Besayak Tari Bebancian Penjaga Hukum Adat

KILAS JAMBI – Hari sudah larut, bulan terlihat berada di atas Desa Air Batu. Ruang tamu rumah Amri hening seketika. Pemuda dan tetua kampung terdiam. Pandangan mereka tertuju ke Mad Rasul.

Pria berusia lebih dari setengah abad ini berdiri. Di ujung kakinya dua buah tempurung kelapa (sayak). Sedangkan Amri dari semula sudah duduk di samping sayak sambil memegang alat musik sederhana dari seruas bambu tua yang diambil dari ruang gelap di dalam rumahnya.

Melihat sekeliling ruangan sejenak sebelum membuka langkah. Tak lama Mad Rasul mengelilingi sayak. Sedikit membungkuk, tangan kanannya diangkat hingga setinggi kening. Kembali ke posisi semula, Mad Rasul bersimpuh dan mengangkat kedua telapak tangannya hingga ke depan wajah. Tak lama, Mad Rasul berdiri dan membuat gerakan silat. Sementara itu, Amri mulai memukul-mukul bambu mengikuti gerakan Mad Rasul.

Kembali bersimpuh, Mad Rasul mengambil sayak di lantai dan mengadu punggung sayak menjadi ketukan setiap gerakannya. Setiap gerakan yang dilakukan Mad Rasul, sayak diketuk ke depan, ke belakang, ke samping dan ke atas menjadi gerakan tari. Sementara, pinggul Mad Rasul bergoyang layaknya penari perempuan. Tidak sampai satu menit, Mad Rasul menyudahi tariannya dengan meletakkan kembali Sayak ke atas lantai. “Begitulah kira-kira,” kata Mad Rasul, tokoh bebancian Tari Besayak Desa Air Batu, Renah Pembarab, Kabupaten Merangin, Provinsi Jambi setelah memperagakan gerakan Tari Besayak, Minggu, (9 /7).

Biasanya Mad Rasul menari 15 hingga 30 menit. Sekarang, jarang sampai 30 menit. “Gampang pegal linu,” ujar pria 65 tahun ini.

Tari Besayak sebenarnya dimainkan 4 orang penari laki-laki. Hanya saja dua penari laki-laki akan memerankan penari perempuan, dengan dandanan perempuan. Lengkap dengan kostum kebaya, kain perempuan, hingga tengkuluk alias penutup kepala perempuan Jambi. Wajah pun dirias mirip perempuan. “Kalau sudah mau tampil, saya tidak akan terlihat seperti kakek-kakek, tapi banyak yang menyangka saya ini nenek-nenek,” kata kakek 4 orang cucu ini.

Tari ini dimainkan saat menyambut tamu, kenduri kampung, dan merayakan lebaran di Desa Air Batu. Tradisi yang berada di kawasan Geopark Merangin ini pertunjukkan hiburan sejak zaman dahulu. “Karena tidak ada hiburan, nenek moyang menjadikan tari ini sebagai hiburan di dusun,” ungkapnya.

Tradisi ini sempat hilang hingga 60 tahun lamanya. Sebabnya banyak saksi hidup kesenian ini yang telah meninggal. Baru pada 2013 Tari Besayak kembali dimainkan warga Desa Air Batu menjelang perpisahan kuliah kerja nyata mahasiswa Universitas Jambi. Mereka mengusulkan agar memunculkan kembali Tari Besayak.

Setelah dibicarakan dengan Tetua Kampung, akhirnya Mad Rasul bersama beberapa pemuda kampung latihan untuk menampilkan Tari Besayak. “Sejak saat itu, latihan terus dilakukan sampai Tari Besayak ditampilkan di beberapa pagelaran di Jambi,” Hendra Kusnadi, pemain musik Tari Besayak.

Mad Rosul mengaku bisa menari Besayak dengan mengingat gerakan yang pernah dipelajari ketika masih berumur 8 tahun. Ia mengaku saat itu telah diajarkan menarikan Besayak dari nenek moyangnya.

Ketika menarikan kembali di usia tuanya, Mad Rasul sempat mendapat penolakan dari anak cucunya. Karena diumur yang sudah tidak muda lagi, Mad Rasul harus menjadi banci dan menari layaknya perempuan. “Ada rasa malu sebenarnya. Tapi demi membangkitkan seni tradisi ini, tidak masalah,” tegasnya.

Peran bebancian yang dimainkan, merupakan peran vital dari Tari Besayak. Selain itu, peran Bebancian juga menjadi hiburan utama dari tarian ini. Bukan hanya unik, tapi juga kerap mengundang gelak tawa penonton yang hadir. “Peran perempuan di Tari Besayak selain lemah gemulai, juga lucu,” katanya tertawa lebar.

Di tengah keceriaan menggambarkan peranannya dalam Tari Besayak, Mad Rasul tidak bisa menyembunyikan kecemasannya terhadap seni tradisi ini. Karena tidak banyak pemuda di dusunnya yang mau memainkan peranan sebagai penari perempuan. Meski banyak pemuda yang mau berlatih, pada saat akan tampil menyambut tamu, mereka tidak mau tampil dengan alasan malu. “Akhirnya, saya lagi yang tampil. Padahal, dengan usia saya sekarang, ada juga keinginan untuk pensiun,” terang pria yang sehari-hari bertani ini.

Meski demikian, dirinya dengan pengurus di Sanggar Buluh Betuah Sayak Beguno Desa Air Batu, terus berupaya melestarikan seni tradisi Tari Besayak. Selain latihan sekali seminggu. Beberapa bulan ini, mereka sudah melatih tiga sekolah dasar dan tarian ini menjadi kegiatan ekstrakurikuler belajar di sekolah.

Dirinya berharap, generasi muda, tidak hanya di Desa Air Batu, bisa ikut memiliki dan menjaga Tari Besayak. Sehingga tetap ada sebagai kekayaan nilai tradisi di Jambi. “Karena, banyak nilai dan norma adat yang terkandung di dalam tari Besayak,” jelasnya.

Peran bebancian di Tari Besayak tidak semata-mata untuk hiburan. Tari Besayak ini juga menjalankan aturan adat di Desa Air Batu. Aturan adat yang dimaksud tak lain melarang laki-laki dan perempuan untuk menari bersama. Jika ada yang melanggarnya, denda hutang adat kambing satu ekor dan beras akan dijatuhkan.

Hendra berharap, pemerintah memberikan perhatian lebih kepada seni tradisi yang sedang mereka pertahankan ini. Seperti, lebih memberikan porsi pertunjukan di luar Desa Air Batu. Sehingga, bisa menjadi salah satu motivasi pemuda Desa Air Batu untuk terus latihan dan terus melestarikan seni tradisi kebanggaan Desa Air Batu.

Berawal dari Legenda Putri Letup

Hendra Kusnadi mengaku dirinya sudah mengumpulkan berbagai cerita dari Tetua Desa Air Batu mengenai awal mula Tari Besayak. Dari cerita yang didapatkannya, Tari Besayak sudah ada ratusan tahun lalu.

Berawal dari legenda nenek dan Putri Letup. Dahulunya sepasang suami isteri, nenek moyang Desa Air Batu membuka ladang. Setelah kayu ditebang, kayu dibiarkan beberapa bulan untuk dikeringi untuk dibakar. Namun kayu tersebut masih banyak yang tidak terbakar.

Maka ada seorang nenek membuat Panduk (mengumpulkan kayu-kayu yang tidak terbakar untuk dibakar lagi). Setelah kayu dibakar, nenek kembali ke pondok (rumah ladang). Tidak berapa lama, sampai di pondok, nenek mendengar sayup-sayup suara bayi menangis. Si nenek mencari sumber suara itu, dan menemukan bayi perempuan yang tergeletak di atas bara api panduk yang dibakarnya.

Nenek mengambil bayi itu dan mengobati bekas luka bakar. Bayi perempuan itu akhirnya dirawat dan diangkat sebagai anak. Bayi perempuan itu diberi nama Putri Letup. Hari berganti hari, bulan berganti bulan, dan tahun berganti tahun, Putri Letup tumbuh menjadi gadis cantik dan periang. Saat Putri Letup berusia 17 tahun, suatu malam, Putri Letup bermimpi didatangi wanita paruh baya berkerudung dengan dandanan sangat cantik.

Putri Letup bertanya kepada nenek yang mengasuhnya sejak bayi dan dipanggil Mak (Ibu). Akhirnya si nenek menceritakan awal mula si nenek menemui Putri Letup. Setelah mendengarkan cerita dari si nenek, Putri Letup menjadi gadis pemurung dan pendiam.

Pemuda di Desa Air Batu menjadi heran melihat perubahan Putri Letup. Para pemuda kampung akhirnya mencari cara membuat Putri Letup tidak lagi murung dan bersedih. Namun, beragam cara tidak juga membuahkan hasil. Akhirnya, pada pemuda bersepakat untuk membuat keramaian di rumah Putri Letup.

Dengan bermacam tari dan pencak silat, Putri Letup tetap murung dan diam. Di tengah meriahnya acara, tiba-tiba datang sosok pemuda berpakaian wanita yang telah usang membuka langkah silat dan menari menggunakan batok kelapa atau tempurung kelapa (Sayak). Dengan lenggak lenggok dan disertai ketukan Sayak ke kiri, kanan, atas, dan ke bawah, akhirnya Putri Letup tersenyum dan bersuara.

Mulai saat itu, Tari Sayak selalu ditampilkan pemuda Desa Air Batu pada pesta pernikahan, acara muda-mudi saat tanam padi (Ketalang Petang). Selain itu, Tari Sayak juga dilakukan sesudah panen padi.

Awalnya Penari Sayak hanya dilakukan satu orang pemuda. Karena dilihat kurang asik tanpa pasangan, maka tari sayak dilakukan berpasangan. Tapi untuk pasangan Penari Sayak harus laki-laki. Karena, kalau berpasangan dengan perempuan, menjadi pemandangan yang kurang baik di tengah kampung.

Para tetua dan pemuka adat Desa Air Batu pun membuat aturan di dalam Hukum Adat, apabila wanita yang menari Sayak akan dikenakan hutang adat. Sanksi adat berupa beras, dan satu ekor kambing. Hingga saat ini ini hukum adat ini masih dipakai masyarakat Desa Air Batu.

Keberagaman Gender Mendapat Peran dalam Tradisi Jambi

Pengamat Seni dan Budaya Jambi, Jafar Rassuh, menjelaskan, seni tradisi di Jambi tidak bisa dipisahkan dengan hukum adat dan kepercayaan masyarakat setempat. Sehingga, seni tradisi yang ada di Jambi kebanyakan diatur dalam hukum adat.

Tari Besayak merupakan satu di antara kesenian yang menjaga norma dan nilai adat agar tetap ada. “Perempuan menari atau tampil dalam suatu pertunjukan tidak diperbolehkan dalam hukum adat beberapa daerah di Jambi,” jelasnya kepada Independen, Jumat (14/7).

Sedangkan peran bebancian di dalam Tari Besayak menegaskan bahwa persoalan keberagaman gender di tengah masyarakat Jambi mendapatkan peran. “Status banci atau keberagaman gender di dalam hukum adat di Jambi memang tidak diakui. Namun, peranannya diakui,” kata Jafar.

Bahkan, peranan bebancian dilakukan untuk menjaga Hukum Adat yang sudah berkolaborasi dengan hukum agama. “Buktinya, laki-laki dijadikan perempuan dalam pertunjukan tradisi. Berarti peranannya diakui. Meski statusnya tidak diakui di tengah masyarakat,” katanya.

Selain Tari Besayak, ada tradisi Dul Muluk yang juga peranan perempuannya dimainkan laki-laki. Hukum adat yang mengatur larangan perempuan dalam satu pertunjukan dengan laki-laki ini menurut Jafar setelah Islam masuk ke Jambi. “Sementara hukum adat itu sudah ada sebelum masuknya Islam ke Jambi,” katanya.

Namun, Jafar lebih kuatir dengan nasib seni tradisi yang ada di Jambi. Karena, seni tradisi di Jambi dari pengamatannya rata-rata hampir punah. “Seni tradisi di Jambi berada di tepi jurang,” kata Jafar mengistilahkannya.

Bukan tanpa alasan dirinya menyatakan hal itu. Para pelaku seni tradisi di Jambi saat ini sudah memasuki usia lanjut. Sedangkan regenerasi seni tradisi tidak berjalan dengan baik. Khusus untuk seni tari, koreografer yang ada di Jambi kebanyakan mengolah seni tradisi tanpa pernah melihat langsung sumber utama tradisi.

“Kalau saya lihat, sudah banyak pergeseran akar seni tradisi yang diolah dan ditampilkan di beberapa pertunjukan di Jambi,” ungkapnya.

Sehingga, generasi muda yang melihat berbagai pertunjukan tradisi, tidak lagi melihat nilai dan makna yang terkandung di dalam seni tradisi Jambi. “Bukan tidak boleh mengolah. Tapi yang saya maksudkan, hasil olahan seni tradisi tidak menghilangkan akar seni tradisi itu sendiri,” jelasnya.

Dirinya juga mendukung seni tradisi yang diolah untuk dijadikan pertunjukan yang lebih menarik. Namun, ciri khas dan pesan dari seni tradisi itu tetap harus dipertahankan. “Sebaiknya, sebelum diolah, koreografer yang ada di Jambi terlebih dahulu melakukan riset terhadap seni tradisi yang dimainkan dimana seni itu berasal,” ungkapnya.

Selain itu, dirinya berharap pemerintah lebih serius dalam upaya pelestarian seni tradisi di daerah. Dengan cara menempatkan orang-orang di pemerintahan yang bertanggungjawab terhadap seni tradisi di daerah adalah orang yang paham dan peduli. “Dibutuhkan kebijakan pemerintah terkait pengelolaan seni tradisi Jambi,” katanya.

Jika tidak, menurutnya, bukan tidak mungkin banyak seni tradisi di Jambi di ambang kepunahan. “Taman Budaya Jambi selaku labor dari seni tradisi Jambi harus lebih aktif untuk mengolah seni tradisi yang ada di Jambi tanpa menghilangkan akar seni tradisi itu sendiri. Selain itu, dokumentasi dan revitalisasi seni tradisi harus dilakukan,” jelasnya.

Sementara itu, ditemui sebelumnya, Kepala Taman Budaya Jambi, Didin Sirojudin, mengatakan, pihaknya selaku pelaksana teknis pengembangan seni budaya dan tradisi terus berupaya maksimal untuk melakukan perlindungan terhadap seni tradisi yang ada di Jambi. Salah satu upaya yang dilakukan yaitu dengan mendaftarkan seni tradisi ini menjadi Warisan Budaya Tak Benda (WBTB).

Tari Besayak Air Batu merupakan salah satu seni tradisi yang sudah terdaftar sebagai Warisan Budaya Tak Benda pada tahun 2015. “Sudah 18 seni tradisi yang ada di Provinsi Jambi tercatat menjadi Warisan Budaya Tak Benda,” ungkap Didin Sirojudin, Kamis (13/7).

Jangka panjang, Taman Budaya Jambi ditegaskannya akan menjalankan peran labratorium kesenian di Jambi. Dengan cara, melakukan pencatatan dan pengolahan berbagai seni tradisi yang ada di Jambi. “Apalagi untuk seni tradisi yang akan dipentaskan ke luar Jambi. Akan dilakukan uji labor terlebih dahulu di Taman Budaya Jambi. Sehingga, akan memberikan penampilan terbaik di berbagai pertunjukan daerah dan nasional,” jelasnya.

Meski demikian, pihaknya juga berharap pemerintah daerah tempat seni tradisi itu berasal juga berperan aktif dalam mengangkat berbagai seni tradisi daerah. “Sebaiknya juga dilakukan pengembangan di kabupaten/kota. Semua punya tanggungjawab untuk mengangkat kembali seni tradisi Jambi,” kata Didin.

Sementara itu, Toto Sucipto, Kepala Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Tanjungpinang ketika dihubungi melalui sambungan telepon menegaskan, pemerintah terus berupaya melestarikan seni tradisi daerah. Dengan cara berkoordinasi dengan Pemerintah Provinsi Jambi untuk melakukan pencatatan seni tradisi daerah dengan didaftarkan menjadi Warisan Budaya Tak Benda.

“Siapa saja bisa mengajukan seni tradisi yang ada di daerah untuk didaftarkan menjadi Warisan Budaya Tak Benda ke pemerintah setempat atau ke kami,” kata Kepala BPNB Tanjungpinang untuk wilayah kerja Provinsi Riau, Kepulauan Riau, Jambi dan Bangka Belitung itu, Jumat (14/7).

Ia menjelaskan 4 tahapan yang dilakukan sampai seni tradisi itu bisa ditetapkan sebagai WBTB. Yakni, pendaftaran, pencatatan, penetapan dan penominasian. “Setelah WBTB, bisa dinominasikan ke UNESCO untuk didaftarkan menjadi Warisan Budaya Dunia,” katanya.

Saat ini, sudah tujuh warisan budaya Indonesia yang sudah menjadi warisan budaya dunia. Yaitu, Wayang, Keris, Batik, Angklung, Saman, Noken, dan terakhir Tari Tradisional Bali. Selain itu ada tiga warisan budaya Indonesia yang segera ditetapkan menjadi warisan budaya dunia. Pinishi, Pantun, dan Pencak Silat.

Masuk menjadi Warisan Budaya Tak Benda dan Warisan Budaya Dunia kata Toto, bukan akhir dari upaya pelestarian. Melainkan, menjadi tanggungjawab dan kewajiban negara, pemerintah daerah dan masyarakat untuk terus melestarikan warisan budaya itu sendiri. “Ini menjadi tantangan kita untuk menjadikan warisan budaya nenek moyang kita ini tetap ada,” katanya.

Upaya yang dilakukan negara dan pemerintah daerah katanya, bisa mengadakan fetival seni tradisi, terutama yang sudah terdaftar di WBTB. Selain itu, hasil penggalian dan pengkajian yang dilakukan sudah diperbanyak dalam bentuk buku dan disebarkan ke tiap daerah. “Kami mengajak Pemerintah Provinsi Jambi untuk membuat festival seni tradisi yang sudah ditetapkan menjadi Warisan Budaya tak Benda ini,” katanya.

Upaya lain yang dilakukan pihaknya, dengan mengadakan Belajar Bersama Maestro (BBM). Melibatkan siswa dan mahasiswa yang tertarik untuk belajar seni tradisi daerah. “Dengan demikian, wawasan dan pemahaman seni tradisi bisa disampaikan ke generasi muda,” ujarnya.

Terkait potensi seni tradisi Jambi untuk masuk menjadi Warisan Budaya Dunia diakui Toto sangat terbuka lebar. Namun, harus ditunjukkan dengan keseriusan dan kepedulian pemerintah daerah dalam melestarikan seni tradisi yang ada di Jambi. “Paling penting itu ada keseriusan dan kepedulian pemerintah daerah dan masyarakat dalam melestarikan kekayaan seni tradisi daerah,” kata Toto menegaskan. (Ramond EPU)

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Posts