Jon Afrizal*
Masih di bulan-bulan awal di tahun ’98. Waktu itu, kami semua masih sangat muda. Orang-orang kampusan yang, ehm, tentunya diberi stempel “militan” dan “radikal”.
Karena jaman itu, diberlakukan Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK). Sebuah konsep, dimana, kampus steril dari (pertarungan) politik (praktis).
Aku sendiri larut dalam suasana “feel free” itu, yang sekarang malah memberikan pertanyaan lagi, tentang “apa itu kebebasan yang sesungguhnya”.
Kala musik yang biasa disebut alternative mulai menggoyang kepala banyak muda di sini. Sebagai budaya, selalu ada pesan yang tersimpan jauh dihentakkan bunyi drum yang akurat.
Saat dimana internet adalah barang yang mahal. Saat dimana, buku-buku satra klasik terrbitan “Penguin” bisa ku dapatkan dengan sangat mudah di sebuah mal di kota ini, dan dengan harga yang terjangkau oleh dompet anak kos.
Secara tiba-tiba, “I Quit”, kata Soeharto, presiden kedua Republik Indonesia. Maka, semua orang berpikir ingin berubah maju ke arah depan.
Sehingga berbagai perombakan strukturalistik terjadi di sini. Seolah menyatakan bahwa apapun yang telah dilakukan orang pada masa lampau adalah salah semuanya, sehingga harus kita ubah dan gantikan dengan yang baru.
Sama seperti pernyataan almarhum Nenek-ku, (alfatiha), bahwa era penjajahan Jepang lebih pedih ketimbang era penjajahahan Belanda. Sewaktu itu aku masih duduk di bangku Sekolah Dasar (SD).
Akhirnya, setelah “belajar” dan “bersekolah”, ku sadari bahwa penjajahan apapun adalah pedih. Baik penjajahan secara fisik maupun psikis.
Kenyataan ini, sebagai orang yang lebih melihat realita ketimbang teori data di atas kertas, tidak semua yang dilakukan era lampau adalah salah semuanya. Itu pun jika kita mau bijak untuk belajar darinya, dan bukan bersifat narsistik saja.
Perubahan strukturalistik apa yang kita rasakan saat ini? Dulu, di penggalan ’98, kami belum mengetahui. Sama seperti menonton serial televisi tentang Robot dari Jepang, “Berubah”, maka berubahlah manusia menjadi robot.
Kawan dimana peristiwa itu terjadi, yang juga ikut di dalam barisan euphoria utopis saat itu, kini, telah menduduki jabatan-jabatan penting di pemerintahan.
Sama halnya dengan gerakan ’65 yang memaksa Soekarno, presiden Republik Indonesia pertama, untuk turun dari jabatannya.
Namun, seiring perubahan itu, sejalan pula dengan kematangan cara berpikir, harusnya. Bukan malah kembali ke era feodalistik kala para raja sibuk dengan perang upeti.
Sebab, persatuan dari berbagai kerajaan hanya tercipta dengan satu tujuan, yang bernama “Indonesia”. Sehingga adalah surut ke belakang, jika kita kembali bicara tentang kerajaan, tanpa memaknainya.
Kebebasan adalah laksana makanan lezat. Efek yang ditimbulkan adalah; ketagihan atau kekenyangan yang menyebabkan muntah.
Itu yang terjadi, bahwa siapapun bebas untuk mengeksploitasi siapapun. Humanisme? Maaf, hanya sedikit sekali yang memaknainya.
Kita semua yang memilih perubahan, yang bernama Reformasi. Tetapi kita tidak berubah ke arah demokratisasi, melainkan perlahan-lahan kembali ke arah feodalistik kerajaanisme.
Menyedihkan? Itulah realita.
Adalah lebih pedih, jika aku melihat begitu banyak anak muda yang kini berusaha tidak acuh dengan sekelilingnya. Sibuk dengan gadget dan melupakan melihat “dusun” sebagai awal dari cara masyarakat Jambi ber-pemerintahan.
Adalah sama pedihnya, ketika kita semua masih sibuk dengan pembangunan simbolistik tanpa arah yang jelas.
Adalah sangat pedih, ketika saat ini aku kembali mengunjungi dusun yang sama pada era ’90-an lalu. Yang tetap berada dalam kondisi sama; tanpa jalan masuk melalui jalur darat.
Lalu, kita malah menuju otonomi, tanpa memaknai otonom itu apa. Yang terjadi adalah bahwa kabupaten/kota yang punya wilayah, tetapi provinsi yang punya program.
Dan, entah bagaimana tata cara pembagian wilayah ketika itu. Sehingga, kini, terdapat kabupaten yang terpaksa harus melintasi areal milik perusahaan.
Perubahan? Apa yang berubah? Pola?
Politik Identitas; tanah para leluhur, warisan para leluhur, tapi melupa untuk mendoakan para leluhur.
Perubahan? Atau semakin surut jauh ke belakang?
Dari gendang telinga, masih terdengar yel yel itu, makin lama makin nyata. Sebagai sebuah kenangan, yang sepatutnya menjadi pembelajaran.
Sebab, hidup, hakikinya, adalah proses pembelajaran. Sehingga, siapapun yang tidak berproses belajar di dalam kehidupannya, adalah sama dengan mati; kaku dan beku. ***
* Jurnalis TheJakartaPost