Jejak Manusia Prasejarah Ditemukan di Kawasan Gua Karst Bukit Bulan Jambi

Penelitian Balar Sumsel

Bukit Bulan jauh di mudik, nampak dari Pulau Pandan. Jadi bulan lah kau adik, abang memandang merisai badan.

Itulah sebait pantun yang sampai sekarang masih melegenda di masyarakat Margo Bukit Bulan, Kabupaten Sarolangun, Jambi. Pantun tersebut memiliki arti kalau Bukit Bulan dapat dipandang dari kejauhan, laksana bulan purnama.

Masyarakat di sekitar Bukit Bulan memaknai morfologi batuan gamping karst berdasarkan pemahaman mereka sendiri. Nama Bukit Bulan datang tidak begitu saja.

Cerita di balik penamaan Bukit Bulan yang berkembang saat itu, masyarakat melihat dua titik lingkaran putih di atas bukit saat malam hari menyerupai bulan purnama. Lingkaran putih di atas bukit itu merupakan batuan gamping karst.

Arkeolog dari Balai Arkeologi (Balar) Sumsel, M Ruly Fauzi dan beberapa peneliti lainnya langsung terkesima ketika pertama kali datang ke sana dalam rangka penelitian pada tahun 2015 silam. Ruly Fauzi merasakan kalau Bukit Bulan memiliki arti tersendiri.

“Ketika mendengar cerita itu kami terkesima, ini mungkin apa yang kita cari dalam penelitian ini akan kita dapatkan di sini,” ujar M Ruly Fauzi, ketika membuka hasil penelitiannya melalui seminar daring yang diadakan Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia (IAAI) Komda Sumbagsel, Selasa (16/6/2020).

Dalam sebuah paparannya itu, Ruly menjelaskan hasil penelitian di kawasan karst Bukit Bulan yang telah dilakukan mulai tahun 2015-2019.

Meski riset arkeologi yang berjalan cukup singkat atau kitaran empat tahun, namun hasil riset yang berklaborasi antarpeneliti dari berbagai disiplin ilmu itu telah memberikan data arkeologi cukup penting bagi penelitian prasejarah di Indonesia.

Dalam risetnya dengan pendekatan multidispliner itu mereka melakukan penelitian di 82 gua dan ceruk di Bukit Bulan, 20 di antaranya merupakan situs gua hunian. Dalam kurun waktu 2018-2019, para peneliti juga mengekskavasi 46.271 spesimen.

Hasil riset yang dipaparkan Ruly cukup mengejutkan. Para peneliti menemukan lukisan prasejarah atau gambar cadas di dalam gua-gua karts Bukit Bulan. Riset ini semakin melengkapi khazanah peninggalan prasejarah, terutama di Pulau Sumatra.

Gambar Cadas Manusia Prasejarah

Penemuan tradisi gambar cadas Austronesia itu untuk pertama kalinya di temukan di wilayah paling barat Indonesia. Pentingnya temuan gambar cadas prasejarah di Bukit Bulan Sarolangun, Jambi, menurut Ruly, menunjukan kemiripan afinitas budaya dari penduduk kepulauan di Indonesia, mulai dari timur hingga barat.

Wilayah bagian barat Nusantara, yakni Pulau Sumatera sebelumnya pernah didaulat tidak memiliki lukisan atau gambar cadas. Namun, kini di Bukit Bulan menandai satu titik di Pulau Sumatra lokasi situs gambar cadas.

“Ada banyak gua di Bukit Bulan yang ada gambar cadasnya, beberapa di antaranya gambar cadas itu ditemukan di Gua Sungai Lului, Gua Kerbau, dan Gua Sekdes,” ungkap Ruly.

Figur gambar cadas yang ditemukan di dalam gua-gua tersebut bisa dibilang menyerupai gambar manusia kangkang. Namun kata Ruly, sebagai arkeolog terlebih dulu harus membahas gaya dan figurnya secara hati-hati agar tidak misinterpretasi.

“Memang figur gambar di gua Bukit Bulan menyerupai gambar manusia kangkang, namun agak berbeda karena gambar cadas di Bukit Bulan tidak hanya yang statis, tapi juga figur dinamis,” kata Ruly.

Ruly yang juga peneliti muda dari Balar Sumsel itu menjelaskan, gambar cadas di Bukit Bulan juga disertai dengan figur-figur representasi dari hewan (zoomorfik) dan elemen tumbuhan (phytomorfik).

“Kami lebih suka menyebut gambar cadas di Bukit Bulan menyerupai manusia atau antropomorfik, ketimbang mengidentifikasinya sebagai gambar ‘manusia kangkang’,” ucap Ruly.

Karts Bukit Bulan menjadi spesial di mata arkeolog karena di kawasan itu belum pernah dilaporkan adanya jejak-jejak hunian prasejarah. Sepesialnya lagi, bagi Ruly, gambar cadas dengan motif figuratif untuk pertama kalinya di Pulau Sumatra ditemukan di Bukit Bulan.

Hunian gua prasejarah muncul setelah karsifikasi fase terakhir (fase 3). Kemudian morfologi kars dari Bukit Bulan itu sendiri menurut Ruly, turut mempengaruhi adanya hunian atau tempat bernaung bagi manusia yang hidup di zaman prasejarah.

Berdasarkan analisis pertanggalan kronologis budaya lewat radiokarbon kata Ruly, mengonfirmasi umur lapisan Neolitik dengan indikator temuan tembikar di Gua Mesiu hingga 3.800 tahun yang lalu. Kemudian lapisan budaya dari periode lebih tua di bawahnya menembus umur 6.600 tahun yang lalu.

“Jadi satu unit lapisan berdasarkan himpunan temuan yang ada dilapisan tersebut masuk pada periode Neolitik, dan bagian di bawahnya sebagai periode Preneolitik, di mana kehadiran tembikar salah satu indikator yang paling kuat dari adanya lapisan budaya Neolitik di gua itu,” jelas Rully.

Bagian dari Penutur Austronesia

Lalu muncul pertanyaan siapa yang menghuni di gua karts Bukit Bulan yang paling awal?

Dalam penelitian yang juga didukung oleh Center for Prehistoric Austronesian Studies (CPAS) menemukan tulang jari dari manusia dan beberapa fragmen gigi di Bukit Bulan. Dari segi ukuran temuan gigi itu kata Ruly, masuk pada elemen gigi ukuran sisimetris dari penutur Austronesia awal yang ada di Indonesia.

“Dari temuan-temuan tersebut, termasuk gambar cadas itu menandakan dalam parasejarah, Bukit Bulan dulunya dihuni oleh penutur Austronesia. Sebab, ternyata ada kemiripan budaya dan tradisi manusia pendahulu kita,” kata dia.

Bukit Bulan lanjut Ruly, adalah hunian Neolitik yang ideal. Meskipun terisolir, Bukit Bulan menyediakan dataran lembah yang luas dengan sumber air yang konstan berkat fisiografi kawasan karst.

Sehingga terkait hal tersebut sebut Ruly, peletakan dasar budaya Indonesia yaitu penutur Austronesia. Kemudian disertai pula dengan pola adaptasi berdasarkan karakteristik budaya pada masa prasejarah.

“Serta kemungkinan adanya proses jalur difusi budaya yang beragam sejak periode Neolitik,” ungkap Ruly.

Bukit Bulan secara administratif terletak di Kecamatan Limun, Kabupaten Sarolangun. Kawasan Bukit Bulan mencakup empat desa, yakni Desa Napal Melintang, Meribung, Mersip, dan Berkun.

Dari keempat desa itu, masyarakat setempat mengenal dengan penyebutan “Margo” Bukit Bulan. Margo merupakan sebutan untuk satu keluarga yang mendiami kawasan empat desa tersebut.

Dan kini di tengah potensi peninggalan arkeolog zaman prasejarah itu, Bukit Bulan terancam kelestariannya. Di kawasan karst Bukit Bulan sedang dieksploitasi oleh industri semen dari perusahaan BUMN, PT Semen Baturaja (Persero).

Lalu akankah kita diam begitu saja, membiarkan karst Bukit Bulan yang dibaratkan laksana purnama hancur tak lagi bersinar dan tak tampak dari kejauhan.

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Posts
Read More

Gaharu, Siapa Berminat?

Jon Afrizal* Hampir seluruh agama di dunia menggunakan kayu gaharu (eaglewood) sebagai perlengkapan ibadah. Mulai dari tasbih hingga…