Dusun-ku, Dusun-mu, Dusun Tinggal

Jon Afrizal*

“Lihat di sana, gugusan hutan, tempat Datuk berdiam.” Demikian perkataan para orangtua di dusun, biasanya, jika akan membuka kisah.

Butuh waktu lama, jika kita ingin mendengarkan kisah para orangtua. Pendekatan secara budaya, akan membuat mereka mempercayai kita, untuk selanjutnya, mengalirlah kisah itu.

Kadang, adakalanya berbau mistik. Kita tidak bisa menolak untuk itu. Yang tentunya berada di awal malam, hingga ke permulaan hari.

Makna sesungguhnya, bahwa telah ada peradaban di sana sejak lama. Terlepas dari pemaknaan apakah modern itu sebenarnya, menurut kita.

Lalu, kita akan bicara soal local wisdom atau kearifan lokal. Jujur, ini adalah pengetahuan yang ditularkan oleh banyak guru konservasi-ku. Mereka yang mengajak-ku untuk liputan ke banyak tempat terpencil, dari hulu hingga ke hilir Provinsi Jambi.

Jika kita semua melihat itu adalah project, maka pikiran kita akan “mentok” hingga ke titik itu saja. Tetapi, tidak, jika horizon kita luaskan dengan satu tujuan : titik pencapaian sebuah komunal.

Tetapi, kisah sedih, pada akhirnya, akan terucap juga. Tentang para anak muda mereka yang pergi merantau ke kota, untuk selanjutnya menetap di sana, dan hanya pulang untuk tiga hal saja; Idul Fitri, kematian dan perkawinan seorang kerabat.

Jika kita bicara soal pemerintahan, maka dusun adalah pemerintahan tingkat terendah, di sini. Mungkin, sebelumnya ada sebuah kerajaan yang menaungi mereka.

Ada banyak peninggalan yang unik di sini, terkait masa lalu. Bisa saja selama ini kita hanya mengenal prasati, patung atau candi.

Bagaimana dengan traktat? Ada banyak ragam perjanjian antar sesama komunal atau di luarnya. Tentang hasil-hasil bumi dan batas wilayah, misalnya.

Awalan dari itu semua, adalah, mendengarkan kisah para orangtua. Yang selanjutnya akan membawa kita kepada aksara di kulit atau bahkan di tanduk kerbau, misalnya.

Namun, penyeragaman tidak bisa untuk dihindari. Sejak “desa” ditetapkan sebagai tingkat pemerintahan terendah, dusun mulai dilupakan.

Sangat rumit, jika kemudian kita menemui bahwa satu desa terdiri dari beberapa dusun. Cukup sering kita mendengarkan perselisihan antar batas desa.

Terdapat prasa “dusun tinggal”, yang dikenal oleh masyarakat Jambi. Maksudnya, adalah sebuah dusun yang ditinggal pergi oleh penduduknya.

Mari, kita semua untuk belajar memaknai. Bahwa kita tidak sedang bicara tentang dusun sebagai objek tempat saja. Melainkan juga sebagai subjek dari semuanya.

Kembali ke awal kisah tadi, fungsi Datuk dan hutan. Bagi komunal dusun, Datuk, atau harimau Sumatera adalah penjaga mereka. Datuk adalah sesuatu yang sakral dan mistis.

Pada suatu saat, Datuk akan melulung selayak suara orang menangis. Itu adalah pertanda, bahwa dusun itu akan tertimpa kemalangan dalam waktu dekat. Sehingga, jika kita melihat harimau di kandangkan di kebun binatang, maka fungsi itu pun menjadi hilang.

Kita kemudian akan bicara tentang “pantang”, yakni sebuah himbauan keras yang bersifat melarang. Ada banyak pantang yang bakal kita dengar di dusun.

Tersimpan suatu pesan di sana. Bahwa itu bukan larangan semata.

Yang pada akhirnya, beberapa dari larangan itu sangat terkait dengan sumber daya alam. Tentang beberapa tumbuhan obat, tempat yang mengandung berbagai galian tambang, dan seterusnya.

Lagi lagi, ada pesan di sana. Yakni agar anak cucu keturunan mereka tetap menjaganya.

Mungkin saja, suatu saat nanti dapat dimanfaatkan, tetapi tidak pada saat dimana pantang masih diberlalukan.

Cukup arif, jika kita bicara tentang ke-arif-an lokal yang sesungguhnya.

Namun pantang kerap dilanggar. Ketidaksabaran manusia untuk mengambil apa yang belum pada saatnya untuk dimanfaatkan.

Cukup arif, jika kita mulai merefleksikan diri kembali kepada dusun yang telah kita tinggalkan bersama. Untuk menghindari berbagai konflik sumberdaya alam yang terus terjadi.

Pun juga untuk menghindari pola sebab – akibat. Disebakan hutan yang semula pantang untuk disentuh, tapi kemudian malah ditebangi.

Akibatnya adalah banjir. Banjir yang mengarah ke Kota Jambi, tempat dimana warga, kita semuanya, yang meninggalkan dusun, menikmati kayu bulian sebagai kusen pintu rumah kita.

Maka, arif lah, dan kembali ke dusun. (*)

* Jurnalis TheJakartaPost

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Posts