Dulu di Udara, Sekarang Terlupakan

Jon Afrizal*

“Video killed the radio star
Video killed the radio star
Pictures came and broke your heart …”

Itu adalah penggalan dari lirik lagu dari The Buggles pada tahun 1979 lalu, dengan judul “Video Killed The Radio Star”. Di saat aliran musik New Wave memulai tafsiran baru tentang bagaimana menjadi Top Star.

Yup, saat itu tengah dimulai era video clip bagi para penyanyi. Meskipun, di era ’60 juga telah ada, tapi, “Bintang Radio”, dalam kasanah bahasa Indonesia, tetap menjadi pujaan banyak orang.

Radio, adalah sebuah masa. Bahkan band asal Inggris, Queen juga memiliki lagu yang berjudul “Radio Ga Ga”, di kitaran tahun ’84 lalu, untuk album mereka bertajuk “The Works”. Vokalis dari band ini, Freddie Mercury, meninggal dunia pada tahun 1991 karena HIV/AIDS, di usia 45 tahun.

Di sini, di Kota Jambi, hingga tahun 2000-an, banyak orang masih mendengarkan radio. Bahkan, banyak stereo set kendaraan roda empat yang masih memiliki pesawat radio berfrekwensi FM.

Tentunya berguna bagi mereka yang terjebak di kemacetan jalan raya, ketika hendak pulang dari bekerja, misalnya. Untuk mendengarkan banyak hal, yang tidak melulu bersifat hiburan semata, melainkan juga informasi sejenis berita.

Gedung ini adalah satu saksi, bagaimana, ehm, berbagai aplikasi di smartphone anda telah me-ruang dan me-waktu seiring jaman.

Tidak ku dapat catatan tertulis tentang gedung yang berada di Jalan Sultan Agung, kawasan Murni Kota Jambi ini. Gedung ini pun telah kalah pamor dengan Tugu Pers yang ada di depannya. Meskipun, sejatinya, gedung ini adalah bukti dari kehadiran “pers” juga.

Masih melekat di ingatan kita, semboyan “Sekali Di Udara, Tetap Di Udara”. Yup, itu adalah ciri khas dari Radio Republik Indonesia (RRI).

Dan, gedung ini adalah satu saksi dari sejarah panjang per-radio-an di sini. Sejak era gelombang AM yang suaranya berisik hingga ke gelombang FM yang jernih stereo itu.

Dan, juga saksi bagaimana rekamanan versi mono berganti menjadi stereo. Sejak piringan hitam hingga ke kaset.

Terlupakan. Sama nasibnya dengan sebuah gedung yang berada di Jalan Urip Sumoharjo, di sekitar SMAN 1 Kota Jambi. Penuh rumput ilalang, dan seolah berpantang untuk dibesuk.

Mereka yang telah hadir di dunia di tahun ’70-an, pasti mengingat suatu ketika, pernah dibawa gurunya untuk bernyanyi bersama-sama di sini. “On Air”, begitu istilah ke-radio-annya.

Dulu, ini cerita jaman dulu (jadul) memang, di tahun-tahun itu, ada beberapa sekolah yang murid-muridnya boleh “menyumbangkan suara emas” mereka di sini. Begitu istilah jadul-nya.

Lagunya, tentu saja lagu anak-anak. Ciptaan Pak Kasur, jelas tak tertinggal. Seperti, “Naik Delman”, misalnya. Juga ciptaan Bu Kasur, Bu Soed, dan AT Mahmud.

Nama-nama yang asing, tentunya bagi generasi compact disc (CD) hingga Mp3 saat ini. Maklumlah, dulu, banyak orang yang berpikiran bahwa mendidik tidak melulu serius, seperti webinaran atau zoominaran saat ini.

“Bermain sambil belajar,” begitu istilah pendidik era pemain sepak bola Maradona masih sangat muda. Dengan musik yang ceria, akan ada pesan yang tersimpan jauh di dalam alam sadar anak didik mereka.

Tidak sekedar hapalan yang cepat berlalu saja, tentunya.

Sewaktu itu masih jaman murid-murid Taman Kanak-Kanak (TK) atau Sekolah Dasar (SD), dan belum mengenal Play Grup. Itu pun, hanya beberapa orang yang mengenyam pendidikan TK pada saat itu.

“Mahal,” demikian yang terucap dari banyak orang tua kala itu. Di saat pendidikan belum lah merata dirasakan banyak orang. Terkecuali, para orangtua yang merasa bahwa pendidikan adalah pintu yang dapat membawa anak-anaknya untuk “tampil ke muka”.

Para guru yang membawa murid-muridnya ke gedung RRI ini, biasanya akan menyewa angkutan massal berjulukan “Reben”. Entah kenapa disebut demikian, belum ada catatan tertulis tentang itu.

Kendaraan roda empat itu adalah bermerek Chevrolet, atau di negeri asalnya, Amerika, biasa disapa dengan julukan “Chevy”. Entah buatan tahun berapa, tidak jelas pula. Berbentuk panjang mirip bus, dengan bangku memanjang yang saling menghadap.

Oh ya, jendelanya terbuat dari kayu, yang dapat ditarik ke arah bawah untuk membukanya. Lalu, angin deras akan memasuki kendaraan roda empat ini. Membuat sejuk para penumpangnya. Amboi, sedapnya.

Diperkirakan, jumlah penumpang di kabin bagian belakang adalah 20 orang, masing-masing 10 orang di satu sisi. Sementara di samping Pak Sopir, bisa dua orang.

Ongkos buat penumpang anak-anak, saat itu, adalah Rp50 per penumpang. Sementara untuk orang dewasa adalah Rp100 per penumpang.

Sila diperbandingkan dengan ongkos ojek online (ojol) saat ini. Dengan jarak yang tetap sama, kawasan Broni ke Pasar Angso Duo, ups, New Two-Swans Market, misalnya.

Di dalam studio, beberapa pasang mic telah diletakkan. Ada yang di atas dan ada yang tepat di tengah ruangan. Sementara penyiar radio sibuk mengatur peralatan buat “On Air”, dan anak-anak sibuk pula bersenda gurau tertawa riang.

Lalu, “… Ayo, anak-anak.” Itu adalah aba-aba dari Bu Guru. Serentak mereka bernyanyi,

“Potong bebek angsa
Masak di kuali
Nona minta dansa
Dansa empat kali”

Lagi dan lagi, karya Pak Kasur yang menjadi pembuka “hiburan warga” Kota Jambi. Yup, ini cerita jaman susah.

Berbagai pesawat radio milik warga, akan mendengarkan suara gelombang AM itu. Kadang mereka serius mendengarkan, kadang juga sambil mengerjakan sesuatu.

Dulu, ada prasa, “Tolong perhatikan kalau saya sedang bicara. Sebab saya bukan radio.” Mungkin ada hubungannya dengan tugas pokok dan fungsi (tupoksi) pesawat radio tadi. Entahlah, belum pernah ku dapatkan catatan tertulisnya.

Masih di era yang sama, terdapat banyak acara “Sandiwara Radio”, juga “Sapa Pendengar” hingga ke “Bincang-Bincang”.

Diakui atau tidak, pola “Bincang-Bincang” ini tengah menggandrung saat ini. Tentunya dengan gaya dan cara yang seiring jamannya; Podcast.

Masih di kawasan yang sama, terdapat sebuah bioskop era jadul juga, Bioskop “Murni”, dan tidak tersentuh oleh  “21 Teathre”.

Sajian yang khas, yakni film layar lebar dalam negeri dan beberapa film import dari Bolywood sana.

Kawasan ini juga dikenal dengan jajanan pada malam hari. Seperti sate kacang, martabak india hingga ke empek-empek.

Mungkin ini hanya secuil kisah. Selayak banyak tempat-tempat yang menua karena sejarahnya di Kota Jambi. Seiring pembangunan yang memaksa mereka tersingkir.

Tetapi, toh gedung ini bisa dimanfaatkan untuk hal yang bermanfaat. Seperti untuk berjualan bagi pedagang, misalnya.

Sebelum menjadi “tempat jin buang anak”, begitu istilah jadulnya. Sebuah gedung kosong, yang dapat digunakan untuk “apa saja”, bahkan untuk para mahluk halus sejenis jin membuang anak mereka sekalipun. ***

* Jurnalis TheJakartaPost

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Posts
Read More

Gaharu, Siapa Berminat?

Jon Afrizal* Hampir seluruh agama di dunia menggunakan kayu gaharu (eaglewood) sebagai perlengkapan ibadah. Mulai dari tasbih hingga…