Kisah Para Perantau Tegar dari Minang

Jon Afrizal*

Kehidupan seseorang, dipengaruhi oleh komunalnya. Yang, selanjutnya, membuat pola pikir, dan seterusnya tindakan.

Bagi masyarakat Minang, matrilineal adalah adat yang harus terjaga. Yang memposisikan hubungan kekerabatan berdasarkan garis keturunan wanita.

Dengan pola komunal ini, harta dan waris adalah untuk anak perempuan. Sehingga, kaum lelaki, harus menempatkan diri dengan baik, agar memiliki posisi yang diperhitungkan di masyarakat.

Surau, atau mushala (kecil) di kampung adalah tempat menempa setiap anak laki-laki. Diawali dengan salat Magrib bersama, lalu membaca Al-Qur’an.

Ketika malam hampir larut, obor-obor dari bambu dihidupkan. Tepatnya di sebuah tanah lapang di sekitar kampung.

Pada malam yang berembun, tetapi tidak terasa dingin, setiap anak lelaki yang telah akhil baliq akan ditempa dengan “silek” atau silat.

Guru, adalah seorang yang sangat dihormati. Seperti guru di surau dan juga guru silat. Bahkan, seorang murid tidak berani untuk beradu pandangan dengan gurunya.

Agama Islam, bagi masyarakat Minang, adalah cara mengisi jiwa. Sementara silat adalah untuk bekal jasmani.

Setelah kedua bekal itu didapat, maka yang diharapkan tentulah pribadi yang tegar, dan siap bertarung di dalam kehidupan.

Rantau, adalah cara untuk membuat seorang lelaki memiliki posisi yang diperhitungkan di kampung. Satu dari sekian banyak tempat merantau, Kota Jambi termasuk diantaranya.

Meskipun di perantauan, sesama perantau akan saling mengawasi. Dengan maksud, jika ada yang kesulitan, maka yang lain akan siap membantu, semampu mereka, dan tanpa paksaan.

Masing-masing perantau Minang memiliki bakat; beberapa diantaranya adalah berdagang, juru runding atau mediator, dan pecinta ilmu pengetahuan. Mereka yang berbakat berdagang akan memulai usaha kecil-kecilan, seperti lapak kaki lima, misalnya. Sedangkan para mediator akan terjun ke dunia politik atau menjadi birokrat. Sementara yang mencinta ilmu pengetahuan akan menjadi guru atau dosen.

Tetapi, selalu ada “ratok” atau ratapan kesedihan, dari mereka yang berada di kampung. Seperti penggalan “ratok” yang telah digubah menjadi lagu ini.

“Uda kanduang di rantau urang

Pulanglah uda di tanah jao

Rindulah lamo indak basuo apo ka dayo

Lupo kok uda jo diri denai

Sumpah jo janji maso sapayuang kito baduo”

“Ratok” adalah sastra klasik Minang yang hingga kini terus berkembang seiring jaman. Pada “ratok” adalah tempat bercurah perasaan terdalam, seumpama kesedihan ditinggal pergi merantau oleh orang terkasih.

Bicara soal merantau, adalah bicara budaya. Maka akan terselip juga budaya dari tanah asal. Masyarakat Minang memahami bahwa “nan tuo tampek batanyo”.

Dengan artian, mereka yang telah lebih dulu merantau adalah guru bagi mereka yang muda. Sebab, jika bicara tentang profesionalitas, meskipun setiap orang memahami teori, tetapi “jam terbang” tentu menjadi acuan utama.

Hidup bersusah-susah, atau berani untuk menderita saat ini, demi kehidupan yang lebih baik di hari depan. Itulah falsafah setiap perantau Minang. Sehingga, dengan modal yang seadanya, atau bahkan kadang meminjam dari seseorang, mereka pun membuka usaha kecil.

Seperti berjualan hasil-hasil kerajinan dari tanah asal mereka. Yakni aksesoris, pakaian dan sejenisnya.

Beberapa dari mereka yang telah berhasil, kadang menjadi contoh bagi anak muda yang masih di kampung, untuk mengikuti jejak untuk merantau.

Jodoh berasal dari Tuhan. Meskipun hingga kini masyarakat Minang masih menghormati istiadat “pulang ka bako”, atau seorang pria menikahi gadis yang satu keturunan dari garis keluarga awal, tetapi, banyak juga yang “terusik” hatinya dengan gadis di tanah rantau.

Artinya, akan ada keturunan yang bakal meneruskan kehidupan mereka, dan, bertambah pula kewajiban mereka.

Beberapa perantau, pada akhirnya memilih untuk membuat rumah makan. Dengan keahlian yang mereka miliki, bumbu rerempahan, santan kelapa, dan daging, tentu menjadi pilihan banyak orang untuk memilih makan di sana.

Namun, selalu ada kisah “di balik berita”. Beberapa perantau sengaja untuk membuka rumah makan adalah untuk satu alasan utama : kewajiban memberi makan bagi anak keturunan mereka.

Sehingga, anak-anak mereka tetap dapat makan dengan cukup. Sebab, hanya tinggal mengambil nasi dan lauk pauk yang ada di rumah makan milik orangtua mereka.

Homesick atau rindu kampung halaman adalah hal biasa bagi seorang perantau. Saat yang tepat untuk pulang, adalah pada “Rayo” atau Idul Fitri. Maka terbentuk lagi tradisi lain, yakni “pulang basamo”.

Sekian banyak kendaraan pribadi atau sewaan akan beriringan berjalan dari tanah rantau ke kampung halaman. Tujuan mereka, ber-1 Syawal di kampung bersama keluarga dan kerabat yang telah lama tidak mereka temui.

Setiap perantau yang pulang telah menyiapkan “buah tangan” untuk diberikan kepada kerabat dan keluarga mereka di kampung. Ini boleh disebut dengan “mancubo saketek rasaki urang rantau”.

Sejenis rasa untuk berbagi terhadap sesama. Karena, dengan pendidikan di surau tadi, maka “di dalam setiap rezeki yang anda dapatkan, terdapat juga rezeki bagi orang lain”.

Dan, cerita kesuksesan di rantau menjadi penyedap ketika minum kopi dan pisang goreng di lapau di kampung. Sebab, dengan memahami silat, seorang lelaki berpantang untuk berkeluh kesah.

Dan, kisah rantau terus berulang, yang bahkan telah menjadi sejenis humor satire, bahwa ketika Niel Amstrong — orang pertama yang diyakini — mendarat di bulan, ia terperanjat, sebab telah ada sebuah rumah makan Minang di sana. ***

* Jurnalis TheJakartaPost

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Posts