Muasal Tanah Adat di Lubuk Mandarsah dan Rentetan Konflik dengan APP Sinar Mas

Pohon Sialang Kedondong yang masih tersisa di Bukit Rinting, Desa Lubuk Mandarsah.

Tiga ikat sayur genjer tergeletak di atas meja yang berada di halaman rumah M Jais. Sayuran jenis kelayan (Limnocharis flava) itu baru saja dipetik dari rawa-rawa alam yang berada di Dusun Pelayang Tebat, Desa Lubuk Mandarsah, Kabupaten Tebo, Jambi.

Sore itu, tak berselang lama setelah saya duduk di depan meja tadi, tiba seorang perempuan yang kemudian membawa tiga ikat genjer itu. Sayuran itu akan diolah menjadi hidangan makan malam.

Malam harinya—benar sayur genjer telah dihidangkan menjadi tumis beserta nasi dan lalapan jengkol di meja makan di dalam dapur rumah M Jais. “Ayo dimakan, ikolah seadonyo,” ujar M Jais saat mempersilakan saya makan malam di rumahnya 15 Juli 2020 lalu. “Genjer ini di sini tumbuh banyak di rawa, ada kangkung juga.”

Baca juga: Petani, Pandemi, dan Elegi di Ladangnya Sendiri

M Jais adalah Ketua Kelompok Tani Sekato Jayo. Kelompok tani ini diberi mandat oleh lembaga adat desa setempat untuk mengelola tanah adat seluas 1.500 hektare. Kelompok tani ini punya anggota aktif sebanyak 380 orang warga Lubuk Mandarsah.

Wilayah yang dimandatkan ini kata M Jais, masuk areal yang berkonflik dengan PT Wira Karya Sakti (WKS), kelompok usaha APP Sinar Mas. Meski masih dilanda konflik, kini di lokasi yang digarap kelompok tani telah diakui secara administratif dan dimekarkan menjadi RT 06 Dusun Pelayang Tebat, Kecamatan Tengah Ilir, Kabupaten Tebo.

“Yang menetap di sini (RT 06) ada 67 KK, di wilayah sini juga sedang dibangun pesantren,” ujar M Jais.

Jais yakin betul wilayah yang dikelola kelompoknya adalah tanah ulayat. Di wilayah itu masih terdapat tinggalan pohon-pohon tua seperti pohon Silang. M Jais semakin yakin, setelah mendapat mandat dari lembaga adat setempat untuk mengelola bersama-sama.

Dalam surat mandat yang ditandatangani Ketua Adat Lubuk Mandarsah, Jamali A.B pada 13 Maret 2015 disebutkan tanah ulayat adat itu menghampar berada di Bukit Rinting dan Bukit Kumbang. Lembaga adat meminta supaya tanah ulayat tersebut dimanfaatkan bagi masyarakat untuk digarap dan dikelola dengan tujuan untuk meningkatkan ekonomi masyarakat.

Ketika ditemui di rumahnya, Jamali A.B (72) bercerita panjang lebar muasal tanah ulayat dalam silsilah tambo. Tambo yang diceritakan Jamali, adalah legenda moyang mereka yang pertama kali datang ke Lubuk Mandarsah.

Moyang orang Lubuk Mandarsah kata Jamali, bernama Pati 11 atau yang biasa disebut Moyang Teguh,  berasal dari suku Minang. Pada tahun 1600 Pati 11 mencari kerabatnya yang bernama Sultan Kelambuano di huluan Sungai Ketalo, namun kemudian bertemu dengan Panglimo Serio di Sungai Landai Lubuk Mandarsah.

Pati 11 atau Moyang Teguh ini dikenal sakti dapat membunuh ular tedung besar. Saat ini kata Jamali, cerita itu masih membekas di danau dan anak sungai Ketalo.

“Moyang Teguh ini  pertama kali menemukan keberadaan masyarakat yang bermukim untuk mencari penghidupan sekitar Sungai Landai, sehingga Moyang Teguh diangkat sebagai depati pertama di Lubuk Mandarsah,” kata Jamali. “Cerita ini turun temurun.”

Makam dari moyang mereka itu kini terletak di Sungai Rambai yang saat ini masuk wilayah Lubuk Mandarsah. Kuburannya mencapai panjang 4 meter dan masih terpelihara sebagai kuburan leluhur.

Baca juga: Legenda Batu Betino dan Jantan di Lubuk Mandarsah Tebo

Disela menceritakan silsilah moyang mereka, Jamali yang juga Kepala Desa Lubuk Mandarsah yang pertama itu, lantas menyodorkan situs-situs makan kuno yang tersebar di desanya. Tercatat ada belasan makam kuno yang tersebar di sana, termasuk di wilayah Bukit Rinting.

Mulai dari Moyang Teguh, Moyang Gajah Meno, Tapak Sembilan, Sultan Kelambuano, Moyang Bontet, Moyang Batu Sungkai, Moyang Biduk Patah, Moyang Rambalayam, Panglimo Rimbo, Raden Swat, Hijau, Bulu Lidah, dan Moyang Serio.

Kuburan Moyang Teguh atau Pati 11 di Lubuk Mandarsah. (dok Jamali AB)

Sejarah masih terus berlanjut, pada tahun 1916 di zaman sarekat Islam Merah, masyarakat Lubuk Mandarsah telah memulai kehidupan dengan bertani dan berkebun untuk bertahan hidup melawan penjajah belanda, sampai kemudian Indonesia merdeka.

Dimasa proses penggarapan lahan itu masyarakat di Lubuk Mandarsah telah diatur oleh aturan adat setempat. Hal itu supaya tidak ada konflik antar sesama masyarakat dan semua mendapatkan hak atas tanah. Kemudian di masa depati hingga tahun 1978 masyarakat tidak pernah berkonflik.

Namun ketika masa peralihan pada tahun 1995 masuklah perusahaan Inhutani V. Saat itu lah mulai pecah konflik pertama antara masyarakat dan perusahaan.

Sampailah masuk perusahaan PT WKS tahun 2006 yang dimulai dari wilayah Bukit Bakar, dan tahun 2007 perusahaan mulai menggusur kawasan pertanian dan perkebunan masyarakat di Lubuk Mandarsah.

Konflik yang terjadi antara masyarakat Lubuk Mandarsah dengan PT WKS sampai sekarang tak kunjung selesai. Kelompok tani masih terus berjuang untuk mendapatkan haknya.

Bukti-buktinyo sudah ado, jadi jangan disio-siokan amanat ini, terus perjuangkan hak ulayat untuk kehidupan bersama,” kata Jamali.

Konflik yang Tak Kunjung Usai

Indra Pelani, petani Tebo, yang ditemukan tewas mengenaskan karena disiksa sekuriti sewaan PT WKS tahun 2015. Foto: Walhi Jambi

Desa Lubuk Mandarsah berdasarkan studi yang dilakukan Walhi Jambi merupakan satu dari ratusan desa yang berkonflik dengan PT WKS. Konflik agraria yang terjadi antara perusahaan dan masyarakat tani belum ada penyelesaian konkrit sejak 2006.

Sejak saat itu, letusan konflik antara pihak masyarakat dan perusahaan terus berulang tanpa ada inisiatif pemerintah untuk menyelesaikan. Hingga akhirnya pada masa pandemi, perusahaan masih mengkriminalisasi keberadaan petani di Lubuk Mandarsah.

Disisi lain dalam studi itu tim Walhi Jambi juga mencatat sebanyak 33 desa dan komunitas masyarakat berkonflik aktif dengan perusahaan, dan 127 desa berpotensi konflik yang teridentifikasi di lima kabupaten di Provinsi Jambi. Dari jumlah tersebut 100 persen kasus terkait sengketa lahan disertai penggusuran.

Petani di lima kabupaten, yakni Tebo, Muaro Jambi, Batanghari, Tanjungjabung Timur dan Tanjungjabung Barat,  berdasarkan studi yang dilakukan Walhi Jambi dan koalisi NGO, telah kehilangan lahan seluas 41.000 hektare.

Masih menurut studi itu, Direktur Eksekutif Walhi Jambi, Rudiansyah mengatakan, Provinsi Jambi menempati posisi kedua dalam jumlah konflik sosial yang melibatkan APP Sinar Mas. Dengan kawasan kelola konsesi HTI seluas 349.396, konflik itu melibatkan kelompok usaha Sinar Mas, yakni PT WKS dan PT Rimba Hutani Mas (RHM).

Bahkan PT WKS sejak baru beroperasi di Jambi pada tahun 1996, perusahaan pemegang konsesi HTI itu telah terlibat konflik dengan masyarakat di Kuala Dasal, Kabupaten Tanjung Jabung, kata Rudi.

Konflik agraria yang melibatkan masyarakat  dan perusahaan raksasa PT WKS itu kata Rudi, telah mengakibatkan 3 orang petani tewas.  Pada Desember 2007 di Muaro Killis Tebo, petani bernama Sukamto, meninggal dunia terkena serangan jantung saat melihat sawahnya digusur.

Kemudian pada November 2010 di Senyerang, Tajungjabung Barat, seorang petani Ahmad Adam tewas tertembak oleh oknum aparat. Yang terakhir Februari 2015, di Lubuk Mandarsah, Indra Pelani tewas dibunuh oknum security perusahaan PT WKS.

“Kami sudah mengirim surat terbuka kepada buyer dan investor APP, untuk mengurai fakta bahwa perusahaan melanggar komitmen Forest Conservation Policy (FCP),” kata Rudi.

Sementara itu, dalam siaran persnya siaran pers yang dirilis di laman asiapulppaper.com pada 13 Mei 2020 itu, APP Sinar senantiasa terlibat secara langsung dengan kelompok masyarakat setempat di Jambi. Hal itu dilakukan untuk menjaga hubungan yang sehat dan konstruktif.

“Kami selalu terbuka untuk membangun dan terlibat dengan pemangku kepentingan dan  melibatkan pihak ketiga yang kredibel  berkomitmen untuk bergabung dalam proses mediasi, sehingga kami dapat mencapai resolusi yang adil dan setara,” tulis siaran pers itu.

Upaya Mereduksi Konflik

Kepala Bidang Penyuluhan Pemberdayaan Masyarakat dan Hutan Adat (PPMHA) pada Dinas Kehutanan Provinsi Jambi, Gushendra, mengatakan, pemerintah, baik tingkat provinsi dan kabupaten telah membentuk tim resolusi konflik sektor Hutan Tanaman Industri (HTI).

Tim tersebut kata Gushendra, bekerja untuk menangani konflik yang terjadi antara masyarakat dan pemegang izin konsesi.  Tim resolusi konflik yang melibatkan instansi terkait itu melaksanakan mediasi dan menguraikan persoalan di lapangan.

“Di Jambi ini sudah terpetakan konflik yang terkait dengan sektor kehutanan, rata-rata masyarakat dengan perusahaan HTI,” kata Gushendra.

Ditanya terkait konflik memuncak yang terjadi saat pandemi Covid-19, Gushendra mengatakan, tim terpadu di daerah yang mengkaji persoalan  konflik yang terjadi di daerah masing-masing. “Gunanya untuk cegah dini,” kata dia.

Sejauh ini lanjut Gushendra, mekanisme yang ditawarkan untuk mengakhiri konflik antara masyarakat dan perusahaan HTI mengacu pada mekanisme Perhutanan Sosial, yakni pola Hutan Kemitraan (Hkm).

“Kalau memang permintaannya di luar Hutan Kemitraan, silakan diajukan ke kementerian, karena yang berhak mengurangi kawasan hutan adalah kementerian, kami di pemerintah provinsi tidak bisa,” ucap Gushendra.

Koordinator Wilayah Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Jambi, Fran Dodi mengatakan, saat masa pandemi ini petani tidak meminta apa-apa ke negara. Mereka hanya minta diberikan haknya bertani dengan tentram.

“Dalam pandemi ini siapa yang bisa mempertahankan pangan? Ya Cuma petani.  Saat petani menggarap, menanam dan mau memetik hasil, malah digusur. Negara kalah dengan korporasi,” kata Dodi.

Dodi mengatakan, negara tidak boleh kalah dengan korporasi. Pemerintah tidak perlu lagi mencari objek reforma agraria. Menurut Dodi, objek reforma agraria sudah jelas tersedia di wilayah-wilayah konflik di 5 kabupaten yang melibatkan antara petani dan PT WKS.

“Langsung saja ditetapkan, objek sudah ada. Ini saja langsung ditetapkan jadi objek reforma agraria, dan ini akan menjadi jawaban dan membantu negara menghadapi krisis pangan,” kata Dodi.

Dia memastikan reforma agraria di wilayah konflik dengan perusahaan akan menjadi jawaban membantu negara dalam menghadapi krisis pangan. Sebab di wilayah konflik itu banyak kegiatan pertanian.

“Tapi ketika pemerintah tidak mau melaksanakan itu (reforma agraria) artinya kita tunggu saja akan menjadi boom waktu, banyak yang kelaparan, anak-anak putus sekolah” ujar Dodi.

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Posts