KILAS JAMBI – Kantor Bahasa Provinsi Jambi menyelenggarakan kegiataan Revitalisasi Sastra Lisan Dinggung di Dusun Rantau Pandan Kabupaten Bungo, aktivitas revitalisasi dilakukan dengan menerapkan pemberdayaan komunitas tutur yang melibatkan penutur muda 43 usia 12-18 tahun dan lima orang guru master.
Regenerasi penutur dilakukan dengan cara belajar bersama maestro sastra lisan Dinggung ini sudah dimulai sejak bulan Februari 2022, dan diakhiri dengan penyerahan kembali penutur muda Dinggung kepada Pemkab Bungo pada hari Sabtu 2 Juli 2022 di Rantau Pandan, saat pementasan maestro dan penutur muda.
Menurut Ristanto Ketua TIM Revitalisasi Sastra Kantor Bahasa Provinsi Jambi, kegiatan ini merupakan tindak lanjut penandatanganan Nota Kesepakatan antara Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa dan Pemerintah Kabupaten Bungo. Sastra Lisan Dinggung berdasarkan hasil kajian vitalitas mengalami kemunduran, hal ini ditandai masih adanya penutur tradisi di atas sepuluh orang, tetapi semuanya berusia lanjut (di atas enam puluh tahun), diwarisi dalam keluarga, hanya beberapa generasi muda sudah menguasai pertunjukan, jarang ditanggap, masih digunakan dalam ranahnya, tidak ada aturan pelindungan, dan bersaing dengan sastra lisan yang lebih menarik.
Menurut Sobri guru master Sastra Lisan Dinggung, warisan leluhur ini menunjukan kearifan masa lalu dalam menjaga ekosistem, untuk mengambil madu tidak harus menebang batang sialangnya. Akan tetapi sebelum madu sialang diambil terlebih dahulu diawali mempersiapkan perkakas, menentukan pemanjat batang sialang, mengajak bujang-gadis sebagai pengambil madu sialang rayo (kebiasaan di Desa Rantau Pandan), Tuo Gadih (mak gadis, induk gadis) mengajak gadis untuk mengambil madu sialang bersama-sama. Anak gadih berpamitan untuk mengambil madu, setelah disetujui oleh Tuo Gadih maka sudah bisa berangkat.
Sesampai di batang sialang, pemanjat mulai mempersiapkan perkakas seperti membuat tunam untuk mengusir sialang, menyiapkan tempat madu atau wadah, ambung sebagai perkakas untuk tempat barang-barang, tikar, rantang atau lengkat dan membersihkan di sekitar pohon. Si pemanjat mempersiapkan pasak, menyiapkan liyeh atau tangga untuk ke atas pohon induk atau tuo gadis bersama anak gadih mempersiapkan bekal kemudian membentang tikar dan membuat api unggun sebagai penerang. Pemasangan pasak, kemudian doa bersama, mengentam pohon sialang untuk memberi kabar kepada sialang yang ada di atas, apakah pohon itu sudah bisa dipanjat atau tidak, jika pohon sialang itu siap dipanjat maka pohon sialang itu akan mengeluarkan bunyi dentuman (berdengung) tetapi jika tidak berdengung maka kita tidak diizinkan untuk memanjat pohon itu. Setelah dua atau tiga kali mendengar dentuman atau berdengung, kemudian kita tahu dan dapat memastikan bahwa mendapatkan izin untuk mengambil madu maka pohon sialang siap untuk dipanjat atau dipanen. Sebelum memanjat pemanjat pohon membaca doa sambil mengelilingi pohon sialang agar terhindar dari hal-hal yang tidak kita inginkan. Setelah keliling sekitar tiga kali maka mulai memanjat, prosesi memanjat itu juga membaca pantun bertujuan untuk menyapa, atau berpamitan terlebih dahulu. Setelah pamit juga ada pantun-pantun di bawah.
Saat memanjat tuo gadih mulai berdinggung dan bersaut berdinggung, sampai pada dahan jerambang maka ada pantun lagi artinya hampir sampai pada manisnya atau madu. Setelah pantun disampaikan barulah menuju dahan-dahan yang dihinggapi sialang. Setelah sampai di dahan dia melihat lagi apakah ada madu, sudah manis atau tidak. Jika ada manisnya maka dia akan mengabari yang berada di bawah pohon. Kabar juga diberikan melalui pantun. Jika ternyata ada madu dan madunya banyak dan siap untuk dipanen maka mulailah dia meminta dikirim peralatan atau wadah melalui tali kemudian ditarik ke atas. Setelah sampai di atas maka proses pemanenan baru dimulai.
Pemanenanya menggunakan pisau atau parang yang kemudian madu dimasukkan kedalam wadahnya kemudian diturunkan lagi. Kadang-kadang jiga keasikan menurunkan madu karena saking banyaknya madu sehingga bisa lupa bahwa ketika kita berada di atas ternyata di sekitar kita banyak penghuninya. Penghuninya tadi banyak seperti harimau, maka induk gadis atau tuo gadis atau anak gadis berteriak minta lemparkan kasih ke harimau, supaya kita sama-sama dilindungi.
Proses panjang pengambilan madu ini berjalan lama, karena setiap dahan yang besar dihinggapi oleh madu dan dibuat sarang kemudian merasa lelah, lapar dan haus. Maka si pemanjat berteriak lagi minta dikirim bekal yang sudah dibawa biasanya berupa kue talam, dan nasi ketan.
Proses turun dengan mengabari dengan bahasa kita sendiri, bahwa pengambilan madu sudah selesai, walaupun mungkin yang lain masih ada atau tersisa di atas maka dilain waktu dapat diambil kembali. Setelah sampai di bawah maka gadis dan tuo gadis mulai mengisi bekal rantang atau lengkang tadi diisi madu sebagi bekal mereka untuk pulang, jadi ketika sampai di rumah ada buah tangan disamping ada pembagian madu dari tuan pohon, pemanjat, bujang-gadis. Jadi untuk bujang hanya membawa sebatas sampai tuan pohon. Jadi untuk mengantar ke rumah adalah gadis yang mereka ajak untuk bekerja di pohon sialang tadi. Jadi tanpa sepengetahuan bujang tadi madu sudah ke rumah masing-masing. Nilai gotong royong dan kerja sama, nilai kepercayaan, dan prosesi memanjat juga ada pantunya untuk menyapa lebah (sialang) yang bersarang***