Jiwa dan Roh Dalam Perspektif Al-Kindi

Oleh: Muhammad Ardian*

KILAS JAMBI – Al-Kindi atau nama lengkapnya Abu Yusuf Ya’qub Ibn Ishaq Ibn al-Shabbah Ibn ‘Imran Ibn Muhammad Ibn al-Asy’as Ibn Qais al-Kindi. Lahir di Kuffah pada masa khalifah Harun al-Rasyid (786-809) dari dinasti Abbasiyah (750-1528 M) sekitar tahun 185 H (801 M) dari keluarga terhormat dan kaya.

Al-Kindi pindah dari Kuffah ke Basrah, untuk menuntut Ilmu Studi Bahasa dan Teologi Islam yang kemudian ia menetap di Baghdad. Al-Kindi di sana mendapati dua pelajaran bahasa yaitu Syiria dan Yunani. Ia berhasil menguasai bahasa Syiria lalu kemudian ia mempelajari bahasa Yunani dan berhasil merevisi beberapa terjemahan pemikiran Yunani ke dalam bahasa Arab yang dilakukan oleh intelektual Islam sebelumnya, seperti terjemahan Enneads karangan Plotinos oleh al-Himsi yang sampai kepada orang-orang Arab sebagai salah satu karya Aristoteles.

Al-Kindi berpendapat bahwasannya akal terbagi ke dalam tiga kategori; yaitu akal yang bersifat potensial, akal yang telah keluar dari sifat potensial dan akal yang menjadi aktual. Masalah jiwa merupakan agenda yang penting dalam Islam, karena jiwa merupakan unsur utama dari manusia, bahkan ada yang mengatakan sebagai intisari manusia.

Filosof Muslim memakai kata jiwa (al-nafs) pada apa yang diistilahkan al-Qur’an dengan al-Ruh. Pemikiran Al-Kindi tentang jiwa tidak terlepas dari pemikiran Aristoteles. Menurut al-Kindi, jiwa itu tidak tersusun, tetapi mempunyai arti penting, sempurna dan mulia. Subtansi roh berasal dari subtansi Tuhan. Hubungan roh dengan Tuhan sama dengan hubungan cahaya dengan matahari.

Jiwa itu kekal dan tidak hancur bersama hancurnya badan. Jiwa tidak hancur karena subtansinya dari Tuhan. Ketika jiwa berada dalam badan, ia tidak boleh kesenangan yang sebenarnya dan pengetahuannya tidak sempurna. Setelah ia berpisah dengan badan, jiwa akan pergi ke Alam Kebenaran atau Alam Akal (al-‘alam al-haq, al-‘alam al-aql) di dalam lingkungan cahaya Tuhan, dekat dengan Tuhan dan dapat melihat Tuhan. Tempat inilah kebahagiaaan abadi yang akan dirasakan oleh jiwa yang suci.

Jiwa yang tidak suci itu setelah berpisah dengan badan ia tidak akan langsung masuk ke alam kekal, tetapi ia akan mengembara untuk jangka waktu tertentu untuk membersihkan diri. Dari argumen ini kita ketahui bahwasannya Al-Kindi mengakui dan setuju bahwa adanya keabadian jiwa namun keabadian ini sifatnya berbeda dengan abadinya Tuhan karena keabadian jiwa bukan dari dirinya sendiri melainkan keabadiannya karena diberikan oleh Allah SWT.

Jiwa merupakan entitas tunggal yang subtansinya sama dengan subtansi pencipta sendiri, karena ia sesungguhnya adalah limpahan dari subtansi Tuhan artinya subtansi roh berasal dari subtansi Tuhan.

Roh itu sendiri terpisah dari badan dan mempunyai wujud sendiri argumen yang dikemukakan al-Kindi tentang kelainan roh dari badan ialah keadaan badan mempunyai hawa nafsu (carnal desire) dan sifat pemarah (passion).
Roh bersifat kekal dan tidak hancur dengan hancurnya badan. Dia tidak hancur, karena subtansinya berasal dari subtansi Tuhan. Ia adalah cahaya yang dipancarkan Tuhan selama dalam badan, roh tidak memperoleh kesenangan yang sebenarnya dan pengetahuannya tidak sempurna.

Setelah berpisah dengan badan, roh pergi ke alam kebenaran atau alam akal di atas bintang-bintang, di dalam lingkungan cahaya Tuhan, dekat dengan tuhan dan dapat melihat Tuhan dan di sinilah kesenangan abadi dari roh. Pertemuan ini terkadang dalam tasawuf sering kita jumpai pada tarekatnya dalam amalan-amalan keseharian para Mursyid atau Wali Allah. Lebih identik terkadang ketika seseorang tersebut melakukan zikir amaliyah nya yang mana kepuasan roh itu sendiri ketika menyebut dan membacakan amalan-amalan kesehariannya.

Tidak semua roh dapat pergi kepada alam kebenaran itu. Hanya roh yang sudah sucilah yang dapat masuk dan menembus alam tersebut. Roh yang masih kotor akan di bersihkan terlebih dahulu agar ia bisa masuk ke dalam alam kebenaran tersebut. Namun itu semua bertahap tidak langsung kepada titik yang paling atas atau sampai kepada alam Akal dalam lingkungan cahaya Tuhan.

Berdasarkan penjelasan Al-Kindi di atas, patutlah kita sebagai manusia menyadari akan adanya hakikat akal dan hakikat jiwa pada tubuh manusia. Jiwa atau rohani manusia selalu akan kembali dan mencari kebenaran sejati. Selama ia (ruh) masih berada dalam jasad, sebenarnya ruh itu masih terkurung, ruh akan bebas tatkala manusia wafat karena ruh akan kembali kepada Tuhan-nya. Oleh sebab itu sesudah saatnya manusia memberikan kenyamanan bagi ruh yang ada pada dirinya tersebut dengan cara berdzikir kepada Allah SWT. Karena dengan itu, jiwa akan merasa tenang dan hidup manusia akan teduh walaupun diterpa krisis dan godaan duniawi.

*Mahasiswa Prodi AFI UIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi Angkatan 2020

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Posts