Antara Nuklir, Batu Bara dan Uang di Kantong

Jon Afrizal*

Pukul 01.23 pagi waktu Moskwa. Keributan terjadi, di dekat Pripyat, Ukraina, Uni Sovyet. Sebuah reaktor nuklir meledak, pada tanggal 26 April 1986.

“Bencana Chernobyl”, begitu ledakan reaktor nomor empat itu disebut, sebagai kecelakaan reaktor nuklir terburuk di dalam sejarah. Bencana ini merupakan satu dari dua kecelakaan yang digolongkan dalam level 7 pada Skala Kejadian Nuklir Internasional, sebelum “Bencana Fukushima”.

Isotop radioaktif dalam jumlah besar tersebar ke atmosfer di seluruh kawasan Uni Soviet bagian barat dan Eropa. Sebanyak ribuan orang penghuni kota ini terpaksa diungsikan ke luar kawasan yang tercemar radioaktif itu.

Bencana itu mempengaruhi perekonomian Uni Sovyet, dengan menghabiskan dana sebesar 18 milliar rubel untuk penanggulangannya. Sementara sisa-sisa dari gedung reaktor No.4 dilingkupi dengan sebuah sarkafogus besar, atau pelindung radiasi, pada bulan Desember 1986, saat dimana bahan yang berada dalam reaktor telah memasuki fasa shut-down.

Kejadian kedua, adalah “Bencana Fukushima” di Jepang pada tanggal 11 Maret 2011 lalu. Bencana ini terjadi tepat pada saat tsunami, yang telah mematikan generator darurat yang akan menyediakan daya untuk mengendalikan dan mengoperasikan pompa yang diperlukan untuk mendinginkan reaktor nuklir.

Pendinginan yang tidak memadai ini menyebabkan tiga krisis nuklir, ledakan kimia hidrogen-udara, dan pelepasan bahan radioaktif di Unit 1, 2 dan 3 dari tanggal 12 Maret hingga 15 Maret.

Sama seperti Chernobyl, “Bencana Fukushima” adalah kategori tingkat 7 dari Skala Kejadian Nuklir Internasional. Akibat lanjutan dari bencana itu, jika menurut teori ambang batas radiasi ambang batas linear, maka jumlah kematian akibat kanker diperkirakan sekitar 130 hingga 640 orang setiap tahunnya.

Nuklir, sepertinya, adalah sebuah “dompet yang penuh isinya”. Butuh biaya tinggi, sehingga hanya negara-negara maju saja yang banyak mengembangkan dan menggunakannya sebagai pembangkit listrik.

Apakah benar demikian?

Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) nomor 79 tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional. Pada PP itu disebutkan bahwa nuklir menjadi opsi paling terakhir untuk dimanfaatkan sebagai sumber energi.

Bahkan, pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) juga tidak masuk dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) di tahun 2019 hingga 2028. Ada beberapa alasan terkait opsi ini.

Seperti biaya pembangunan PLTN yang lumayan tinggi. Sehingga bisa membebani harga jual listrik ke masyarakat. Dengan perkiraan, menurut kementrian Energi Sumberdaya Mineral (ESDM), harga jual listrik dari PLTN ke masyarakat dapat mencapai angka US$ 40 sen hingga US$ 30 sen per kwh.

Selain juga persoalan keamanan. Karena berkaca dari dua bencana kategori 7 tadi, perlu untuk mengantisipasi hal-hal buruk yang bakal terjadi, selama dan sesudah penerapan pembangkit nuklir.

Lalu, bagaimana dengan penggunaan batu bara untuk bahan baku pembangkit listrik?

Berdasarkan data PT PLN (Persero), biaya untuk Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) diperkirakan sekitar Rp650 per kWh. Sebanyak 60 persen listrik di negara ini menggunakan bahan baku batu bara.

Sebab, komoditas batu bara sangat melimpah di negara ini. Yang, seharusnya, menurut beberapa orang, bukan hanya untuk komoditas pasar saja, melainkan harus dapat menjadi modal pembangunan.

Mari, kini kita ke dampak yang bakal terjadi akibat dari penggunaan bahan baku batu bara untuk PLTU, yang, kata banyak orang, “murah” itu.

Tersebutlah Greenpeace Indonesia, yang mencatat bahwa hingga saat ini terdapat proyek PLTU dengan bahan baku batu bara dengan total kapasitas tambahan 45.365 megawatt (MW) di seluruh Indonesia. Diperkirakan total biaya investasi akan mencapai US $ 58.5 miliar atau Rp770 triliun.

Greenpeace Indonesia, yang menggunakan penelitian Universitas Harvard, menyatakan bahwa dampak kesehatan dari 45.365 MW pembangkit listrik berbahan baku batu bara itu adalah US $ 26,7 miliar atau setara dengan Rp351 trilliun untuk setiap tahun operasi PLTU.

Persoalannya, biaya tahunan sebesar Rp351 trilliun itu adalah jauh lebih tinggi dari alokasi APBN tahun 2016 untuk sektor kesehatan, yang mencapai sekitar Rp110 triliun.

Apakah batu bara itu murah?

Masih menurut Greenpeace Indonesia, di Indonesia pada tahun 2008 lalu, pembakaran batu bara menyumbang sekitar 50 persen dari emisi C02 yang terkait sektor energi, 30 persen dari emisi PM10 dan 28 persen dari emisi NOx.

Penyakit yang terjadi adalah stroke, penyakit jantung iskemik, penyakit paru obstruktif kronik, kanker paru-paru, serta penyakit jantung dan pernapasan lainnya pada anak-anak.

Jadi, apa yang seharusnya kita gunakan? Apakah kembali harus kembali menggunakan lampu togok, seperti di era lampau?

Bagaimana, jika secara beramai-ramai ribuan atau bahkan jutaan lampu togok dinyalakan setiap malam? Apakah juga akan mengeluarkan CO2, karena menggunakan minyak tanah yang berasal fosil? dan, apakah juga akan mengakibatkan pemanasan global?

Akhirnya, seperti lirik sebuah lagu dari Iwan Fals,

“Timbang menimbang ditimbang timbang
Timbang menimbang dibuang sayang”

* Jurnalis TheJakartaPost

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Posts
Read More

Jangan Pupuk Rasialisme

Jon Afrizal* Rasialisme adalah persoalan besar saat ini. Amerika kembali merasakan goncangan hebatnya, setidaknya untuk yang ketiga kali.…