Jon Afrizal*
Malam Minggu, bagi Monica adalah saat yang paling ditunggu. Ia telah berada di perempatan Tugu Keris, di Balaikota Jambi tepat pada pukul 20.00 WIB.
Car free night yang mengubah area di perempatan itu bak pasar malam tidak membuat ia ragu berkunjung ke perpustakaan jalanan yang digelar para milenial di sana.
Monica adalah mahasiswi Fakultas Adab dan Humaniora semester 8 Jurusan Ilmu Perpustakaan Universitas Islam Negeri (UIN) Sultan Thaha Jambi. Ia tengah meneliti perpustakaan jalanan ini sebagai tugas skripsinya.
“Perpustakaan jalanan adalah hal yang unik. Yang berbeda dari perpustakaan pada umumnya,” katanya, Sabtu malam (7/3).
Menurutnya, perpustakaan pada umumnya sangat sunyi, di mana setiap orang menyibukkan diri membaca buku, dan tanpa interaksi satu sama lainnya. Tetapi di sini, hal-hal itu seperti dilanggar.
“Setiap orang saling bertukar pikiran mengenai buku yang dibacanya,” katanya.
Tetapi yang paling menarik, menurutnya, adalah perpustakaan jalanan ini digerakkan oleh komunitas milenial. Sesuatu yang tidak biasa, katanya, mengingat para milenial ini tidak memegang gadget masing-masing dalam waktu yang cukup lama.
Sejauh ini, terdapat empat komunitas perpustakaan jalanan di Kota Jambi. Mereka menggelar bacaan gratis di berbagai tempat umum.
Gerakan melek literasi ini telah tumbuh sejak 2017 lalu yang dimulai oleh pribadi-pribadi yang kemudian mengajak orang lain.
“Perpustakaan Rakyat” yang dikunjungi Monica malam ini adalah salah satunya. Awalnya, “Perpustakaan Rakyat” dibentuk oleh Lukman dan tiga orang temannya pada 2017 silam. Lukman adalah seorang mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (STISIP) Nurdin Hamzah Jambi.
“Awalnya perpustakaan ini hanya punya 100 judul buku yang berasal dari pustaka pribadi kami,” kata Lukman.
Selanjutnya, ia pun mengajak teman-teman lainnya, yang umumnya adalah mahasiswa. Kini, komunitas ini beranggotakan 20 orang mahasiswa yang berasal dari kampus-kampus yang berbeda di Kota Jambi.
Kini, perpustakaan jalanan ini telah memiliki sekitar 1.000-an judul buku dari berbagai genre. Mulai dari sosial, politik, budaya, sejarah, ekonomi, buku anak-anak, hingga jurnalistik.
“Buku-buku itu berasal dari donasi pribadi, penerbit dan perpustakaan nasional,” katanya.
Awalnya, mereka membuka perpustakaan jalanan setiap Minggu pagi di area car free day di Jalan Ahmad Yani, Telanaipura. Tapi, sejak setahun lalu, mereka pindah ke kawasan balai kota ini. Sedangkan untuk hari Minggu, diisi oleh komunitas perpustakaan jalanan “Jari Menari”.
“Kali pertama menggelar bacaan gratis di sini, kami sempat ditegur Satpol PP karena dianggap mengganggu kertertiban,” katanya.
Perpustakaan jalanan adalah strategi yang digunakan oleh pegiat literasi di Kota Jambi. Dengan berada di tengah keramaian, mereka membuat setiap orang untuk mampir dan membaca buku-buku mereka.
“Kami menyasar milenial, sebab kami adalah juga milenial,” katanya.
Selain membaca buku, mereka juga melakukan diskusi secara rutin. Termasuk juga melakukan pelatihan menulis bagi para anggota.
Meskipun di jalanan, tetapi ada aturan ketat bagi setiap peminjam buku. Mereka yang meminjam buku wajib menyertakan photo copy Kartu Tanda Mahasiswa (KTM) yang masih berlaku.
Selain itu, jika melebihi batas waktu peminjaman maksimal 1 minggu, peminjam akan dikenakan denda Rp 5.000 per hari.
“Ini dilakukan agar buku-buku tidak hilang,” katanya.
Sebab, katanya, pada masa awal perpustakaan jalanan ini, ia telah kehilangan hampir 200 judul buku. Dipinjam oleh beberapa orang, dan kemudian tidak dikembalikan lagi.
Rizwan, seorang mahasiswa hukum Universitas Jambi (UNJA) mengatakan ia cukup terbantu dengan perpustakaan jalanan ini. Ia dapat membuka wawasan dan berbagi ilmu dengan yang lainnya.
“Belajar tentang hukum dapat dilakukan di kampus. Di sini, saya ingin belajar tentang yang lain,” kata Rizwan.
Gusti, seorang pendiri perpustakaan jalanan “Jari Menari” mengatakan membaca buku bagi banyak orang di kota ini acap dianggap “asing”. Seperti kesan dari “kutu buku” itu sendiri.
“Tetapi dengan menggelar perpustakaan jalanan, sedikit demi sedikit minat terhadap membaca terbangun, terutama di kalangan milenial,” kata Gusti.
Sehingga, katanya, buku tidak menjadi sesuatu yang asing lagi, dan membaca menjadi bagian dari gaya hidup kalangan milenial.
Namun, sejak pandemi Covid-19 melanda, acara tiap malam Minggu ini tidak bisa lagi dilakukan. Tetapi, bukan berarti tidak berjalan sama sekali.
“Diskusi tetap berlanjut melalui telepon seluler,” kata Gusti.
Protokol masa adaptasi pandemi, atau yang biasa disebut New Normal, tetap mereka laksanakan.
“Jika pandemi ini telah berlalu, kami akan kembali menggelar bacaan di jalanan,” demikian janji Lukman. ***
* Jurnalis TheJakartaPost