Berburu Akar Pasak Bumi di Rimbo Puliah

Akar dan kayu pasak bumi yang diambil dari rimbo puliah, foto: Herma Yulis

Oleh: Herma Yulis*

PAGI sebelum berangkat menuju rimbo puliah, Pak Misra, pemilik rumah tempat kami menginap mengingatkan agar sarapan yang banyak. Karena medan yang akan kami tempuh cukup jauh dengan rute naik-turun perbukitan. Dibutuhkan tenaga ekstra untuk bisa mencapai jantung hutan rimbo puliah yang lebat dan senyap.

Kawasan hutan lebat ini berada di Nagari Simanau, Kecamatan Tigo Lurah, Kabupaten Solok, Provinsi Sumbar. Jaraknya sekitar 12 kilometer dari pemukiman penduduk. Akses masuk menuju rimbo puliah hanya bisa dicapai dengan berjalan kaki.

Meski matahari sudah muncul, tetapi udara Simanau masih terasa menusuk tulang. Dan, di pagi yang tenang itu kami sudah menikmati suguhan nasi hangat hasil panen petani Nagari Simanau. Hidangan nasi putih yang baru saja diangkat dari tungku perapian dan semangkuk lauk ayam pedas langsung tandas ke perut kami yang memang sudah minta diisi. Kondisi perut yang lapar dan suasana pagi yang dingin membuat selera makan bertambah. Untuk penutup sarapan, secangkir kopi hitam sudah terhidang.

Kami berlima; saya, Hery (fotografer), Rahmat (fasilitator), Pak Misra dan Pak Jorong Karang Putiah (guide), mulai melangkah meninggalkan rumah sekitar pukul 7.30 pagi. Suasana perkampungan masih berkabut saat sepeda motor melintas di jalan perkampungan. Sekitar 15 menit melaju, Pak Jorong, membelokkan sepeda motor memasuki jalan setapak di kanan jalan, dan kami mengikutinya.

Roda sepeda motor melindas ruas jalan tanah seukuran setengah meter. Geroak lubang di sana-sini, dan beberapa potong patahan dahan pohon kering tergeletak di jalan, sehingga menuntut kami lebih berhati-hati. Ujung dari jalan setapak ini berakhir di sebuah kebun karet. Kami bertemu beberapa warga di sana. Kepada mereka Pak Jorong menitipkan sepeda motor kami.

“Kita cuma naik motor sampai di sini,” kata Pak Misra.

Ini baru awal dari perjalanan panjang dan seru menuju rimbo puliah. Menurut cerita dari dua orang guide yang menemani pagi itu, perjalanan masih cukup jauh. Untuk mencapai rimbo puliah, kami harus berjalan kaki lagi menembus hutan lebat selama kurang lebih 2 jam perjalanan.

Tentu saja itu perjalanan menurut standar jalan orang Simanau yang sedari kecil sudah akrab dengan medan seperti ini. Bagi kami yang tak terbiasa, bisa saja memakan waktu lebih lama. Tapi tak mengapa. Kami tetap enjoy dan bersemangat menuntaskan sisa perjalanan.

Lima belas menit menjelajah hutan sejak kami menitipkan sepeda motor di kebun karet, peluh sudah bercucuran membasahi pakaian. Sinar matahari sesekali menikam sudut mata dari balik dedaunan hutan yang tersibak. Namun, begitu kami memasuki kawasan hutan yang semakin lebat, sinar matahari sudah tak sanggup lagi menembus kerimbunan pohon. Kami terbebas dari sengatan matahari, tinggal menata napas yang mulai memburu dan kaki terus melangkah di jalanan yang kadang menanjak.

Tujuan utama perjalanan ini sebenarnya adalah memotret pohon indukan meranti yang ada di rimbo puliah ketika saya bekerja di KKI Warsi. Di sini saya tidak menceritakan tentang itu, tetapi saya mau berbagi kisah seru berburu akar tanaman pasak bumi yang ternyata masih banyak tumbuh di tengah rimbo puliah.

Akar pasak bumi adalah salah satu jenis tanaman yang cukup populer di Indonesia. Tanaman yang tumbuh liar di tengah hutan ini dikenal sebagai tanaman herbal yang memiliki banyak manfaat bagi kesehatan. Yang paling dikenal adalah sebagai ramuan mujarab (obat kuat) bagi pria dewasa. Selain itu, air rebusan akar pasak bumi yang pahit ternyata juga sangat manjur untuk mengobati serangan demam dan malaria.

Akar pasak bumi berasal dari keluarga eurycoma longifolia, yang biasanya tumbuh di dataran rendah dan hutan-hutan tropis di daerah Sumatera dan beberapa pulau lain di Indonesia. Tanaman ini biasanya dapat ditemukan di daerah yang memiliki ketinggian antara 300 hingga 1000 meter di atas permukaan laut.

Tiga Jam Perjalanan yang Melelahkan

Apa yang semula saya pikirkan akhirnya terbukti. Perjalanan yang bagi orang setempat bisa ditempuh selama dua jam, tetapi hari itu kami menghabiskan waktu selama tiga jam. Sebenarnya, molornya waktu tempuh juga dikarenakan kami sering berhenti untuk memotret spot-spot menarik sepanjang perjalanan.

Setelah lokasi penitipan sepeda motor kami melewati beberapa kawasan hutan lagi. Mulai dari rimbo tembok, bukiak tambang, bukiak perentian pakiah, bukiak ganting balantih, dan rimbo puliah. Di tempat terakhir inilah lokasi dimana ratusan induk pohon meranti masih bisa ditemukan tumbuh tinggi menjulang langit. Selain banyak pohon Meranti, di sini juga banyak tanaman pasak bumi, sebagaimana diceritakan Pak Misra, selama perjalanan itu.

Ini adalah perjalanan menantang dan mengesankan. Tanpa dampingan dari penunjuk jalan, akan sulit untuk dapat mencapai rimbo puliah. Sepanjang jalan yang terlihat hanya hutan belantara. Perjalanan semakin sulit karena sepanjang jalan yang kami lewati dipagari jurang dan kawasan perbukitan. Di kiri dan kanan jalan yang jarang dilewati itu, tubir jurang mengancam jika tidak berhati-hati.

Perjuangan Mencabut Pasak Bumi

Sekitar pukul dua siang kami beranjak pulang. Di tengah perjalanan, Pak Jorong menunjukkan sebatang tanaman setinggi setengah meter. Tanaman ini memiliki batang tegak dan kokoh. Daunnya berbentuk bulat telur dengan ujung runcing dan tekstur daun yang agak kasar.

“Itu tanaman pasak bumi,” katanya.

Pak Misra melangkah mendekat dan memetik beberapa lembar daun tanaman tersebut. Lalu meremas-remas dengan jari. Dan, ternyata daunnya masih tetap utuh dan tidak rusak sedikit pun.

“Itu salah satu ciri pasak bumi. Daunnya tidak mudah rusak kalau dibeginikan,” ujarnya.

Saya mencoba menggoyang dan mencabut tanaman itu. Meskipun pohonnya terbilang kecil, tapi akarnya ternyata sangat kuat. Semula saya kira bisa dicabut seperti mencabut batang singkong. Dugaanku keliru, dan saya gagal mencabutnya. Rupanya ada cara khusus untuk bisa mencabut akar yang lurus menghujam ke dalam tanah itu.

Cara itu dipraktikkan langsung oleh Pak Jorong. Dia menebang pohon seukuran betis. Kemudian potongan kayu dengan panjang sekitar semeter diikat pada pohon tanaman pasak bumi. Setelah dirasa cukup kuat, Pak Jorong lalu memutar kayu itu searah jarum jam. Terus berputar seperti kisaran. Aksi yang menguras tenaga itu berlangsung cukup lama. Sampai ujung akar di kedalaman sekitar satu meter terpuntir hingga akhirnya bisa dicabut dari dalam tanah. Ini adalah perjuangan yang tidak mudah. Peluh bercucuran dari tubuh Pak Jorong saat akar pasak bumi berhasil ditaklukkannya.

Di sini memang gudangnya tanaman pasak bumi. Tak perlu mencari jauh, di sekitar lokasi penemuan itu saja kami berhasil mencabut dua batang pohon pasak bumi. Selain pohon meranti, tanaman ini adalah salah satu potensi berharga yang dimiliki rimbo puliah.

Usai mendapatkan akar mujarab itu, kami pun melanjutkan perjalanan pulang. Dan, kami baru tiba di rumah Pak Misra ketika adzan maghrib telah berkumandang di masjid. Benar-benar perjalanan yang melelahkan.

 

*Herma Yulis, tinggal di Kabupaten Batang Hari

Tulisannya berupa cerpen, artikel, dan resensi buku pernah dimuat di koran Kompas, Koran Tempo, Nova, Suara Pembaruan, Seputar Indonesia (SINDO), Jurnal Nasional (Jurnas), Media Indonesia, Kedaulatan Rakyat, Suara Pembaruan, Suara Merdeka, Majalah Mata Baca, Majalah Medium, Jambi Independent, Minggu Pagi, Jurnal Seloko, Kilasjambi.com, Scientific Journal, dan Geotimes. Tahun 2016, bersama Puteri Soraya Mansur menerbitkan buku kumpulan cerpen Among-Among

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Posts