Sekelumit Kisah Tentang “Kota Baru”

Jon Afrizal*

Di awal era ’80-an, sewaktu itu Kota Jambi dipimpin oleh Walikota Ashari DS. Tercetus keinginan untuk membuat Kota Jambi lebih meluas, dengan pertimbangan jumlah penduduk yang ada dan akan terus bertambah.

Sebuah areal baru kemudian di-land clearing. Hamparan yang luasannya mencapai puluhan hektar. Dibangunlah rumah-rumah bersusun-susun, di sana.

Rumah dengan berbagai tipe. Tentunya untuk rakyat pada umumnya. Para pegawai negeri dan para pegawai perusahaan swasta. Umumnya mereka baru ber-rumah tangga.

Uang untuk angsuran per bulan pun hanya hitungan ribuan rupiah, sewaktu itu.

Di hamparan luas itu, kemudian disebut Perumnas Kota Baru. Dengan menggunakan nama-nama burung sebagai nama jalan. Ada Lawet, ada juga Kepodang, serta yang lainnya.

Disebut Kota Baru, adalah karena kawasan itu adalah kawasan yang baru dibangun yang berada di Kota Jambi. Untuk menandai kota yang baru ini, maka dibangunlah sebuah monumen.

Monumen itu berbentuk seperti Monumen Nasional (Monas) di Jakarta. Tetapi ditambah dengan empat ornamen jam dan replika angso.

Dikarenakan bentuk ujungnya mirip kobaran api berwarna emas seperti Monas, maka secara latah warga Kota Jambi pun menyebutnya Tugu Monas.

Namun, beberapa saksi sejarah akan mengingat bahwa bunyi dentangan jam itu terdengar hingga ke kawasan Sipin, yang jaraknya mencapai 4 kilometer, di waktu malam hari.

Entah karena Kota Jambi saat itu begitu sunyi dan hanya berpenduduk sedikit. Entah pula karena memang jam itu yang bagus kualitasnya. Tidak ada catatan mengenai ini.

Sama seperti banyak tempat di Kota Jambi, yang juga tidak tercatat kesejarahannya, dan hanya mengandalkan ingatan saksi sejarah yang umumnya telah uzur dan melamur pandangannya.

Namun, yang masih teringat adalah suasana Kota Baru pada waktu itu. Sangat panas, dengan rumah-rumah yang minim ventilasi. Sehingga setiap rumah harus menyediakan kipas angin untuk sekedar memutar udara agar ruangan tidak berbau “apek”.

Pohon-pohon pun hampir tidak ada sama sekali. Maklumlah, kawasan yang baru dibuka.

Saat ini, jika masih ada dari penghuni asli yang tetap tinggal di sana, bisa saja adalah keturunan ketiga atau bahkan keempat.

Pusat dari Kota Baru adalah Tugu Monas. Di sekelilingnya, setiap sore banyak warga yang menjadikannya sebagai tempat untuk nongkrong. Pun begitu jika malam Minggu menjelang.

Sewaktu itu, tari kejang atau dalam bahasa aslinya “Break Dance” tengah mewabah. Banyak remaja yang nongkrong di sana. Dandanan mereka lengkap; berikat kepala seutas tali dari kain, baju gombrong  yang dipotong di bagian perut dan celana jeans ketat dengan kaos kaki berada di luar, serta sepatu sport untuk running.

Adalah tak lupa juga sambil membawa tape compo berwarna metalik dan sehampar kardus bekas. Tembang unggulan saat itu adalah Axel F dari Harold Faltemeyer dari soundtrack film Beverly Hills.

Memang, sewaktu itu sedang jamannya musik elektronik. Sehingga perangkat synthesizer. Dan, Harold Faltemeyer adalah salah satu pengusung musik itu.

Semakin malam, suasana akan semakin ramai. Baik oleh pe-dancer maupun oleh penonton.

Lalu, petugas kepolisian pun akan mendatangi mereka dan membubarkannya. Mungkin atas alasan kerumunan yang dapat membuat huru-hara atau sejenisnya.

Sewaktu itu, warga Kota Jambi tidak mengenal petugas Satpol PP.  Urusan ketertiban umum adalah di kepolisian yang masih berada di ABRI. Jika pun ada petugas yang lain, itu pun adalah Hansip (Pertahanan Sipil).

Namun, pada era Walikota Sy Fasya, dilakukan pemugaran terhadap monumen yang dinyatakan sebagai tanda kota yang baru itu. Di tahun 2018, ornamen api berwarna emas dipugar menjadi keris.

Suasa Kota Baru dengan Tugu Keris pada waktu malam, saat ini. Kemegahan Tugu Keris membuat banyak orang melupa terhadap Tugu Monas yang sangat sederhana, yang sebelumnya telah ada. (credit tittle : Jon Afrizal)

Beberapa orang mengatakan itu Keris Siginjei. Beberapa yang lain malah mempertanyakan berapa jumlah lekuk di keris itu. Sebab, hingga kini pun masih dipertanyakan banyak orang tentang keris itu berada di mana, berikut juga keasliannya.

Sewaktu Uni Soviet di jaman Mikail Gorbacev memimpin, diterapkanlah kebijakan “Glasnost” atau transparansi. Akibat kebijakan itu, maka Uni Soviet pun menuju Federasi Rusia.

Hal senada pun terjadi. Banyak patung dan monumen yang menjelaskan bahwa negara itu dulunya adalah negara Tirai Besi pun dihancurkan. Agar, tentunya tidak ada lagi anggapan itu.

Sama seperti, kejadian runtuhnya Tembok Berlin, hanya beberapa saat sebelum runtuhnya Uni Soviet. Tembok Berlin adalah perlambang dari keterkungkungan dan penjara yang telah membelah dua Kota Berlin pasca Perang Dunia ke-dua, yang merujuk kepada kekalahan Hitler.

Namun, seperti ungkapan Marcus Garvey, seorang bapak pembebasan orang kulit hitam di Kepulauan Karibia, “Anak bangsa yang tidak mengetahui sejarah masa lalu, budaya dan tradisinya adalah laksana pohon tanpa akar.”

Kini, suasana Kota Baru sangat sejuk berkat rerimbun pepohonan. Kiri kanan jalan ditumbuhi pepohonan yang kanopinya terus membentang dan mengejar sinar matahari. Tetapi, entah apa yang terjadi dengan perakarannya, tidak ada yang mengetahuinya.

Sebagai pusat pemerintahan, jalur jalan yang ada selalu macet pada saat-saat sibuk. Sebab lebar ruas jalan tidak lagi sebanding dengan volume kendaraan yang melintas.

Pada malam hari, ibarat sebuah pasar malam, lampu berkerlap-kerlip. Terutama pada malam Minggu yang dinyatakan sebagai “Car Free Night”.

Seluruh pedagang dan pembeli berbagai usia tumpah padat di perempatan Tugu Keris, begitu namanya kini. Hanya ada ruang tersisa sedikit, yang dimanfaatkan beberapa anak-anak muda untuk menggelar pustaka gratisan.

Begitu pula di hari Minggu. Berbagai kegiatan senam kesehatan juga ada di sana.

Perubahan terkadang menyesak sejarah. Menyudutkan nilai-nilai yang seharusnya tetap ada.

Meskipun hanya tinggal kenangan, setiap orang-orang tua yang pernah dan masih berdiam di Kota Jambi tetap menyebut perempatan ini dengan sebutan Tugu Monas. Sebagai penghormatan mereka terhadap orang yang telah membuka kawasan ini sebagai Kota Baru.

Entah sampai kapan sebutan itu masih terdengar. Seiring kubur yang semakin dekat menanti mereka.*

* Jurnalis TheJakartaPost

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Posts