Batik Jambi, dari Masa ke Masa

KILAS JAMBI – Batik Jambi memiliki sejarah perjalanan panjang, dari Pulau Jawa menuju Tanah Melayu. Yang bermula dari pakaian para bangsawan, hingga kini, menjadi sesuatu yang boleh digunakan oleh siapa saja, tanpa memandang kelas sosial.

Berikut laporan lengkap tentang Batik Jambi, oleh tiga jurnalis muda; Riska Amelia, Chyntia Permata Sari dan Asila Aprilia untuk pembaca kilasjambi.com.

****

Tahun 1875. Keluarga Haji Muhibat yang berasal dari daerah yang kini disebut Provinsi Jawa Tengah, pindah dan memilih untuk menetap di Jambi. Keluarga ini pun mulai memperkenalkan batik dan cara pembuatannya.

Pada awalnya, batik hanyalah untuk kain sejenis sarung, selendang dan penutup kepala. Itu pun digunakan secara terbatas, oleh para bangsawan Jambi untuk upacara adat.

Sayangnya, batik sempat menghilang dari khalayak umum. Beberapa catatan menyebutkan bahwa itu terjadi karena peperangan di masa pendudukan Belanda dan Jepang.

Namun, pada medio ’70-an, ditemukanlah beberapa lembar Batik Jambi tempo dulu. Batik itu adalah koleksi milik seorang pengusaha bernama Ratu Mas Hadijah Siginjai.

Selanjutnya, ia dibantu oleh Zainab, seorang yang mempunyai keterampilan membatik, mulai kembali membuat Batik Jambi, tepatnya di kawasan Seberang di Kota Jambi.

Pemerintah Daerah pun menyokong keinginan ini. Lalu digelarlah pelatihan membatik di kawasan Ulu Gedong pada bulan Oktober 1980. Orang yang dianggap memprakarsai ini, adalah Sri Sudewi Maschun Syofwan, istri dari Gubernur Jambi kala itu, Maschun Syofwan.

Tidak kepalang tanggung, para pelatih membatik didatangkan dari Ngayogyakarta. Sehingga, ini bisa dianggap sebagai tonggak penyebutan “Batik Jambi.”

Istri Gubernur Jambi periode selanjutnya, Lily Abdurahman Sayoeti, juga berperan untuk mempromosikan Batik Jambi. Begitu juga dengan istri Gubernur Jambi periode selanjutnya, Ratu Munawaroh Zulkifli Nurdin.

Jika Lily Abdurahman Sayoeti mempromosikan Batik Jambi melalui para pejabat dan seniman, maka Ratu Munawaroh Zulkifli Nurdin menggunakan penutup kepala bagi perempuan, yakni Tekuluk, sebagai alat promosi.

Memang, kemajuan Batik Jambi tidak terlepas dari peran kaum perempuan yang bersikap telaten. Dan, setiap dari mereka memiliki cara masing-masing untuk mempromosikannya.

Istri Gubernur Jambi Yuliana Hasan Basri Agus menulis buku “Filosofi Batik Jambi”. Isi buku itu adalah tentang perkembangan 15 motif batik Jambi.

Gubernur Jambi yang dikenal “dandy” dan “stylish”, Zumi Zola pun turut mempromosikannya. Caranya adalah dengan menggunakan penutup kepala laki-laki, Lacak. Tentunya dengan sentuhan warna yang mengikuti jamannya, dan tidak “saklek” seperti batik Jambi di masa lalu.

Saat ini, Provinsi Jambi dikenal sebagai daerah industri batik yang berada di luar Pulau Jawa. Istri Gubernur Jambi saat ini, Rahima Fachrori Umar pun telah membawa para pebatik Jambi kepada perayaan Gebyar Batik Nasional 2019 lalu, di Jakarta.

Awalnya, terdapat 12 motif Batik Jambi, untuk batik tulis dan batik cetak. Motif itu umumnya adalah ornamen flora dan fauna.

Satu motif batik tulis yang melegenda adalah “Kapal Sanggat”. Kini, motif Batik Jambi telah berkembang menjadi 40 motif.

Ciri khas dari batik, adalah penggunaan pewarna alami. Lalu digunakanlah berbagai jenis kayu dan tanaman, seperti kulit buah jengkol untuk warna ungu, misalnya.

Keunggulan dari pewarna alam adalah tidak merusak kulit bagi penggunanya. Selain itu, tidak ada limbah industri yang merusak lingkungan.

Saat ini, Batik Jambi tidak hanya di-klaim oleh warga Kota Jambi, terutama kawasan Seberang saja. Tetapi telah merambah ke banyak kabupaten lain di Provinsi Jambi.

Berdasarkan data Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Jambi, jumlah perajin batik mencapai 224 orang, dengan 49 unit usaha pada tahun 2009 lalu.

Para perajin ini tersebar di Kota Jambi 129 orang, Batanghari 52 orang, Sarolangun 15 orang, Merangin 10 orang, Tebo 4 orang, dan Bungo 14 orang.

Total investasi untuk industri batik di Provinsi Jambi mencapai Rp588 miliar. Sedangkan kapasitas produksi mencapai 92.773 meter kubik per tahun.

Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jambi telah memiliki gerai bagi para Pebatik Jambi. Gerai itu bernama “Sri Tanjung” yang beralamat di Jalan Sri Soedewi Maschun Syofwan. Gerai ini telah ada sejak tahun 2000-an lalu.

“Ini adalah pusat informasi batik serta pusat pelatihan bagi pebatik,” kata Agus, Kepala Gerai Sri Tanjung, Jumat (3/10).

Menurut Agus, gerai ini yang kemudian membawa para pebatik untuk memamerkan karya mereka, tidak hanya di kota-kota besar di Indonesia saja, melainkan juga ke luar negeri.

“Kami berusaha untuk mencarikan peluang bagi para pengrajin batik untuk mengembangkan usahanya,” katanya.

Harga Batik Jambi sendiri terbilang cukup mahal. Yakni berkisar antara Rp200.000 hingga Rp250.000 per meter untuk bahan katun. Sementara untuk bahan sutra berkisar antara Rp500.000 hingga Rp1 juta jadi untuk satu baju.

Tersebutlah Tina (42), seorang pengrajin batik yang melakukan kegiatan di “Rumah Batik”, yang berada di Kampung Danau Sipin Kota Jambi. Ia telah mengorganisir sebanyak 18 orang pebatik.

Mereka yang umumnya perempuan, berusia remaja hingga dewasa ini menyebut perkumpulannya sebagai ” Serumpun Berlian”. Mereka telah berkegiatan membatik sejak hampir 10 tahun.

“Membatik, jika ditekuni, akan memberikan peluang ekonomi,” kata Tina.

Contohnya, para pebatik yang ia organisir ini. Setiap orang dari mereka dapat mengantongi uang minimal Rp1,5 juta per bulan.

“Jika pesanan meningkat, maka jumlahnya akan berlipat dari itu,” katanya.

Satu motif kreasi mereka adalah “Ikan Bajubang”. Menurut Tina, setiap pengrajin batik harus memiliki motif sendiri.

“Ini bukan sebuah kesombongan dan ikut-ikutan saja. Tetapi, motif adalah karya bagi pengrajin batik,” katanya.

Selain membatik di sanggar, terbuka juga peluang bagi para pebatik untuk menjadi pengajar. Banyak kursus yang diadakan banyak pihak di Provinsi Jambi ini, dengan tujuan meningkatkan penghasilan para perempuan itu.

“Yang dibutuhkan adalah kemauan dan keinginan untuk mengembangkan diri,” katanya.

Tentu saja, membatik tidak semudah membalikan telapak tangan. Butuh waktu untuk menjadi terampil, dan “dihargai” publik sebagai pebatik. Tentunya, sebagai pewaris budaya membatik yang telah ada sejak lama di sini. ***

Editor: Jon Afrizal

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Posts