Kembali Menjadi Bangsa Samudra

Wenri Wanhar dari Perkumpulan Wangsamudra bersama Bupati Dharmasraya, Sutan Riska Tuanku Kerajaan saat launching Festival Pamalayu.

PENULIS : WENRI WANHAR, Perkumpulan Wangsamudra

Oi niniak… Siriah sakapua lah kami tatiang. Dihatur sembah jari nan sepuluh, mohon ampun kami. Basamo kito mambangkik batang tarandam. Mambalia’an siriah ka gagangnyo. Pinang ka tampuaknyo. Kok lai bungo ka jadi putiak, putiak ka jadi buah, buah untuak ka basamo. 

Saudara…

Meseum Nasional, gedung tempat kita berkumpul sekarang ini, pada masa lalu adalah kantor Bataviaasch Genootchaap, tempat berkumpulnya para ilmuwan kolonial.

Pada sebuah masa, nun jauh di kalampauan, ilmuwan-ilmuwan kolonial itu ke pangkal pusek tanah Sumatera. Menjejaki tapak tua Suwarnabhumi, menyilau reruntuhan Kerajaan Dharmasraya.

Pada 1880 mereka mendapati Amoghapassa di Rambahan, Bukik Baralo, tepian tebing Batanghari, yang kini oleh masyarakat setempat disebut Lubuak Bulang.

Menghilir sedikit Lubuak Bulang, pada 1911, giliran lapik batu alas Amoghapassa ditemukan. Persisnya di Lulua’an, Sungai Lansek, Padang Roco. Karena ditemukan di Padang Roco, para ilmuwan itu memberinya nama Prasasti Padang Roco.

Keduanya lalu dibawa kemari. Di gedung ini, Amoghapassa (nomor inventaris D.198-6469) dan lapiknya (D.198.6468) kembali dipajang bersatu, setelah sebelumnya terpisah karena dirambah segerombolan orang yang merasa paling tahu surga. Ha, terima kasih, tuan-tuan Meneer.

Dari tepian hulu Batanghari, di antara reruntuhan Kerajaan Dharmasraya pula lah, pada 1935 ilmuwan kolonial mendapati Bhairawa. Karena paling besar, ia dijuluki raja arca Museum Nasional ini.

Nah, di hari nan sehari ini, rakyat dari Kelarasan Batanghari datang kemari, menjemput tuah membuka alek nagari Festival Pamalayu: Merayakan Dharmasraya, Merayakan Persatuan Indonesia Raya.

Sadarah… Semoga semua semua makhluk berbahagia. Semoga pikiran baik tumbuh dari segala penjuru. Dijampuik kisah nan lamo, disilau saisi tambo, tampak sejarah nenek moyang kito. Kaba urang kami kabakan, duto urang kami ndak sato.

ILMU PENGETAHUAN RESMI, PRODUK SIAPA?

Di gedung Museum Nasional ini, di bekas kantor Bataviaasch Genootschap inilah sendi-sendi pelajaran sejarah yang diajarkan di sekolah-sekolah, di menara gading ilmu pengetahuan resmi diproduksi. Di gedung inilah para ilmuwan kolonial menghidupkan tuahnya. Terima kasih, Meneer. Kini, giliran kami.

Puan dan Tuan…

Saya sudah melihat poin materi yang dibawakan Mas Bambang Budi Utomo dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional. Pelurusan sejarah tentang Pamalayu, berdasarkan bukti-bukti arkeologis disampaikannya dengan baik. Terima kasih, Mas Tom.

Beliau memang sudah sejak tahun 1980-an melakukan penelitian di reruntuhan Kerajaan Dharmasraya. Mulai dari Padang Roco, Pulau Sawah, Rambahan, hingga Awang Maombiak yang keseluruhannya berada di hulu tepi sungai Batanghari.

Dharmasraya memang berjaya pada masa sungai-sungai adalah jalan raya dan lautan gelanggangnya. Kemilau Suwarnabhumi semasa nenek moyang kita masih menjadi bangsa pelaut.

Tentang sejarah Kerajaan Dharmasraya di kelarasan Sungai Batanghari akan saya sampaikan secara lisan. Tulisannya menyusul. Sebuah buku berjudul DHARMASRAYA sedang kita susun. Bila semesta berkehendak, semoga sudah terbit saat perayaan puncak Festival Pamalayu nanti.

Sedikit bocoran. Kata “Maharaja Dharmasraya” dua kali muncul dalam kitab Niti Saramuscaya, yang digadang-gadang sebagai naskah Melayu tertua di dunia.

Niti Saramuscaya lebih dikenal sebagai Naskah Tanjung Tanah. Ini karena ia disimpan di Tanjung Tanah, lembah Gunung Kerinci, daratan tertinggi di Sumatera, Puncak Suwarnadwipa.

Buku kecil dari kulit kayu daluang itu dijilid benang. Ditulis dalam bahasa Melayu dan Sanskerta. Tak terdapat satu pun kata serapan dari bahasa Arab. Isinya undang-undang. Aturan main kehidupan yang, sebagaimana tertulis di dalam kitab itu, dibuat dimuka Maharaja Dharmasraya.

Mei 2003, atas inisiatif Uli Kozok, seorang ilmuwan kelahiran Jerman, potongan naskah dari halaman kosong naskah Tanjung Tanah dikirim ke Rafter Radiocarbon Laboratory di Wellington, New Zealand. Uji karbon ini, atas seizin si empunya naskah, tentu.

“Hasil laboratorium tertanggal 18 November 2003 membenarkan naskah tersebut dari zaman pra Islam. Dan usianya lebih dari 600 tahun…Merupakan naskah Melayu tertua yang pernah ditemukan,” tulis Uli Kozok dalam buku berjudul Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah—Naskah Melayu Tertua.

Ingat ya… lebih dari 600 tahun. Sebetulnya, penanggalan pasti penulisan Niti Saramuscaya tertera di halaman pembuka naskah itu. Hanya saja belum ada yang mampu membacanya secara jelas.

Samar-samar hanya nampak, ia ditulis saat perayaan Waisak. Keajaiban untuk dapat membaca baris pertama kitab tersebut sama-sama kita nantikan.

Berdasarkan penelusuran kita, sudah didapat petunjuk kenapa naskah itu sampai di Tanjung Tanah.

Yakni, sebuah naskah tambo lawas yang disimpan di Mendapo Kemantan, Kerinci.

Dalam naskah Kemantan terang disebutkan bahwa Niti Saramuscaya tidak sendirian. Dalam sebuah masa (waktu persisnya masih kita tinjau), ada peristiwa pembagian, penyebaran dan titip pitaruah manyimpan pusako.

“…tanduk kijang becipang tujuh betulak mudik, keluk kati kegumbak mas betulak ilir, tumbak belang di Sanggaran Agung, Talang Genting ke Tebing Tinggi, undang-undang tanah Seleman, piagam di tanah Hyang, celak berjalan Penawar Tinggi.”

Undang-undang tanah Seleman yang tertulis dalam tambo itu sudah dipastikan adalah kitab Niti Saramuscaya alias Naskah Undang-Undang Tanjung Tanah. Perlu diketahui, Tanjung Tanah adalah wilayah di dalam Kemendapoan Seleman, Kerinci.

Kejadian apa yang melatarbelakangi peristiwa itu pun sudah kita kantongi kisahnya. Sayang, belum bisa kita ketengahkan hari ini. Sebab, perlu satu dua data pendukung lagi.

Kita ulas juga, bahwa sebelum Uli Kozok, orang Barat yang pernah menengok, mempelajari dan menuliskan kajian naskah-naskah tambo pusako Kerinci adalah Petrus Voorhoeve, seorang pejabat taalambtenar—pegawai bahasa di zaman kolonial Hindia Belanda.

Dua kali Voorhoeve mengunjungi Kerinci. Pertama, April 1941. Kedua, Juli pada tahun yang itu juga. Kajian Voorhoeve berbuah buku berjudul Tambo Kerinci.

Sebelum Voorhoeve ada William Marsden yang terkenal dengan bukunya The History of Sumatra. Ilmuwan asal Inggris ini mengkaji aksara tua Sumatra kisaran tahun 1811, 1834. Temuannya dimuat dalam On the Polynesian, or East Insular Languages yang terbit di London pada 1834.   

Oiya, sekadar catatan, karya-karya Marsden inilah yang memancing Thomas Stamford Raffles menulis buku The History of Java.

Satu kisi-kisi lagi. Yakni hubungan Dharmasraya dengan suku Domo yang hingga kini mendiami hulu sungai Kampar, dan di kawasan Candi Muara Takus.

Undangan Tamasya ke Masa Lalu

Pada kesempatan bermuka-muka ini, sedikit banyak tentang sejarah Dharmasraya baiknya kita diskusikan secara lisan saja.

Karena melalui tulisan ini, kita hendak mengundang Puan dan Tuan bertamasya ke masa lalu. Ke masa-masa Museum Nasional, Jakarta ini masih menjadi kantor Bataviasch Genootchap. Agar kita sama-sama tahu, sebenarnya di mana sekarang kita berada.

Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen atau Kelompok Seni dan Ilmu Pengetahuan Masyarakat Batavia didirikan pada 24 April 1778 oleh Jacob Cornelis Matthieu Radermacher.

Pembentukan Bataviaasch Genootschap merupakan langkah awal dari jalan untuk menginstitusikan ilmu pengetahuan di Hindia Belanda.

Rapat umum pertama organisasi baru ini dilangsungkan di kantor pusat pemerintah Hindia. Sehingga kedudukannya sangat menentukan dalam masyarakat Batavia.

Anggotanya mula-mula sebanyak 192 orang; 103 menetap di Batavia, lainnya tersebar di pos-pos dagang Belanda di Kepulauan Hindia (kini bernama Indonesia), Jepang, India, dan Sri Lanka.

Diskusi-diskusi hangat tentang benda-benda antik, rasa penasaran, dan fenomena alam menjadi di ruang-ruang penelitian Bataviaasch Genootschap menandingi gema semangat dari komunitas-komunitas serupa di Philadelphia dan Manchester, dan juga ibu kandung spiritual Genootschap, de Hollandsche Maatschappij der Wetenschappen di Haarlem.

Untuk menarasikan dan menyebarluaskan gagasannya, Bataviaasch Genootschap yang merupakan satu di antara institusi sains tertua di Asia, bahkan yang pertama di Asia Tenggara, menerbitkan jurnal ilmiah Verhandelingen.

Radermacher, pendiri lembaga ini lahir di Den Haag, Belanda, 1741 dari keluarga berpengaruh.

Ayahnya Joan Cornelis Radermacher, seorang Grand Master pertama Freemason di Belanda yang bekerja sebagai bendahara keluarga kerajaan. Pamannya anggota dewan direksi Kongsi Dagang Hindia Timur (VOC).

Lelaki itu berlayar ke Batavia usia 16 tahun. Sebagai pedagang VOC, kariernya melesat hingga menyandang pangkat saudagar tinggi dan memegang jabatan syahbandar Batavia.

Dia menikahi putri almarhum Hugo Verijssel, anggota Raad van Indie (Dewan Hindia). Suami kedua ibu istrinya Reinier de Klerk, anggota khusus Dewan Hindia yang kemudian menjadi Gubernur Jenderal VOC.

Posisi ini membuatnya kian mudah diterima kalangan elite Batavia.

Enam belas tahun sebelum mendirikan Bataviaasch Genootschap, persisnya pada 1762, Radermacher lebih dahulu mendirikan La Choisie, loji Freemason pertama di Hindia Belanda.

Berdasarkan risalah yang ditemukan, Bataviaasch Genootschap didirikan untuk mendorong kajian ilmiah, demi kemajuan ilmu alam, perbaikan kesehatan, dan pertanian, juga kajian sejarah dan adat-isiadat suku bangsa di Nusantara.

Sebagai ketua direksi pertama Bataviaasch Genootschap, Radermacher menempatkan de Klerk menjadi pelindung dalam struktur lembaga tersebut.

“Radermacher tak segan merogoh kocek sendiri untuk menutup defisit yang dialami lembaga itu,” ungkap Rahadian Rundjan, sekondan lama waktu kami sama-sama berkhidmat di Historia, majalah sejarah populer pertama di Indonesia.

Demi membesarkan Bataviaasch Genootschap, tak hanya menyumbang banyak tulisan untuk Verhandelingen, Radermacher juga menyumbangkan sebuah rumah di Kali Besar, berikut delapan peti kayu berisi buku-buku berharga dari Eropa, koleksi hewan, fosil, bebatuan, beberapa instrumen musik Jawa, beraneka ragam mata uang koin, bahkan sebuah taman untuk kepentingan riset botani.

Setelah Radermacher terbunuh dalam perjalanan pulang ke Belanda pada 1783, aktivitas Bataviaasch Genootschap langsung menurun drastis

Wajar saja. Sebab, “untuk perhimpunan, yang merupakan badan ilmiah Eropa pertama di bumi Asia, tak dapat disangsikan lagi Radermacher merupakan poros yang menggerakkan semua,” ungkap Th Stevens, penulis buku Tarekat Mason Bebas dan Masyarakat di Hindia Belanda dan Indonesia, 1764-1962.

Sepeninggal Radermacher, dukungan VOC mengendur. Anggota Bataviaasch Genootschap menyusut hingga tinggal belasan orang. Pukulan berikutnya datang dari situasi politik di Eropa. Belanda diduduki Perancis pada 1795, menyusul kemudian bangkrutnya VOC pada 1798.

Jawa diduduki Prancis, dan kemudian datang Inggris tahun 1811. Ketika Inggris berkuasa, Bataviaasch Genootschap diambil-alih dan kepengurusannya diserahkan kepada Raffles, letnan gubernur Jawa yang memiliki kharisma, semangat liberal, dan hasrat naturalis kukuh.

Pada masanya, Raffles gencar mempromosikan kajian sejarah alam, sosiologi peradaban, dan menanggalkan perhatian institusi tersebut dari bidang kesenian.

Dalam ceramahnya di depan anggota Bataviaasch Genootschap yang termuat dalam Memoir of the Life and Public Services of Sir Thomas Stamford Raffles Vol. II, Raffles mengutarakan keinginannya untuk membuka akses yang luas bagi para sarjana Barat untuk melakukan penelitian di tanah Hindia.

“Mari kita berharap tidak akan ada lagi kebijakan yang bisa meremukkan semangat penelitian yang sempat menghilang dari (institusi) ini; juga tidak melanjutkan, dalam kondisi apa pun, upaya menutup mulut orang-orang yang seharusnya berhak memiliki akses terhadap ilmu pengetahuan,” ujarnya sebagai penutup ceramah yang disampaikan pada perayaan ulang tahun Bataviaasch Genootschap, 24 April 1813.

Kegiatan ilmiah Bataviaasch Genootschap berangsur-angsur aktif kembali. Karena gedung di Kali Besar sudah penuh menampung koleksi, Raffles memerintahkan pembangunan gedung baru (kini di Jalan Majapahit No. 3) yang juga berfungsi sebagai tempat pertemuan anggota Literary Society yang dia dirikan.

“Setelah dihidupkan kembali oleh Thomas Stanford Raffles selama masa peralihan pemerintahan Inggris, Bataviaasch Genootschap secara progresif berubah menjadi komunitas wadah perdebatan soal masalah-masalah Indologi, terutama arkeologis maupun etnografis,” tulis Lewis Pyenson.

Puan dan tuan… Thomas Stanford Raffles yang kita kisahkan ini adalah jawaban ujian di bangku sekolah untuk soal: SIAPA PENEMU BUNGA BANGKAI?

Kalau bukan Raffles, maka jawaban itu akan disalahkan oleh guru.

Ahai…bukankan Raffles datang ke negeri yang hari ini bernama Indonesia pada 1811 dan pergi pada 1816?

Macam sebelum Raffles datang, di negeri ini tak ada orang!

Kalau soal itu muncul dalam soal ujian di sekolah-sekolah di Eropa, boleh saja. Tapi…ah, kurikulum pendidikan di Indonesia memang warisan ilmuwan kolonial.

Ketika Inggris hengkang tahun 1816 dan pemerintahan Hindia Belanda dipulihkan, Kerajaan Belanda mempromosikan kembali aktivitas intelektual di Hindia Belanda. Bataviaasch Genootschap kerap terlibat, membuatnya seakan menjadi lembaga setengah resmi pemerintah.

Lembaga ini pun berkembang pesat sejak dipimpin Baron van Hoevell. Pada masa ini, penelitian difokuskan pada bidang linguistik dan etnografi Jawa dan Melayu.

Dalam artikelnya soal rencana kerja Bataviaasch Genootschap tahun 1843, Baron van Hoevell mengemukakan pandangan liberalnya. Menurut dia, keilmuan adalah sarana “menyebarkan pencerahan dan peradaban, membentuk sesuatu yang baik dan permanen bagi generasi mendatang penduduk koloni.”

Kebijakan ini menyebabkan Bataviaasch Genootschap melepaskan sama sekali fokus penelitian terhadap sejarah alam, yang akhirnya diambil Koninklijke Natuurkundige Vereeniging (KNV) atau Asosiasi Ilmu Pengetahuan Alam Kerajaan bentukan naturalis Pieter Bleeker tahun 1850 di Batavia.

Temuan ilmiah terbaru para peneliti Hindia Belanda dipresentasikan di hadapan anggota Bataviaasch Genootschap.

Misalnya temuan Thomas Horsfield tahun 1812 tentang khasiat racun pohon upas yang menjadi buah bibir di Eropa.

Bataviaasch Genootschap juga terlibat aktif dalam proyek arkeologi pemerintah seperti pemugaran candi Borobodur dan pemotretannya yang dilakukan Isidore van Kinsbergen.

Jumlah penerbitannya juga bertambah. Pada waktu itu, terdapat 11 jurnal berbeda yang beredar di Batavia, dan hampir semuanya dicetak Bataviaasch Genootschap.

Koleksi Bataviaasch Genootschap terus bertambah setiap tahunnya. Untuk mengakomodasikannya, pada 1862 pemerintah Hindia Belanda memutuskan membangun gedung museum baru di Koningsplein West (kini Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta).

Gedung museum ini dibuka untuk publik enam tahun kemudian. Sebuah patung gajah kemudian ditempatkan di depan museum, yang merupakan hadiah dari Raja Chulalongkorn dari Siam kepada pemerintah Hindia Belanda atas sambutannya yang hangat ketika rombongan kerajaan mengunjungi Batavia tahun 1871.

Karena ada patung gajah di pekarangan depan museum, rakyat Jakarta menyebut gedung ini Museum Gajah. Hingga kini, patung gajah itu masih bisa Puan dan Tuan tengok di depan sana.

Dalam perkembangannya, “para pengemban jabatan politik kolonial tidak menganggap penting aktivitas ilmu pengetahuan, atau baru menganggapnya penting apabila searah dengan garis kebijakan kolonial,” ungkap Rahadian.

Pada akhirnya ilmu pengetahuan dipergunakan rezim kolonial untuk mengatur alam dan masyarakat kolonial secara sistematis, begitu pula yang terjadi pada Bataviaasch Genootschap.

Mencuplik Sangkot Marzuki, mantan kepala Lembaga Eijkman periode 1992-2014, dalam diskusi dan peluncuran buku terjemahan Belenggu Ilmuwan dan Pengetahuan terjemahan dari karya Andrew Goss, Oktober 2014, Raha menulis, “pendanaan kegiatan ilmiah saat itu hampir semuanya berasal dari negara. Karena itu, para ilmuwan dengan sadar selalu mencoba mencocokkan arah penelitiannya sesuai dengan kepentingan negara.”

Ya, begitulah! Rupanya…para ilmuwan Bataviaasch Genootschap dengan sadar selalu mencoba mencocokkan arah penelitiannya sesuai dengan kepentingan pemerintah kolonial.

Lucunya, sejak Republik ini merdeka, narasi yang diproduksi para ilmuwan kolonial tersebut terus direproduksi hingga hari ini. Sama halnya dengan hukum, peraturan ala Belanda yang masih saja terus dipakai.

Bagaimana pun, sebagai bentuk penghormatan kepada ilmu pengetahuan, narasi-narasi yang mereka diktekan sudah kita pelajari baik, kita baca baik-baik, kita pelajari dengan kemampuan terbaik, sebatas yang kita bisa.

Untuk itu, berterima kasih juga lah kita kepada para pengampuh ilmu pengetahuan itu.

Hanya saja, sejauh yang kita silau, kok romannya ada yang tidak cocok ya…

Contoh, tidak satu pun koleksi di gedung pamer arca di museum ini, menyebut DHARMASRAYA!

Padahal, si raja arca. Bhairawa. Patung batu paling tinggi di sini dibawa dari tapak-tapak reruntuhan Kerajaan Dharmasraya.

Boleh jadi ini karena ketidaktahuan. Jadi, saling memaafkan saja. Kita pun minta maaf bila sok tahu.

Ada sebuah kisah klasik …

Pada 1923, Bataviaasch Genootschap beroleh gelar Koninklijke atau gelar kerajaan dari Kerajaan Belanda,. Dianggap berjasa di lapangan ilmiah.

Seiring itu lembaga tersebut mendirikan beberapa bagian (Afdeelingen) untuk masing-masing bidang ilmu pengetahuan: Bagian Hukum Adat (Adatrech), Bagian Antropologi dan Bahasa (Taal-, Land- en Volkenkunde), Bagian Hukum (Rechtswetenschap), Bagian Ekonomi (Staathuishoudkunde), Bagian Kajian Politik Internasional (Studie Internationale Vraagstukken), dan Bagian Sejarah (Geschiedenis).

Bataviaasch Genootschap memang berkompetisi dengan institusi-institusi lainnya, tapi soal bidang bahasa, geografi, dan etnografi merekalah yang terdepan,” tulis Rudolf Effert dalam Royal Cabinets and Auxiliary Branches: Origins of the National Museum of Ethnology 1816-1883.

Meski memiliki keanggotaan yang luwes dan terbuka, hanya sedikit kalangan elit bumiputera yang bergabung sebagai anggota.

Satu di antaranya pelukis Raden Saleh yang, “menyerahkan beberapa naskah lontar yang berharga kepada perpustakaannya, dan pada tahun 1865 ia sendiri melakukan penelitian paleontologis di Jawa Tengah,” tulis Denys Lombard dalam Nusa Jawa: Batas-batas Pembaratan.

Baru ketika Politik Etis dijalankan, beberapa bumiputera jebolan pendidikan Barat bergabung, seperti Raden Mas Poerbatjaraka yang kemudian menjadi kurator koleksi manuskrip Jawa kuno dan Husein Djajadiningrat yang kemudian mengepalai lembaga tersebut pada 1936.

Pada masa kepemimpinan Djajadiningrat, sepuluh persen anggota berasal dari kaum bumiputera.

Aktivitas Bataviaasch Genootschap terhenti total ketika pecah Perang Pasifik. Beruntung koleksinya yang tersimpan di museum tidak rusak selama masa-masa pergolakan di Jakarta.

Pada 26 Januari 1950, Bataviaasch Genootschap diubah namanya menjadi Lembaga Kebudajaan Indonesia (LKI).

Namun karena kesulitan dalam pengurusannya, LKI diambil-alih pemerintah dan ditempatkan di bawah pengawasan Jawatan Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Kini aset koleksinya ditransformasikan ke dalam bentuk Museum Nasional Indonesia. Sedangkan koleksi buku-bukunya diserahkan kepada Perpustakaan Nasional. Arsip-arsip berharga, yang mencakup risalah rapat, daftar koleksi, dan dokumen lain sempat terlantar sebelum ditemukan dan diserahkan kepada Arsip Nasional.

Kajian-kajian itu kemudian menjelma kurikulum pendidikan di Indonesia.

Saudara sebangsa… matahari memang masih matahari yang dulu. Langit juga masih langit yang dulu. Dan, di bawah matahari yang ini… rupanya kita perlu menulis ulang sejarah luhur leluhur kita.

PENGETAHUAN SEJARAH ADALAH KEKUATAN MASA DEPAN

Sanak saudara sebangsa setanah air…

Festival Pamalayu: Merayakan Dharmasraya, Merayakan Persatuan Indonesia Raya dihelat dengan semangat: HARI INI MENYILAU MASA LALU UNTUK MENYONGSONG MASA DEPAN NAN GILANG GEMILANG.

Alam takambang manjadi guru, mancaliak contoh ka nan sudah, maambia tuah ka nan manang…

Ada pelajaran dari Julius Caesar, pimpinan Bangsa Romawi ketika berhasil “memenangkan” dunia.

Alkisah, Julius Caesar memanggil Sosigenes, seorang ahli astronomi. Mereka berunding. Menghitung ulang penanggalan kalender.

Menjumpai sang penguasa Romawi, “Sosigenes membekali diri dengan tiga risalah astronomi,” tulis Pliny dalam Natural History, kitab sejarah yang ditulis pada awal masehi.

Sayang, dalam buku yang ditulisnya, Pliny tidak memperinci tiga risalah astronomi yang dibawa Sosigenes.

Ambrosius Aurelius Theodosius Macrobius, penulis kitab sejarah yang juga terbit pada awal masehi, dalam buku Saturnalia menambahkan, untuk merancang kalender baru, Julius Caesar dibantu juga oleh M. Flavius, ahli Taurat dari Alexandria, Mesir.

Buah dari serangkaian perundingan ilmu pengetahuan itu, kalender yang sebelumnya hanya 10 bulan, dengan urutan; Mart, Aprilis, Meius, Junius, Quintilis, Sestilis, Septembre, Oktobre, Novembre dan Decembre bertambah jadi 12 bulan.

Dasar pemikiran ini terkait musim, mitologi dan sejarah.

Dua nama bulan baru yang dicetuskan langsung oleh Julius Caesar; Januarius dan Februarius. Ditempatkan jadi bulan pertama dan kedua.

Januarius berasal dari kata Janus, dewa yang punya wajah dua. Ia ditempatkan di titik pergantian tahun, karena diyakini bisa menengok masa lalu dan masa datang di waktu bersamaan.

Dan, secara siklus di negerinya, pada bulan itu adalah awal datangnya musim salju.

Februarius berasal dari kata Febro, dewa kematian. Ditempatkan jadi bulan kedua karena pada bulan itu, puncak musim salju. Nyaris semua tumbuhan mati. Hanya tanaman rumpun cemara yang bisa bertahan hidup.

Sejak itu, urutan kalender pun berubah menjadi Januarius, Februarius, Mart, Aprilis, Meius, Junius, Julius, Sestilis, Septembre, Oktobre, Novembre, Decembre.

Untuk meninggalkan jejak, Julius Caesar memasukkan namanya pada bulan ke tujuh. Ia mengganti Quintilis dengan Julius.

Caesar tentu tak serampangan. Quintilis berarti ratu atau penguasa.

Karena dicetuskan Julius Caesar, perhitungan almanak baru itu pun dikenal sebagai Kalender Julian.

Menurut ilmuwan Sacha Stem, apa yang dilakukan Julius Caesar mencerminkan upayanya mengakomodir unsur tradisional Romawi, sekaligus memperbaiki struktur Kalender Mesir.

Makanya, “Kalender Julian mempertahankan nama-nama bulan dalam kalender sebelumnya,” tulis Sacha dalam buku Calendars in Antiquity: Empires, States, and Societes.

Mulai saat itu, tahun baru 1 Januari mulai dirayakan. Yakni pada 45 sebelum masehi. Versi lain menyebut 46 sebelum masehi.

Kita tegaskan lagi. Januari, bulan pertama yang semula disebut Januarius, berasal dari kata Janus, dewa berwajah dua yang mengandung falsafah; PENGETAHUAN SEJARAH ADALAH KEKUATAN MASA DEPAN.

Dan sekali lagi kita ulangi, rupanya kita memang perlu menulis ulang sejarah luhur leluhur kita.

Semoga pikiran baik tumbuh dari segala penjuru…

*Tulisan ini disampaikan Wenri Wanhar pada Launching Festival Pamalayu di Museum Nasional Jakarta, 22 Agustus 2019

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Posts
Read More

Gaharu, Siapa Berminat?

Jon Afrizal* Hampir seluruh agama di dunia menggunakan kayu gaharu (eaglewood) sebagai perlengkapan ibadah. Mulai dari tasbih hingga…