Jon Afrizal*
Lamat-lamat terdengar suara renyah Dionne Warwick bernyanyi “That’s what friends are for” dari stereo set di kendaraan travel yang membawa kami ke sebuah site untuk liputan.
Sewaktu itu, sekitar 2015 lalu, Kebakaran Hutan dan Lahan (Karhutla) kembali menjenguk Provinsi Jambi, setelah absen untuk beberapa lama.
Malam mulai menjelang, saat kendaraan bergardan dua ini telah memasuki sebuah kawasan bertanah mineral di bagian tengah provinsi ini. Percik api terlihat menerangi udara.
“Selamat Hari Karhutla” kata kami secara bersamaan, seolah saling menyindir.
Bagi para jurnalis, Karhutla adalah hal yang sexy untuk di-reportase. Sebab banyak pihak yang ingin tau, baik itu lokal, nasional maupun internasional.
Tetapi, apa yang terjadi ini adalah kejenuhan yang sangat. Betapa tidak, selama berlangsungnya prosesi Karhutla, kami akan berkeliling dari satu site ke site yang lain untuk me-reportase kejadian. Dan, biasanya, dapat saja hingga dua atau tiga bulan lamanya.
Dalam liputan itu, kami akan bertemu banyak orang. Mulai dari petugas pemadam api hingga penduduk di sekitarnya lokasi. Terakhir, tentu saja kunjungan bapak-ibu pejabat yang berwenang.
Kejenuhan, karena kita hanya melihat kesedihan dan candaan yang terkesan menyindir kondisi yang terus saja berulang ini.
Para petugas yang memegang ujung pipa air, yang terlihat jengah dan tak mampu lagi untuk berpikir kapan kondisi buruk ini akan berhasil.
Sembari menunggu temannya membawakan air putih dan nasi bungkus ala kadarnya. Sebab, itu berarti “waktu turun minum” baginya.
Dalam kondisi ini, tentu saja tidak sama seperti yang di-publish di media. Bisa saja, kita terjebak dikepung api.
Para petugas yang telah mengenal lokasi, akan mengawasi kami, jika kami mulai menjauh dari mereka, dan segera memanggil. Khawatir, bakal terjadi apa-apa.
Tentu saja, telah terjadi apa-apa itu. Api dengan cepat menjalar menjejak gemeritik dari dahan-dahan sesemakan yang kering. Terkurung!
Pikiran-ku waktu itu berkecamuk; khawatir akan keselamatan diri, dan merasa bersalah seolah menjadi beban bagi petugas lapangan itu.
Tetapi, para petugas dengan sigap menarik tanganku. Sambil berkata, “Jangan takut, kita terabas saja”.
Tuhan, ini kali pertama yang ku alami selama meliput karhutla sejak 2004 lalu. Dan, selayak tanah mineral, api memang bisa untuk diterabas. Tetapi, tentu saja hanya petugas terlatih yang dapat melakukannya.
Jika tidak, maka api akan semakin membesar dan melebar. Dan, entah apa yang terjadi terhadap kami.
Petugas-petugas itu, satu di depan, telah membuka api, dengan cara mengibaskan rumpun dahan pohon. Tak berapa lama, benteng api mulai terbuka, sehingga terdapat celah bagi kami untuk menyeruak keluar.
Cukup jauh kami menghindar. Hingga ke tempat yang tidak begitu berhawa panas, karena jauh dari jangkauan api.
Kami – bertiga, saling tersenyum. Lagi lagi, nasib baik tengah bersama kami. Begitu mungkin pikiran kami bergumam.
Apa yang ku ceritakan ini, adalah sebuah bentuk dari “pertemanan”. Pertemanan yang menjadi persaudaraan, selanjutnya membentuk rasa setia kawan.
Dalam bertugas, seorang jurnalis, terkadang tidak dapat berlaku hanya sebagai profesi saja. Tetapi, membentuk sejenis focal point selayak para pendamping di Non Government Organization (NGO), yang bertugas di desa.
Sebab, para petugas lapangan itu yang memahami areal yang “clear” atau “dangerous”. Yang boleh dan tidak boleh untuk dilewati.
Kepercayaan itu harus dijaga. Sama seperti menjaga para orang dusun yang telah memberikan kita tempat menginap pada malam hari, sembari berusaha mengelak dari cakaran beruang.
Ini tentunya sangat jauh berbeda, jika kita hanya bicara soal profesi atau kepentingan saja. Setelah itu, kita tidak peduli lagi terhadap mereka.
Dan, begitu juga sebaliknya, mereka akan lebih tidak peduli dengan anda. Akibatnya, anda tentu tidak akan bisa untuk ke lokasi itu lagi, karena anda tidak punya seorang pun yang dapat membantu anda.
Menjaga kepercayaan adalah menjaga rasa setia kawan. Atau, sebut saja dengan “reputasi”.
Banyak jurnalis yang menggunakan cara ini, untuk kembali meliput ke lokasi yang pernah ia datangi sebelumnya. Terlebih di lokasi konflik, dengan perkataan bahwa “ia aman untuk dibawa.”
Reputasi adalah juga rekam jejak, jika anda ingin tetap menjadi jurnalis. Seperti tidak pernah melakukan hal-hal yang melanggar hukum dan aturan yang berlaku.
Jika rekam jejak anda jelek, maka, anda akan kesulitan menjalin koneksi dengan banyak redaksi media.
Sama halnya dengan bersahabat dengan seorang preman jalanan, yang mungkin pernah menjadi sumber anda. Atau, seorang korban pelecehan seksual yang telah mempercayai anda, dan siap untuk ditulis kisahnya di media anda.
Semua itu, adalah, melebihi profesi anda sebenarnya. Sebab, ia akan membawa anda ke titik persoalan yang sebenarnya.
Dan, bentuk dari rasa setia kawan dan kepercayaan itu, anda pun harus tidak menuliskan dengan lengkap nama asli sumber anda, di media. Ada berbagai cara untuk mengaburkan identitasnya, agar ia tetap berhubungan dengan anda, dan tetap percaya kepada anda.
Dalam banyak profesi, hal ini berlaku sama. Reputasi adalah kepercayaan, meskipun belum tentu rasa setia kawan. Rasa setia kawan hanya terjadi jika masing-masing dapat melepaskan seragam profesi, dan terikat secara psikologis. (*)
* Jurnalis TheJakartaPost