KILAS JAMBI – Yayasan Wangsamudra bersama Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jambi, didukung Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan Kebudayaan, serta Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, membuka Sayembara Menulis Sedunia.
Tajuknya, Jalur Rempah dan Sejarah Kemaritiman Dunia.
“Sayembara ini bagian dari rangkaian Festival Bangsa Samudra. Sangat terbuka bagi siapa pun, warga negara mana pun,” kata Ketua Panitia Festival Bangsa Samudra, Ramond EPU.
Bagi yang hendak mengambil bagian, naskah sudah bisa dikirimkan ke sayembara@wangsamudra.id, sejak Sayembara Menulis Sedunia diumumkan di Museum Kebangkitan Nasional, Jumat, 26 Maret 2021.
Sayembara terbagi dalam tiga kategori:
1. Prosa (esai, artikel, dan reportase). Panjang tulisan 3-5 halaman A4.
2. Makalah ilmiah. Panjang tulisan 5-10 halaman A4.
3. Sastra (cerpen, puisi, gurindam dan sejenisnya). Panjang dan bentuk tulisan bebas disesuaikan dengan ekpsresi daerah masing-masing.
Naskah paling lambat diterima panitia pada 17 Juli 2021.
Sertakan bidodata singkat penulis, foto dan nomor kontak.
Dewan Juri Sayembara yang beranggotakan
Gusti Asnan (Guru Besar Ilmu Sejarah Universitas Andalas), penyair Joko Pinurbo, ahli epigraf Ninie Susanti Tedjowasono, dan ahli bahasa Ganjar Harimansyah Wijaya akan memilih 10 naskah dari masing-masing kategori.
Tidak ada juara satu, juara dua. Yang ada hanya naskah terpilih.
30 Naskah terpilih dari semua kategori akan diterbitkan dalam buku Bunga Rampai Bangsa Samudra. Para penulisnya difasilitasi menghadiri Festival Bangsa Samudra, 17-23 September 2021 di Cagar Budaya Nasional Muaro Jambi, komplek percandian terluas di Indonesia, bahkan se-Asia Tenggara.
Hari ketiga Festival Bangsa Samudra, di forum Konferensi Jalur Rempah 19 September 2021, buku itu dimusyawarahkan.
KEMAH BUDAYA
Festival Bangsa Samudra digelar selama tujuh hari tujuh malam. Berkemah di reruntuhan negeri lamo, Kawasan Cagar Budaya Nasional Muarajambi, Kabupaten Muaro Jambi, Jambi.
Tujuannya menyambung kembali tali tua peradaban luhur Bangsa Samudra, bangsa yang menganut falsafah mengukur sama panjang menimbang sama berat dan menilai di atas patut.
“Sanak saudara di mana pun berada, bagi yang mau datang, datanglah. Sama-sama kita memulangkan sirih ke gagangnya pinang ke tampuknya, mengumpulkan yang terserak menjemput yang tertinggal dan membangkit batang terendam,” seru Ramond.
Festival ini didukung oleh Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi RI, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kemendikbud RI, Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jambi.
Sesmenko Kemaritiman dan Investasi RI, Agung Kuswandono menilai Festival Bangsa Samudra bukan sekadar mengunggah ingatan sejarah Nusantara, namun lebih dari itu menjaga keberlanjutan pengetahuan bangsa dalam melahirkan keagungan budaya melalui tradisi-tradisi yang penuh makna.
“Festival Bangsa Samudra ini akan terus memperkuat literasi, menjaga pengetahuan dan mengembangakan kearifan budaya kita sebagai bangsa bahari, negeri kepulauan terbesar di dunia, untuk selanjutnya diramu dalam kehidupan modern saat ini dengan memutakhirkan struktur pengetahuan dalam ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai tulang punggung pembangunan Kemaritiman Nasional dan menjadi arah Haluan Pembangunan Kemaritiman di masa depan,” paparnya.
Menurut Agung, Nusantara adalah karakter alamiah laut bertabur pulau yang mewarnai pandangan hidup manusia yang hidup di “Banua Zamrud Katulistiwa”, sehingga melahirkan falsafah “Tanah Air” dan kearifan “Segara-Gunung”, yang memandang daratan dan lautan sebagai satu kesatuan ruang hidup, ruang bekerja dan ruang berkarya.
Sedang menurut Kepala BPCB Jambi Agus Widiatmoko, “Bangsa Samudra mengingatkan kita, akan kata puistis “Nyiur Melambai” dan “Rayuan Pulau Kelapa”. Untaian kata yang merujuk sebuah negeri berjajar pulau-pulau berpagar pohon kelapa, terbentang dari arah terbit dan terbenamnya matahari diantara samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Di tempat inilah bangsa kita lahir dan dibesarkan di “Tanah Air” Indonesia. Tanah tempat tinggal kita, air ruang kehidupan dan halaman depan kita. Itulah negeri kita, Kepulauan Nusantara tempat tinggal para keturunan orang-orang yang dua pertiga wilayah hidupnya merupakan lautan. Tidaklah berlebihan jika orang-orang Nusantara, jauh sebelum diperkenalkan nama arah mata angin versi orang barat, hanya mempunyai sebutan dua arah mata angin, yakni “darat dan laut” serta “hulu dan hilir”. Sebuah kata tegas, bahwa kita adalah Bangsa Samudra.”
Percandian Muarajambi dahulu kala merupakan tempat mengampuh ilmu, yang saking sohornya senantiasa disambangi para ilmuwan dari berbagai penjuru dunia.
Tapak tua peradaban yang pernah berjaya pada masa sungai-sungai adalah jalan raya dan lautan gelanggangnya tersebut, kini digadang-gadang sebagai komplek percandian terluas di Asia Tenggara.
Menyilau askah sezaman, tersua catatan perjalanan I-Tsing dari Cina (abad 7) dan Atisha (abad 10-11 ) dari India melanglang buana pergi menjelang guru menjemput kaji ke kampur Suwarnadwipa Muarajambi.
Tak pelak pula, Muarajambi di keselarasan sungai Batang Hari adalah tempat bertemunya ilmu. Tempat para ilmuwan berjumpa muka, jumpa pikiran dan jiwa. Di sini ilmu-ilmu dari berbagai belahan dunia kawin-mawin , berkelindan.
Akan banyak kegiatan yang akan digelar dalam Festival Bangsa Samudra, mulai dari Workshop tiga aksara; Incung, Kawi, dan Lontaraq.
Kemudian ada juga Konferensi Jalur Rempah, Konferensi Nasional Bangsa Samudra, Konferensi Internasional: Sungai Urat Nadi Dunia, dan serangkaian sarasehan kebudayaan. Dan lain sebagainya.
Narahubung:
Ramond EPU,
+62 821-7525-7380
Wangsamudra.id