada masyarakat global selama ini.
“Dalam surat yang kami kirimkan ke investor dan buyer itu, kita meminta untuk tidak melakukan bisnis dengan APP dan atau perusahaan afiliasinya sampai terbukti memenuhi janjinya sebagaimana yang mereka komitmenkan dalam FCP 2013 itu,” ujar Rudi.
Sementara itu, Humas PT WKS, Taufik Qurachman ketika dihubungi enggan menanggapi terkait dengan surat yang dilayangkan koalisi NGO itu. Taufik hanya mengirimkan sebuah tautan siaran pers yang dirilis APP Sinar Mas. Tautan itu berjudul Correcting the record on allegations that APP damaged food security in local community “Ada tuh (siaran pers) bro disitu, udah statement resmi kami,” ujar Taufik.
Dalam siaran pers yang dirilis di laman asiapulppaper.com pada 13 Mei 2020 itu, APP Sinar Mas menampik segala tuduhan yang dilayangkan Walhi Jambi. Tuduhan-tuduhan itu menurut APP, adalah kesalahan penyajian fakta di lapangan.
“Kami terbuka untuk melibatkan pihak ketiga yang kredibel dan berkomitmen untuk bergabung dalam proses mediasi, sehingga kami dapat mencapai resolusi yang adil dan setara,” demikian salah satu poin statement APP.
Baca halaman selanjutnya: Muasal Tanah Adat di Lubuk Mandarsah dan Rentetan Konflik dengan APP Sinar Mas