KILAS JAMBI – Kelompok Kerja Percepatan Perhutanan Sosial Provinsi Riau, mendukung Menteri Kehutanan RI untuk berkomitmen menjaga keberlanjutan kawasan hutan sekaligus mensejahterakan rakyat dengan target swasembada pangan dan energi dengan memanfaatkan lahan kritis, terutama di Riau yang selama ini dianggap merupakan provinsi paling sengsara akibat kejahatan kehutanan.
Tokoh Pegiat Perhutanan Sosial sekaligus Ketua Kelompok Kerja Percepatan Perhutanan Sosial Provinsi Riau, Johny Setiawan Mundung, mengapresiasi dan terus mendorong Menhut RI untuk mengembangkan potensi perhutanan sosial yang ada di Riau untuk ketahanan pangan dan energi namun tidak merubah fungsi Hutan.
“Apakah program yang cocok? adalah program peningkatan perhutanan sosial yaitu hutan desa dan hutan kemasyarakatan dengan menanam padi dan aren di lahan kritis dan semak belukar berstatus kawasan hutan yang potensinya sangat besar di Riau,” kata Johny.
Lalu, lanjutnya, juga ada sawit yang terlanjur tertanam di kawasan hutan dijadikan agroforestry dengan pohon dan tanaman pangan juga tanaman endemik Riau seperti sirsak, alpokat, jernang, kedondong, manggis, durian musang king dan gaharu yang banyak ditanam sebagai tanaman lokal di Riau.
“Ini potensi sekali untuk dikembangkan,” katanya menegaskan.
“Ini adalah masa depan tanaman pangan di Riau yang selama ini hilang tergerus deforestasi,” tambahnya.
Johny mengatakan degradasi hutan, deforestasi dan kejahatan kehutanan paling sempurna dan paling lengkap terjadi di Riau, kerusakan paling ekstrem ada di Riau. Artinya, menyelesaikan persoalan kehutanan di Riau sama seperti menyelesaikan benang kusut.
“Yang paling merasa berdampak langsung kerusakan hutan di Riau adalah masyarakat suku Talang Mamak, Akit, Duano, Bonai dan Sakai yang merupakan suku asli di Riau yang berada langsung di tengah-tengah hutan dengan kearifan lokalnya,” kata Direktur Eksekutif Riau Research Center ini.
“Maka kami juga bermohon kepada Pak Menhut untuk terus memberikan akses masyarakat adat di kawasan hutan, dengan memberi persetujuan hutan adat di Indonesia ini,” katanya.
Menurutnya, dengan memberdayakan dan memberi ruang masyarakat adat mengelola hutannya, berupa persetujuan Hutan Adat (perhutanan sosial) untuk melestarikan hutannya, niscaya program untuk swasembada pangan, energi, dan air oleh pemerintah yang didukung oleh masyarakat adat se-Indonesia akan berjalan sukses dan lancar.
“Karena ini berarti ketahanan pangan energi dan air melibatkan kearifan lokal, begitu harapan kami dari Riau,” katanya.
Maka, program ketahanan pangan dan energi Presiden Prabowo dapat saling mendukung dalam upaya pemulihan hutan di Indonesia sekaligus pemberdayaan kearifan lokal yang terbukti menjaga biodiversity Indonesia selama ribuan tahun.
“Karenanya pemerintah perlu melakukan pemetaan ulang dan mensinergikan agenda masyarakat adat di Indonesia dengan upaya pemulihan hutan,” katanya.
Sebelumnya, Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni mengatakan telah mengidentifikasi sekitar 20 juta hektare hutan, yang bisa dimanfaatkan sebagai kawasan cadangan pangan, energi dan air tersebut.
“Idenya bukan deforestasi, tapi justru menjaga hutan yang secara bersamaan swasembadanya berjalan,” kata Menhut.
Penulis: Edi – Jurnalis Masyarakat Adat Talang Mamak Riau