Menerangi Rak Buku Bacaan 

Jon Afrizal*

Suatu ketika, aku pernah membaca sebuah essay, tapi lupa siapa penulisnya. Essay itu berkisah tentang seorang, yang kebetulan di sana disebutkan perempuan yang sangat dikenal kecerdasannya.

Perempuan itu, begitu essay itu menyebutkan, jika diminta jadi pembicara, akan selalu mengutip kata-kata dari orang-orang pintar. Itu mencerminkan sebuah sikap; gemar membaca.

Di saat lain, aku bertemu dengan seorang perempuan yang hampir sama. Hanya saja, ia tidak terlalu banyak mengutip kata-kata dari banyak orang.

“Simbah dulu pernah bicara ….” Begitu, perempuan yang berasal dari daerah transmigrasi di kabupaten terhilir di Provinsi Jambi, Kabupaten Tanjung Jabung Timur itu, berbicara kepadaku.

Perempuan adalah bahasa dalam artian umum, tetapi, aku memangil perempuan hampir berusia seabad itu dengan sebutan “Bu De” saja.

Cukup lama aku mengenal Bu De yang telah puluhan tahun menjanda itu. Ia memiliki anak-anak yang cerdas, dan beberapa dari mereka, saat ini, berkedudukan penting di masyarakat.

Bu De tidak mengkoleksi buku-buku. Melainkan, anak-anaknyalah yang memiliki begitu banyak buku di rumah mereka.

Bu De, hanya bergelut di setiap hari di hamparan sawah tadah hujan peninggalan almarhum suaminya. Tetapi, setiap malam, suaranya akan terdengar lirih dari rumahnya yang tidak jauh dari tempat aku tinggal, dulu.

Dalam setiap “nembang” itu, tercurah sekian banyak nasihat, dalam falsafah Jawa, yang terus melantun dari masa lalu hingga kini.

Bu De tidaklah membaca dengan mata, tetapi mata hatinya yang berusaha memahami. Sementara, anak-anaknya, yang sama seperti aku, berusaha memahami setiap buku bacaan dengan kedua bola mata yang plus-nya selalu bertambah ini.

Setiap kita, terlepas dari genderisasi masing-masing, akan membawa budaya. Budaya yang terbentuk dari keluarga, orang sekeliling, atau bahkan masyarakat global.

Bu De terbiasa dengan sikap “nrimo” yang berawal dari ratusan tahun lalu. Tetapi, dengan tembang-tembang itu, ia menasehati anak-anaknya, untuk hidup lebih baik lagi, dari kehidupan di rumah mereka, yang berlantai tanah itu.

Ada semangat, jika kita bicara soal memotivasi di sini. Semangat yang tentu berbeda dengan perempuan di essay yang ku baca tadi.

Tetapi, lagi-lagi, tidak ada unsur seksiesme di tulisan ini. Aku hanya mencoba melihat semangat yang berbeda dari setiap generasi saja. Semangat yang sudah semestinya harus ditularkan kepada siapapun, terlepas dari prasangka seksiesme.

Buku-buku adalah sebuah magnet. Terlebih, jika anda sedang berada dalam kondisi “dompet penuh”. Tetapi, apakah dari sekian banyak buku itu anda baca semua?

Berbeda dengan Bu De tadi, yang hanya melanjutkan tradisi “nembang”, yang kini telah dituliskan di banyak buku. Sebab, bisa saja, tradisi itu terputus, hanya di hapalan pikiran Bu De saja.

Di tempat yang sama, aku selalu mendengar dendang sejenis kisah, yakni Dul Muluk. Itu jika ada hajatan, yang umumnya dari Suku Melayu.

Kini, setelah puluhan tahun tidak menyinggahi desa itu, aku rindu akan cerita Dul Muluk. Tetapi, tidak dapat menemukan buku atau pdf-nya untuk ku baca.

Entah bagaimana nasib kisah itu, jika para penghapalnya sudah tidak ada, dan belum sempat dibukukan. Terlupakan?

Kita di sini sedang bicara tentang menjaga peradaban. Dua sosok perempuan tadi hanyalah karakter saja. Tidak antagonis, tidak juga protagonis.

Aku sendiri cukup khawatir, jika begitu banyak kisah-kisah yang ku dengar di masa lalu, tidak akan aku temui lagi saat ini, pun esok hari.

Itu artinya sebuah peradaban yang dulu ada di sini telah hilang. Hilangnya sebuah peradaban sama artinya dengan hilangnya sebuah suku bangsa.

Adalah wajar, jika saat ini kita kebingungan dengan pemaknaan Jambi, misalnya, karena haruskah kita meletakkan kata “Melayu” di depannya?

Satu daerah yang masih memiliki tulisan-tulisan di masa lalu, adalah, Korintji. Nanti dulu, jika kita ingin menyebut kawasan itu Kabupaten Kerinci atau Kota Sungaipenuh. Sebab bukan itu yang ingin ku tulis di sini.

Membaca dan memahami tulisan di masa lalu akan membuat sebuah komunal yang kuat secara identitas. Selain itu, ada juga beberapa daerah di sekitar sana yang memiliki tradisi menulis. Sejenis pantun dengan kasanah Islam.

Sayangnya, banyak tertuangkan dalam tulisan bahasa Belanda. Sementara, setelah Belanda hengkang dari sini, hampir tidak ada lagi yang mengerti bahasa Belanda.

Kita yang hidup saat ini sdalah generasi yang membaca gerak jaman sebelum kita ada. Berusaha menggali makna dalam setiap bacaan yang tertuliskan.

Di sini letak persoalannya, bagaimana kita harus membaca, jika tidak ada yang bisa untuk dibaca? Sehingga, berusahalah untuk menulis tentang sesuatu terkait tempat engkau lahir dan dibesarkan. Agar tak “dihilangkan” dari peradaban.

Selayak tradisi “nembang” yang telah menerangi rak bacaan para penerusnya. Selayak kecerdasan seorang pembicara, yang dengan sigap dicatat setiap perkataan oleh para wartawan yang meliput di sana. ***

* Jurnalis TheJakartaPost

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Posts