Peran ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights (AICHR) dalam Menyelesaikan Konflik Etnis Rohingya

Oleh: Deby Rezkia Aritonang*

KILAS JAMBI – Organisasi ASEAN merupakan salah satu organisasi yang negara-negara anggota di dalamnya merupakan bagian dari anggota PBB, sehingga negara-negara di kawasan tersebut sangat menjunjung tinggi dalam menegakkan Hak Asasi Manusia (HAM). Namun sebaliknya terjadi, kawasan Asia Tenggara merupakan salah satu kawasan dengan kasus pelanggaran HAM yang cukup tinggi. Hal ini dikarenakan kurangnya organisasi ASEAN dalam memfokuskan diri terhadap perlindungan HAM di dalam masyarakatnya.

Maka dari itu, dalam menunjukkan keseriusan ASEAN dalam menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM di Asia Tenggara, maka ASEAN membentuk badan khusus yaitu ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights (AICHR). Negara-negara anggota ASEAN telah menyepakati untuk menjadikan AICHR sebagai sebuah sistem untuk memajukan dan melindungi HAM di Asia Tenggara khususnya dengan salah satu kasus Rohingya di Myanmar yang telah menyita banyak perhatian negara-negara luar, khususnya negara-negara di ASEAN.

Rohingya merupakan sebuah komunitas di Myanmar yang dianggap sebagai pengungsi dan tidak diberikan kewarganegaraan oleh pemerintah Myanmar. Hal ini dikarenakan Presiden Myanmar Thein Sein menyatakan bahwa Rohingya merupakan imigran gelap yang yang melewati bangsa Bangladesh.

Jika dilihat dan didengar lebih jauh, etnis Rohingya ini bisa dikatakan sebagai kaum minoritas di Myanmar sehingga banyak mendapatkan perlakuan diskriminasi dan kekerasan yang menjadikan kasus ini sebagai isu global dan harus mendapatkan perhatian khusus. Ada sebuah permasalahan yang muncul dan menjadi masalah terkini yaitu masyarakat Burma di Myanmar percaya bahwasanya Rohingya bukan termasuk Burmese (warga Burma Myanmar), melainkan “Bengali” yang berasal dari Bangladesh. Permasalahan kewarganegaraan inilah yang menjadi alasan utama terjadinya konflik berkepanjangan yang menimpa etnis Muslim Rohingya.

Muslim Rohingya ini tidak seperti etnis minoritas lainnya yang diakui kewarganegaraan oleh pemerintah Myanmar, mereka dianggap sebagai penduduk imigran yang tidak mendapatkan hak-hak selayaknya warga negara. Parahnya lagi, ketika Myanmar mulai dikuasai oleh junta militer membuat etnis Rohingya menjadi sasaran empuk dari berbagai bentuk kejahatan dan kekerasan serta tindakan-tindakan lainnya yang melanggar Hak Asasi Manusia (HAM). Hal inilah yang menjadikan kaum etnis Rohingya dilanda rasa ketakutan dan trauma yang begitu mendalam.

Jika melihat data yang disampaikan oleh Organisasi Doctors Without Borders menyatakan sekitar ada  6.700 Rohingya dan 730 anak-anak tewas akibat kekerasan yang dilakukan oleh para tentara di sana. PBB juga menyampaikan, sekitar 200 pemukiman Rohingya juga dihancurkan dari 2017 hingga 2019. Walaupun sebenarnya, kasus etnis muslim Rohingya ini masih terus terjadi hingga saat ini. Isu konflik Rohingya kini telah menjadi sorotan dunia internasional sehingga membuat AICHR ikut andil dalam menyelesaikan kasus Rohingya tersebut.

Aksi diskriminasi yang dilakukan yang dilakukan oleh junta militer maupun pemerintah Myanmar merupakan salah satu cara untuk mengusir para etnis Rohingya dari Myanmar. Bukan tanpa alasan, dengan adanya pengusiran dan kekerasan tersebut membuat banyak kaum etnis Rohingya pergi meninggalkan wilayah tersebut dan memilih untuk migrasi secara paksa ke negara-negara tetangga seperti Bangladesh.

Adapun dampak dari diskriminasi yang menimpa etnis muslim Rohingya ini membuat mereka harus berjuang keras dalam menghadapi penindasan dan kekerasan yang dilakukan etnis mayoritas Myanmar. Jika hal ini terus dibiarkan begitu saja, maka nyawa akan menjadi taruhannya. Berbagai upaya yang dilakukan oleh organisasi-organisasi regional telah dilakukan untuk melindungi dan menegakkan HAM agar tidak terjadi lagi aksi kekerasan dan diskriminasi di Rohingya.

Kehadiran AICHR bisa dikatakan sebagai suatu kebijakan dari ASEAN yang menjadi sebuah pencapaian yang berarti dan signifikan untuk mengembangkan kerjasama kawasan pada bidang HAM, hal ini tentunya AICHR diharapkan dapat memajukan HAM di kawasan Asia Tenggara terkait dengan kasus Rohingya ini.

Seperti yang kita ketahui, kasus Rohingya merupakan kasus yang masih berlangsung cukup lama bahkan hingga sekarang. Hal ini dikarenakan pemerintah Myanmar enggan memberikan tanggapan bahkan selalu menghindar ketika ditanya perihal ini. Mereka tetap meyakini bahwa etnis muslim Rohingya adalah “teroris’. Terlebih lagi, Presiden Aung San Suu Kyi juga tidak memiliki kontrol atas militernya karena sampai sekarang etnis Rohingya masih menjadi sasaran para tentara Myanmar seperti rasisme agama, diskriminasi hingga kekerasan.

Tingginya kasus pelanggaran HAM di Myanmar membuat kasus Rohingya masuk dalam pembahasan forum pertemuan ASEAN. Selain itu, krisis Hak Asasi Manusia yang terjadi di Myanmar membuat AICHR berupaya mencari jalan keluar terhadap konflik tersebut dengan menerapkan tujuan, mandat dan fungsi dari ToR AICHR. Bukan hanya itu, AICHR sendiri juga mengutamakan pada penyusunan ASEAN Human Rights Declaration, peningkatan kepedulian, edukasi/pendidikan, meminta negara-negara ASEAN untuk memberikan informasi terkait dengan pelaksanaan perlindungan dan pemajuan HAM di masing-masing negara.

AICHR juga mendorong negara untuk melakukan penelitian dan diseminasi informasi serta memberikan edukasi kepada seluruh Mahasiswa di Universitas Myanmar karena kurangnya aktor dalam melindungi HAM di negaranya, khususnya pada kasus etnis Muslim Rohingya.

Etnis muslim Rohingya seharusnya mendapatkan hak-hak untuk berserikat, mendapatkan jaminan untuk keamanan dan kesehatan, serta hak untuk hidup dengan aman, tenteram dan damai. Namun hal sebaliknya justru terjadi, hingga saat ini kondisi etnis Muslim Rohingya masih dalam kondisi yang memprihatinkan dan tidak diterima di Myanmar. Bahkan, permasalahan pun terjadi karena ada berbagai hambatan yang dihadapi AICHR dalam menyelesaikan kasus Rohingya seperti adanya ketimpangan antara fungsi pemajuan dan perlindungan yang dimiliki oleh AICHR.

Kurangnya interdependensi dalam mekanisme pengambilan keputusan juga menjadi salah satu hambatan AICHR. Selain itu, adanya prinsip non intervensi dalam kebijakan organisasi ASEAN bisa menjadi kelemahan AICHR sebagai komisi HAM ASEAN. (*)

*Mahasiswa Fakultas Hubungan Internasional Universitas Islam Indonesia

Total
0
Shares
4 comments
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Posts