James Watt, Revolusi Industri 4.0 dan Batu Bara

Jon Afrizal*

Tonggak perubahan peradaban modern adalah pada tahun 1776. Sewaktu itu, James Watt menemukan mesin uap. Implementasinya adalah kapal yang digerakkan oleh pembakaran batu bara.

Revolusi Industri 1.0, begitu kini banyak orang menyebutnya. Sebuah perubahan yang berlangsung hampir 100 tahun lamanya.

Perubahan besar-besaran terjadi di banyak bidang kehidupan. Mulai dari sektor pertanian, manufaktur, pertambangan, transportasi, dan teknologi.

Selayak perubahan yang dipikirkan oleh banyak orang yang mengusung teori revolusi, Revolusi Industri ini berdampak pada kondisi sosial, ekonomi, dan budaya di masyarkat Inggris Raya. Revolusi Industri itu selanjutnya menyebar ke banyak negara di Eropa, serta Amerika Utara, Jepang, dan belahan dunia lainnya.

Kita akan mengenang film “Wild Wild West” dan para cowboy yang saling mengokang senjata laras pendek. Ada yang terlupakan? Tentu saja, kereta api dengan batu bara yang mengepulkan asap hitam pekat ke udara, yang melintasi gurun pasir di tanah para Injun.

Setelah ratusan tahun berlalu, kanselir Jerman, Angela Merkel mengenalkan gagasan Revolusi Industri 4.0 di acara World Economic Forum (WEF) pada tahun 2015 lalu. Revolusi Industri 4.0 menerapkan konsep automatisasi yang dilakukan oleh mesin tanpa memerlukan tenaga manusia dalam pengaplikasiannya.

Tujuannya adalah efisiensi waktu, tenaga kerja, dan biaya. “Smart Factory”, demikian penerapannya di banyak pabrik disebut.

Internet of Things (IOT) adalah yang utama dari Revolusi 4.0 ini. Dengan cara ini, komunikasi antara mesin, perangkat, sensor, dan manusia tersambung melalui jaringan internet.

Atau, penerapannya secara sederhana, adalah setiap dari kita dimudahkan oleh smartphone di genggaman untuk mendukung segala aktivitas sehari-hari. Mulai dari berkomunikasi, memetakan lokasi, bahkan hingga pembayaran tagihan apapun dapat dilakukan dengan bantuan smartphone.

Semua itu dimungkinkan dengan koneksi internet yang baik. Dan, membuka peluang bagi banyak provider telepon selular untuk berpartisipasi.

Sebuah kehidupan yang tidak lagi memerlukan kertas untuk mencatat. Dimana semua informasi yang dikenal dengan sebutan “Big Data” dapat disimpan di “cloud” yang ada di smartphone anda, misalnya.

Secara ringkas, “Big data” adalah seluruh informasi yang tersimpan di “cloud computing”. Yakni sebuah analitik data besar dan komputasi awan.

Kegunaannya adalah membantu untuk mendeteksi sedari dini terhadap cacat dan kegagalan produksi. Sehingga memungkinkan untuk melakukan pencegahan atau peningkatan produktivitas dan kualitas suatu produk berdasarkan data yang terekam.

Inilah analisa “Big Data” melalui koneksi internet. Yang, pada akhirnya, berkembang menjadi Risk Management, atau manajemen resiko.

Jika kita melihat melalui sisi budaya, sebagai sesuatu yang acapkali dilupakan, maka terjadi perbandingan yang cukup serius di sini. Pada tahun yang sama, ketika James Watt menemukan mesin uap, kita adalah terdiri dari banyak kerajaaan.

Sejarah mencatat, terjadi banyak peperangan antar kerajaaan di sini, atas nama upeti. Dan, hampir 200 tahun dari tonggak pertama revolusi industri itu, kita semua barulah disatukan menjadi sebuah negara : Indonesia.

Sementara negaranya James Watt, Great Britan, pada masa itu telah dikenal dengan sebutan “England Around The World”. Dengan kapal bermesin uap, mereka menjelajah sekitar 30-an wilayah atau negara. Jejaknya, tak terlalu jauh dari sini, masih bisa kita temukan di Provinsi Bengkulu.

Kondisi saat ini, kenyataan sebagai sebuah negara maritim-agraris tidak bisa kita tinggalkan begitu saja. Ketergantungan yang tinggi terhadap lahan, misalnya tentu saja tidak dapat dilupakan dari budaya masyarakat.

Sekitar 40.000 hektare areal lahan yang berkonflik di Provinsi Jambi, menurut data Walhi Jambi, pada tahun 2019 lalu. Sementara luasan Provinsi Jambi adalah 4,7 juta hektare.

Data ini, secara tidak langsung, telah menunjukkan ketergantungan kita terhadap lahan untuk diolah. Baik itu perseorangan, maupun perusahaan.

Sebagai konsumen, itulah pada akhirnya kita semua. Sebab tidak sejalan antara kapasitas secara pribadi dengan kebutuhan spesialisasi secara global.

Sama seperti kebutuhan masing-masing dari kita untuk membeli smartphone, tetapi koneksi internet tidak menjamin itu, misalnya. Ini berkaca dari kejadian beberapa saat lalu, dimana sebuah provider mengalami gangguan selama sehari penuh akibat property-nya terbakar, misalnya.

Belum lagi jika kita kaitkan dengan pandemi global yang memaksa kita semua untuk selalu bergantung dengan smartphone dan koneksi internet, atas nama protokol kesehatan.

Sementara, jika kita kembali membanding dengan kondisi James Watt dan negaranya, tentu sangat berbeda. Baik dari sisi luasan maupun jumlah penduduk.

Keterjajahan bangsa Timur pada masa lalu, tentu, pada akhirnya harus dilihat sebagai sebuah persoalan yang berujung kepada pekerja dan lapangan kerja. Yakni faktor kemampuan tenaga kerja dalam bersaing secara global, dan lapangan kerja yang tersedia secara massal di sini.

Ini, tentu saja bertolak belakang dengan makna “smart factory”. Sebab, jika itu yang kita terapkan di sini, maka gelombang penggangguran besar-besaran akan terjadi. Atau, ups, kini tengah terjadi?

Dengan jumlah tenaga kerja yang sangat bergantung dengan peluang kerja di sektor industri. Dengan pola pendidikan yang hingga kini tetap tak mampu membuat kita bersaing di dunia global.

Belum lagi kita jika kita kaitkan dengan ketersedian peralatan pabrik, yang berasal dari import, dan ke(-tidak)-mampuan banyak orang untuk mengoperasikannya. Malah, akan membuat ketergantungan yang semakin besar terhadap import.

Kini, di dunia barat telah banyak menggunakan nuklir sebagai sumber tenaga listrik bagi masyarakatnya. Masalah efisiensi menjadi pertimbangan yang utama di sini.

Meskipun, sejarah masih membekaskan kenangan betapa destruktif-nya nuklir. Ada Hirosima dan Nagasaki di tahun 1945 yang luluh lantak akibat bom nuklir, yang merupakan pengembangan dari “Cold Fusion” dari Albert Einstein itu.

Di sini, kita masih bicara soal “berapa banyak desa yang belum dialiri listrik”. Listrik, di sini, tidak berasal dari nuklir, atau sumber-sumber lain. Batu bara adalah sumber tenaga listrik di sini.

Menurut artian sederhana, batu bara adalah salah satu bahan bakar fosil. Yakni batuan sedimen yang dapat terbakar, terbentuk dari endapan organik, seperti sisa-sisa tumbuhan dan terbentuk melalui proses pembatubaraan.

Unsur-unsur utamanya terdiri dari karbon, hidrogen dan oksigen. Sama seperti minyak bumi, hasilnya adalah cerobong asap yang mengeluarkan asap pekat menghitam seperti kala James Watt menggunakan mesin uap untuk menjalankan kapal.

Berbeda dengan James Watt dan negaranya, ketersedian batu bara sebagai sumber daya alam sangat melimpah. Untuk Provinsi Jambi saja misalnya, berdasarkan data Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), hasil produksi batubara Provinsi Jambi sepanjang tahun 2019 sebanyak 10,2 juta ton, dari target 11,1 juta ton.

Produksi batu bara itu, kemudian diekspor ke banyak negara, sebesar 1,136 juta ton. Selebihnya, atau sebanyak 7,2 juta ton adalah untuk pasar dalam negeri.

Listrik sebagai penggerak kehidupan modern, dan batu bara adalah penggerak turbin yang menghasilkan tenaga listrik. Selanjutnya, disalurkan ke rumah anda, dan anda gunakan untuk men-charge smartphone secara berkala. Itu hanya contoh kecilnya saja.

Persoalan yang semakin rumit, terkait dengan ketidakmampuan kita untuk menghasilkan dan menggunakan sumber energi lain sebagai bahan yang dapat menggerakkan turbin-turbin itu.

Lalu, kita akan bicara soal energi baru terbarukan. Seperti penggunaan tenaga air dan angin dan berbagai sumber lainnya untuk menghasilkan listrik. Sebab, bahan bakar fosil adalah tidak ramah lingkungan, menyebabkan polusi, dan rendahnya daya tawar kita di dalam “Carbon Trade”.

Kembali kita ke makna efisiensi tadi, sebagai roh dari Revolusi Industri 4.0 itu. Sejauh mana kita semua mampu menyediakan perangkat-perangkat komputer, koneksi internet, dan kemampuan operatornya.

Sebuah lingkaran yang menghubungkan banyak hal. Selayak rantai kehidupan di alam bebas.

Sementara itu, minyak bumi dari Provinsi Jambi telah mengalir entah kemana sejak lebih dari seabad lalu. Sehingga kita melupa terkait jumlahnya dalam hitungan barel dan dollar.

Sementara itu, pertambangan batu bara berhubungan dengan reklamasi yang tak kunjung terlaksana. Lubang yang menganga di banyak tempat yang hingga kini kita tidak ketahui akan diapakan untuk menjadi sesuatu yang berguna.

Sementara itu, ketergantungan terhadap import kebutuhan pokok tetap tidak terurai dengan baik. Sementara itu, pandemi global telah memaksa setiap dari kita kembali ke titah sebuah negara maritim-agraris, yang selama ini terkesan kita lupakan, dan terlalu sibuk dengan industri yang, ehm, sejujurnya, belum mampu untuk kita lakukan secara maksimal.

Itulah revolusi yang sebenarnya, di sini. ***

* Jurnalis TheJakartaPost

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Posts