Jangan Pupuk Rasialisme

Jon Afrizal*

Rasialisme adalah persoalan besar saat ini. Amerika kembali merasakan goncangan hebatnya, setidaknya untuk yang ketiga kali.

Kali pertama, adalah Civil War yang, menurut banyak orang dipicu oleh novel karya Hariet Becheer Stowe yang berjudul Uncle Tom’s Cabin. Kali kedua adalah paruh ’60-an, yang dikenal dengan choir “We Shall Overcome” yang dikomandoi Martin Luther King.

Beberapa saat lalu, kembali, isu rasialisme terjadi di sana. Seorang anak muda Afro-American tertembak oleh polisi.

Selain itu, ada beberapa nama lain. Seperti Mumia Abu Jamal, seorang jurnalis yang hampir 20 tahun menanti dan melawan death penalty.

Juga kebijakan “wall” oleh pemerintah Amerika, yang bertujuan agar imigran dari wilayah Amerika Latin, seperti Mexico, tidak masuk ke Amerika pada dua tahun silam.

Di sini, di Provinsi Jambi, benih itu juga telah muncul. Setidaknya, berdasarkan pengamatanku, disebut dengan istilah “Putera Daerah”. Disadari atau tidak, ini adalah efek domino dari otonomi daerah.

Mari kita merujuk kepada sejarah Kota Jambi beberapa dekade lalu. Kota ini sendiri didatangi oleh banyak suku dan bangsa.

Seperti masyarakat Minang, yang menyebutnya “Kota Rantau”. Lalu, masyarakat Jawa, Bugis, Banjar, Palembang, Batak, masyarakat dari dataran Cina, dan Hadramaut, serta yang lainnya.

Masyarakat Minang biasanya berada di sektor perdagangan, meskipun ada beberapa dari mereka yang memegang jabatan penting di pemerintahan. Begitu juga dengan masyarakat Jawa yang dulu berada di sektor pertanian, serta masyarakat Bugis dan Banjar di sektor perkebunan dan perairan.

Lihat saja, jika kita bicara tentang pempek dan lempok, tentu mereka yang di Kota Palembang akan memahami. Sementara dodol dan tempoyak akan sama dengan masyarakat Minang. Meskipun penyebutannya berbeda.

Nasi Minyak adalah persentuhan dengan masyarakat Hadramaut. Sementara pendatang dari dataran Cina telah pula tertulis di sejarah sejak lama sekali.

Persinggungan secara budaya ini, tidak semestinya membuat gap antar suku-bangsa pendatang dengan penduduk lokal. Toh, beberapa masyarakat di kawasan Seberang masih menyimpan ingatan tentang penggunaan kata “Kulo” untuk menyebut dirinya.

Dan, tidak pula perlu diperuncing dengan sebutan “Putera Daerah”. Secara harfiah, kata “daerah” biasa digunakan untuk mereka yang berada jauh dari pusat kekuasaan.

Penggunaan prasa “orang daerah” menunjukan seseorang yang datang dari “udik” atau dari dusun.

Dan, entah kenapa pula di sini banyak yang bangga menyebut diri dengan “Putera Daerah”.

Tengoklah wilayah hilir Provinsi Jambi yang masyarakat Bugis dan Banjar telah andil di dalamnya sejak lama. Mereka bahkan tidak pernah terdengar menyebut diri seperti itu.

Atau, wilayah huluan yang akrab dengan bahasa Minang sebagai ” bahasa pasar”.

Jika kita interpretasikan kisah Adityawarman, maka kita akan memahami betapa pedihnya dampak rasialisme itu. Ia ditolak di Pulau Jawa dan tidak dianggap di Pulau Sumatera. Padahal, jelas, ibunya adalah seorang puteri Jambi.

Akibat politik rasialisme itu, ia berperang melawan Majapahit, dan mendirikan kerajaan di sebuah daerah di Kabupaten Dhamasraya kini.

Pertanyaan yang timbul? Akankan kita semua mengulang kisah pahit ini lagi? Sudah seharusnya, tidak harus terbersit keinginan untuk itu.

Negara telah memberikan istilah yang jelas untuk rasialisme; yakni Suku-Agama-Ras-Antar Golongan (SARA).

Tetapi, aku berkali-kali harus mereportase kekisruhan pembangunan rumah ibadah. Juga konflik lahan yang membenturkan antara pendatang dan penduduk lokal.

Ada dua faktor yang ku amati di sini. Masalah komunikasi, seperti perlunya berbasa-basi tepo seliro mengikuti adat dari penduduk lokal. Serta rasa terpinggirkan yang dialami penduduk lokal.

Jujur saja, siapapun yang telah memiliki tanah di Kota Jambi sejak puluhan tahun lalu, adalah karena praktek jual-beli yang dilakukan secara sadar. Kemudian dibangun rumah di sana, dimana penduduk lokal yang menjual tanah tadi adalah tetangganya.

Namun, akibat pola sentralisasi yang dilakukan di jaman Orde Baru, para pemegang tampuk kekuasaan berasal dari Pulau Jawa, sebagai pusat kekuasan.

Rasa ketersingkiran yang muncul akibat itu, telah berwujud menjadi otonomi daerah. Lantas, sudah semestinya rasa ketersingiran itu tidak ada lagi. Dan bukan menjadi alasan untuk apapun.

Dan, tidak pula ikatan masyarakat pendatang itu dibenturkan dalam politik praktis dukung mendukung. Yang tentunya akan membuat celah yang makin melebar antar suku-bangsa yang ada di sini.

Sebab, yang dibutuhkan saat ini adalah mereka yang terampil di bidangnya. Maka, bersainganlah secara fair dalam kehidupan ini. ***

* Jurnalis TheJakartaPost

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Posts
Read More

Gaharu, Siapa Berminat?

Jon Afrizal* Hampir seluruh agama di dunia menggunakan kayu gaharu (eaglewood) sebagai perlengkapan ibadah. Mulai dari tasbih hingga…