Gang Siku, Pasar Bedug dan Pedagang Obat Jalanan

Jon Afrizal*

Kemarin, Minggu (13/9), terjadi kebakaran di sebuah toko karpet di Jalan WR Supratman, Pasar Kota Jambi. Kendati kebakaran “hanya” melanda satu toko, yakni toko karpet, tetapi bencana itu kadung membuat kekisruhan di sepanjang ruas jalan itu.

Satu unit toko terdiri dari empat lantai. Dan, toko di sini adalah sejenis “bedeng”, yang berderetan dan saling berbatas dinding satu dengan lainnya.

Bangunan di sana, umumnya dibuat pada tahun ’80-an.  Sementara, bangunan yang juga berbentuk “bedeng” di seberangnya, berusia lebih awal, dibangun pada tahun ’70-an. Bangunan yang “kuat” secara fisik.

Ruas jalan di sana, tidak lurus melainkan berbelok, atau “menyiku”. Sebelumnya, areal ini sangat padat; penjual dan pembeli. Sehingga, ruas jalan yang sebenarnya lebar itu terkesan sempit. Adalah wajar, jika kemudian banyak warga Kota Jambi yang menyebutnya “Gang Siku”.

Mari kita telusuri kisahnya, melalui penamaan “Gang Siku” tadi.

Pada tahun ’80-an, area ini adalah pusat keramaian. Sebab, Kota Jambi belum mengenal mall, atau bahkan toko serba ada (toserba) sekalipun.

Area ini, jika siang hari, adalah tempat berbaurnya berbagai macam suku bangsa. Mulai dari Melayu, Minang hingga ke pembauran suku bangsa Tionghoa, Arab dan India.

Tetapi, akan sangat berbeda jika malam hari. Sangat lengang, dimana kehidupan hanya ada di lorong-lorong kecil yang terapit diantara toko-toko bedeng tadi.

Banyak penduduk lokal yang hingga saat ini masih bertahan tinggal di sana. Dengan rumah yang rata-rata panggung, dengan tiang yang berukuran hingga belasan meter mencengkram tanah yang berair di bagian bawah.

Yup, kawasan ini adalah payau atau rawa-rawa, seperti keseluruhan Pasar Kota Jambi, pada umumnya. Bahkan, ada anak sungai yang melintasi kawasan pasar itu.

Tetapi, anak sungai itu tertutup oleh rapatnya toko-toko berjejer. Sehingga, adalah tidak aneh, jika pada musim penghujan, air yang berada di bawah, yakni sungai tadi, meminta perhatian manusia untuk naik ke atas; Banjir.

Sebab, sampah demi sampah membuat air menjadi mampet dan kotor, dari tahun ke tahun. Belum lagi, jika kita bicara soal saluran pembuangan air dan sejenisnya. Ups, biarlah pihak yang berwenang yang bicara itu, dan bukan aku yang hanya jurnalis lapangan ini.

Kembali kita ke kawasan “Gang Siku” tadi. Di area itu, dulu banyak disebut dengan sebutan “los”. Yakni tempat berbelanja yang “dianggap murah”, dengan tawar-menawar yang alot, dan bukan “harga pas”.

Berbagai barang kebutuhan tersedia di sana. Mulai dari perlengkapan rumah tangga hingga ke perlengkapan kosmetik, dari pakaian anak-anak hingga perlengkapan kematian.

Tetapi, anda tentu harus sangat memahami tradisi ekonomi yang bertajuk “jual-beli” ini. Dimana harga akan dicapai melalui perundingan, hingga tercapai angka yang disepakati.

Banyak orang bicara tentang menawar awal dengan patokan sepertiga dari harga yang ditawarkan oleh pedagang. Tetapi, pedagang tetaplah hendak mencari untung. Sehingga, trik tadi terkadang gagal juga. Sebab, pedagang tentu punya strategi sendiri.

Jika bulan Ramadhan menjelang, kawasan ini akan sangat padat. Terlebih beberapa jam sebelum bedug berbuka puasa dipukul di Masjid Raya, pertanda saatnya membatalkan puasa hari itu.

Karena itulah, kawasan ini dikenal dengan sebutan “Pasar Bedug”. Yang tumplek sangat padat, antara mereka yang berjualan dan para (calon) pembeli.

Maklumlah, ini kisah masa lalu, dimana hiburan adalah sesuatu yang langka di Kota Jambi, pada masa itu.

Sehingga, ada prasa yang biasa disebut bagi (calon) pembeli di sana, yakni “orang nengok orang”. Artinya, mungkin saja mereka tidak berbelanja, tetapi hanya plesiran untuk “cuci mata” saja”.

Berbagai laukpauk berbuka puasa akan menjejal mata. Prasa “lapar mata” akan beralih menguras dompet para pengunjung.

Bulan puasa, bagi anak remaja, biasanya digunakan untuk mencari peruntungan. Mereka juga ikut serta menjual berbagai peralatan shalat. Seperti berbagai macam penutup kepala sejenis kopiah, misalnya.

Masih di sekitar kawasan itu, pada era itu, banyak dijumpai para penjual obat. Mereka menggelar dagangan dari pagi hingga sore hari.

Kadang, mereka pun menggunakan berbagai atraksi. Tentu saja, akan berhubungan dengan magic, atau “ngelmu” dalam bahasa Jawa.

“Saya di sini hanya mencari makan. Sesama guru dilarang saling mengganggu,” demikian ungkapan yang biasa diulang-ulang si penjual obat, menjelang ia menjajal ilmu olah kanuragannya.

Namun, sejak tahun 2000-an, Pasar Bedug ada di mana saja. Dan area ini pun mulai ditinggalkan.

Terlebih pada era mallisasi saat ini. Mungkin, banyak orang yang tidak akrab lagi dengan kawasan ini.

Mungkin, ada dari kita yang terbiasa dengan kasanah bahasa Inggris. Ada istilah “downtown”, yang biasanya diartikan dengan kawasan kota yang dihuni oleh masyarakat “kelas” menengah ke bawah, dan dengan toko-toko yang menjual barang dengan harga murah.

Lawan dari kata itu, “uptown”. Yakni kawasan kota yang dihuni oleh kaum elit, dan jarang dikunjungi orang umum, dan barang belanjaan di kawasan itu dijual dengan harga yang mahal.

Sila tempatkan diri sesuai dengan “keadaan” dompet masing-masing. Sebab, terlepas dari pemahaman masing-masing kita tentang “kelas sosial”, harga yang “mahal” dan “murah” adalah nyata. (*)

* Jurnalis TheJakartaPost

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Posts
Read More

Ilmu Nasi Minyak

Nak, kalu kau ndak supayo biso makan nasi minyak setiap Minggunyo. Belajar lah ilmu nasi minyak..!! Muhammad Thayib*…
Read More

Jangan Pupuk Rasialisme

Jon Afrizal* Rasialisme adalah persoalan besar saat ini. Amerika kembali merasakan goncangan hebatnya, setidaknya untuk yang ketiga kali.…