Cabut Perppu Cipta Kerja, Sudahi Praktik Pengkhianatan Konstitusi

KILAS JAMBI – Presiden beralasan terdapat kegentingan memaksa akibat geopolitik dan ketidakpastian hukum bagi investor sebagai dasar pengesahan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Perppu Cipta Kerja), bertujuan untuk menyelamatkan perekonomian Indonesia. Padahal pada waktu bersamaan Presiden dan sejumlah Menteri, menyatakan pertumbuhan perekonomian meningkat secara signifikan pasca pandemi Covid-19.

Anomali terjadi tidak hanya pada alasan pengesahan Perppu Cipta Kerja dan pernyataan kondisi perekonomian pasca pandemi. Pembangunan di Indonesia harus diganjar dengan berbagai penggusuran atas nama pembangunan dan proyek strategis nasional, ancaman kedaulatan pangan, fleksibilitas tenaga kerja, liberalisasi pendidikan, dan legitimasi pengrusakan lingkungan hidup serta berbagai bentuk pelanggaran HAM pada petani, nelayan, buruh, masyarakat adat, perempuan, masyarakat miskin kota dan pedesaan, serta kelompok rentan lainnya semakin masif terjadi.

Alih-alih melaksanakan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 91/PUU-XVIII/2020 (Putusan MK 91) yang menyatakan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) inkonstitusional bersyarat, Pemerintah justru menerbitkan berbagai kebijakan dan peraturan perundang-undangan yang melanggar konstitusi dan cita-cita bangsa Indonesia yang bebas dari segala bentuk penjajahan. Bahkan Pemerintah terus memaksakan keabsahan UU Cipta Kerja melalui penerbitan Perppu Cipta Kerja demi membuka kran liberalisasi di berbagai sektor. Kesesatan sistem hukum dan bernegara ditunjukkan pemerintah tanpa malu-malu demi memenuhi kepentingan elit bisnis dan politik.

Menyikapi praktik pembangkangan konstitusi, prinsip-prinsip demokrasi dan negara hukum oleh Presiden dan DPR RI terkait penerbitan Perppu Cipta Kerja, serta lahirnya berbagai kebijakan pemerintah yang menyengsarakan rakyat, Komite Aksi Bersama turun ke jalan menyerukan protes dan ultimatum rakyat Indonesia kepada Pemerintah Rezim Joko Widodo dan para anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Penerbitan Perppu Cipta Kerja jelas menunjukkan konsistensi kesewenang-wenangan pemerintahan rezim Joko Widodo dalam memfasilitasi kepentingan investor dan pemodal.

Harus diketahui bahwa Perppu Cipta Kerja telah mengancam berbagai sektor kehidupan rakyat, mulai dari buruh, mahasiswa dan masyarakat rentan di wilayah perkotaan hingga petani, nelayan, masyarakat adat, perempuan di wilayah pedesaan dan pelosok negeri. Ancaman-ancaman tersebut di antaranya yaitu:

Sektor Agraria dan Pangan
Akibat semangat pengaturan dalam UU/Perppu Cipta Kerja untuk meliberalisasi dan memprivatisasi tanah, sepanjang tahun 2020-2022 telah terjadi 660 letusan konflik agraria seluas 2,16 juta hektar. Di mana sedikitnya 14 petani tewas dan 317 orang dipenjara hanya untuk mempertahankan tanahnya (KPA, 2023). Ini adalah bukti bahwa UU Cipta Kerja hanya memberikan kesengsaraan dan kemiskinan bagi Petani, Buruh, Nelayan, Masyarakat Adat, Perempuan, masyarakat miskin perkotaan dan pedesaan, serta kelompok rentan lainnya.

Kemudian masalah Bank Tanah masih sama dengan UU Cipta Kerja. Diatur pada Pasal 125-135 Perppu Cipta Kerja, Bank Tanah tidak ubahnya lembaga penyedia tanah bagi pelaku usaha dan menyelewengkan reforma agraria. Bank Tanah adalah lembaga yang mengembalikan praktik-praktik penjajahan seperti domein verklaring dan menyimpangi hak menguasai dari negara (HMN) melalui Hak Pengelolaan (HPL). Maka model dan cara kerja Bank Tanah bertentangan dengan Konstitusi dan UUPA 1960. Bank Tanah sebagai lembaga penjamin ketersediaan tanah bagi perusahaan tidak dapat diragukan. Sebab 99% pasal di dalamnya hanya dibuat untuk melayani pengusaha, bahkan dapat dipergunakan sebagai cara untuk memutihkan konsesi korporasi yang bermasalah seperti beroperasi tanpa izin/hak atas tanah, telah kadaluarsa, ditelantarkan, dan menimbulkan konflik agraria serta kerusakan lingkungan, bahkan melegalkan hak atas tanah yang diterbitkan dengan cara-cara yang koruptif.

Perppu Cipta Kerja juga mempermudah eksploitasi sumber-sumber agraria yang diiringi kerusakan lingkungan akibat kemudahan izin berusaha korporasi, pelemahan partisipasi masyarakat, dan pelemahan pengawasan. Substansi Perppu Cipta Kerja memperluas dan memperkuat ancaman perampasan tanah dan meningkatkan potensi kriminalisasi petani, masyarakat adat dan pembela lingkungan hidup dalam Pasal 162 Perppu Cipta Kerja bagi yang menolak kegiatan pertambangan. Kemudian pada konteks perlindungan kawasan pesisir, melalui Pasal 26A Perppu Cipta Kerja melakukan penghapusan syarat-syarat penanaman modal asing untuk pemanfaatan pulau-pulau kecil dan pemanfaatan perairan.

Dampak lain Perppu Cipta Kerja yaitu ancaman liberalisasi pangan melalui food estate dan kemudahan impor pangan. Jutaan hektar tanah direkayasa menjadi lokasi penghasil barang mentah industri makanan seperti kentang, bawang, singkong dll. Padahal pada praktiknya food estate telah gagal mewujudkan kedaulatan pangan, hal ini dibuktikan dengan jutaan ton komoditas pangan terutama beras, gula, garam, kedelai dll selama ini diperoleh dengan cara impor dari negara lain. Food estate dan impor pangan hanya memperkaya elit politik dan kartel pangan di Indonesia.

Perusahaan yang bergerak di bidang Perkebunan maupun HTI dan Tambang telah menjadi penyumbang konflik terbesar di sektor agraria. Tak khayal ketika perusahaan ini masuk ke desa-desa, akan menyebabakan konflik yang mengakibatkan hilangnya lahan perkebunan masyarakat. Lagi-lagi selalu masyarakat yang jadi korban, anak-anak putus sekolah, para petani berganti menjadi buruh tani. Tercatat pada tahun 2022 provinsi jambi telah menjadi penyumbang konflik terbesar ke dua di indonesia, data ini terus akan meningkat ketika PERPPU tersebut segera di sahkan menjadi UU.

Sektor Ketenagakerjaan
Skema kebijakan pengupahan yang dirumuskan merujuk pada kepentingan pelaku usaha, khususnya kondisi bisnis perusahaan dan juga pertumbuhan ekonomi di suatu daerah. Padahal, jika berbicara mengenai kebijakan pengupahan, mestinya merujuk pada kondisi objektif dan riil pekerja. Dimana upah pekerja diproyeksikan agar pekerja dan keluarganya mendapatkan upah yang layak untuk penghidupannya, sehingga kehidupan lebih sejahtera.

Kondisi tersebut menunjukkan UU/Perppu Cipta Kerja meletakkan kebijakan pengupahan sebagai sebuah ongkos produksi yang menjadi beban bagi perusahaan. Dengan dalih dan tuduhan tanpa dasar yang menyebutkan bahwa ongkos upah di Indonesia cenderung mahal dan membuat investor enggan berbisnis di Indonesia, sehingga dengan adanya Perppu Cipta Kerja melegitimasi politik upah murah di Indonesia.

Perppu Cipta Kerja masih mengatur ketentuan alih daya (outsource) yang sama dalam UU Cipta Kerja juga masih mengatur mengenai istilah alih daya melalui Pasal 81 angka 18 dan 20 yang memperjelas legitimasi atas penerapan sistem outsourcing. Jika kita melihat UU Ketenagakerjaan mengatur bahwa pekerjaan alih daya dibatasi hanya untuk pekerjaan di luar kegiatan utama atau yang tidak berhubungan dengan proses produksi, pada Perppu Cipta Kerja tidak ada lagi penjelasan ketentuan yang mengatur batasan pekerjaan-pekerjaan apa saja yang dapat dialih daya. Sehingga, Perppu Cipta Kerja dapat memberi peluang bagi perusahaan alih daya untuk dapat memberikan pekerjaan kepada pekerja berbagai tugas hingga tugas yang ranahnya bersifat bukan penunjang.

Sektor Lingkungan
Perppu Cipta Kerja banyak mengubah ketentuan jaring perlindungan lingkungan hidup. Ketentuan yang berkaitan dengan AMDAL, yaitu Pasal 24 dan pasal 26 meskipun ada ketentuan pemerintah pusat bisa melakukan sendiri uji kelayakan hidup, tidak berarti ada integrasi antara kelayakan lingkungan dan perizinan berusaha dan juga fungsi komisi AMDAL digantikan tim uji kelayakan lingkungan hidup, yang mengakibatakan hilangnya unsur masyarakat, organisasi LH, Pakar di bidang terkait (PS 30 PPLH). Kemudian, Perppu Cipta Kerja pada pasal 37 menghilangkan kewajiban Gubernur, Walikota/ Bupati dan Menteri untuk menolak perizinan lingkungan jika tidak dilengkapi UKL UPL. ini tentu akan berdampak kepada pengawasan dan penindakan permasalahan lingkungan yang terjadi akibat industry ekstraktif. Pasal 40 didalam UU Penataan ruang dihapus sehingga izin lingkungan tidak lagi jadi persyaratan usaha dan atau kegiatan usaha. Selama ini, UU ini menjadi salah satu tembok perlindungan lingkungan hidup. Dengan dihilangkannya pasal 40 UU Penataan ruang ini, maka akan mempercepat kerusakan lingkungan hidup yang dilakukan oleh penjahat lingkungan.

Selain permasalahan di sektor perlindungan lingkungan hidup, sektor kehutanan juga menjadi ancaman dari Perppu Cipta Kerja. Pada pasal 15 tidak ada penjelasan mengenai pengertian dan penjelasan teknis soal wilayah strategis yang membuat pengukuhan hutan tak memperbaiki kesalahan sebelumnya, yakni legalitas status dan fungsi kawasan hutan, dengan mendapatkan legitimasi seluruh masyarakat. Perppu Cipta Kerja pada pasal 18 penempatan luas dan fungsi hutan memakai mekanisme pasar akan mendorong konvensi untuk keperluan pembangunan industri lain atas nama PSN. Hal ini menyebabkan akan ada banyak deforestasi atas nama Proyek Strategis Negara. Perppu Cipta Kerja pada pasal 19 perubahan peruntukkan dan perubahan fungsi kawasan hutan ditetapkan oleh Pemerintah Pusat dengan mempertimbangkan hasil penelitian terpadu dan ketentuan mengenai tata cara perubahan peruntukkan dan perubahan fungsi kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dia atur dalam Peraturan Pemerintah hal ini berarti pada pasal 19 tidak perlu adanya persetujuan DPR dalam perubahan peruntukkan dan perubahan fungsi kawasan hutan sehingga memudahkan hilangnya kawasan hutan. Kemudian, Perppu Cipta Kerja pada pasal 29 A, tidak menjawab isu utama perhutanan sosial, karena tidak ada penjelasan kedudukan hukum adat yang menempati areal hutan sehingga aspek keadilan terhadap mereka tak secara tegas dijelaskan disanding kelompok lain. Misalnya masyarakat adat di Provinsi Jambi yang saat ini memanfaatkan hutan sebagai sumber kehidupan, kini terancam tidak dapat memanfaatkan hutan dikarenakan akses yang dibatasi.

Sektor Kehutanan
Mengenai percepatan pengukuhan kawasan hutan negara secara sepihak oleh Pemerintah, hal ini tidak jauh berbeda dengan asas domein verklaring. Kewenangan DPR untuk memberikan persetujuan terhadap usulan perubahan fungsi dan peruntukan Kawasan hutan juga dihapus. Kondisi ini akan menghilangkan mekanisme check and balances terhadap kebijakan yang diambil oleh pemerintah.

Contohnya pada April 2022 Menteri LHK menetapkan KHDPK di Pulau Jawa, KHDPK seluas 1,1 juta hektar ini bukannya melepaskan tanah-tanah dari kawasan hutan, melainkan secara sepihak mengklaim desa, kampung dan tanah-tanah petani sebagai kawasan hutan negara. Kesimpulannya KHDPK hanya benar dalam dua hal yakni: Pertama, membenar-benarkan klaim hutan negara melalui tangan Menteri LHK. Kedua, membenar-benarkan klaim ilegal hutan dan tanah untuk Perhutani. Pendekatan “pragmatisme” tidak akan menyelesaikan masalah secara tuntas, bahkan dapat melahirkan masalah baru yang semakin memperumit konflik agraria.

Selain itu, “keterlanjuran” pada Pasal 110A dan 110B dalam Perppu Cipta Kerja merupakan mekanisme untuk mengakomodasi kegiatan ilegal dalam kawasan hutan oleh korporasi. Setidaknya hingga Agustus 2022, teridentifikasi sebanyak 1.192 subjek hukum yang beraktivitas dalam Kawasan hutan. Dari 1.192 subjek hukum tersebut sebanyak 616 adalah korporasi, dan jenis aktivitas terbanyak adalah perkebunan 857 unit kegiatan dengan total luasan mencapai 3,3 juta hektar. Selanjutnya pertambangan sebanyak 130 unit kegiatan dan 205 unit kegiatan lainnya.

Sektor Pendidikan
Mengatur tentang pelaksanaan perizinan pada sektor pendidikan. Pada paragraf 12 Pendidikan dan Kebudayaan Pasal 65, di mana pelaksanaan perizinan pada sektor pendidikan dapat dilakukan melalui Perizinan Berusaha. Salah satu dampaknya akan membuat kampus untuk berlomba bertransformasi menjadi kampus PTNBH atau modeling corporate university, Negara melepaskan tanggung jawab pembiayaan dan memberikan wewenang kepada kampus untuk mencari pendanaannya sendiri. Disanalah transaksional profesor kehormatan, honoris causa, kemitraan, dosen NIDK menjadi lahan pencarian profit dan bargaining politik. Seperti yang terjadi terhadap kampus-kampus yang telah menerapkan PTNBH. Komersialisasi dan kenaikan biaya pendidikan tinggi yang konsisten setiap tahun; komodifikasi penelitian dan kerja-kerja akademik, karena semakin masif melakukan hilirisasi riset dan link and match dengan korporasi; outsourcing pekerja akademik, pengaturan mengenai kepegawaian dosen maupun non-dosen dalam PTNBH diatur secara seragam menuju “tenaga kontrak” universitas/institut yang mengeksploitasi; dan, manufakturisasi metode pembelajaran dan kurikulum pendidikan yang membungkam kekritisan/kebebasan akademik serta menumbuhkan neo fasis dalam pendidikan.

Kebebasan Sipil
Masalah agraria, ancaman kedaulatan pangan, kerusakan lingkungan hidup, hilangnya kepastian kerja, dan liberalisasi pendidikan sebagaimana yang telah diuraikan dalam persoalan sektoral sebelumnya menunjukkan bahwa Perppu Ciptaker bertentangan secara prinsip dengan UU HAM yang menunjukkan minimnya pemerintah dalam melindungi, menghormati dan memenuhi hak asasi manusia di tengah situasi masyarakat yang baru bangkit dari pandemi. Selain itu terdapat tren pemerintah dalam menghadapi protes dan aksi-aksi masyarakat pada penolakan proyek strategis nasional, pembukaan lahan baru untuk operasi bisnis, menunjukkan metode dan cara yang anti terhadap kebebasan sipil. Ketidakpuasan masyarakat dihadapi dengan acuh menggunakan berbagai bentuk kekerasan, intimidasi dan kriminalisasi oleh penegak hukum atas tuduhan gangguan investasi. Tren kasus-kasus SLAPP (Strategic Litigation Against Public Participations); yang menghalangi perjuangan petani, nelayan, buruh, masyarakat adat, perempuan, masyarakat miskin perkotaan dan pedesaan serta kelompok rentan lainnya juga terus meningkat.

Berdasar Putusan MK 91 pada 25 November 2021, MK menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional dan memerintahkan pembentuk Undang-Undang untuk melakukan perbaikan dengan memenuhi partisipasi bermakna dalam jangka waktu paling lama dua tahun sejak putusan diucapkan. Apabila dalam tenggang waktu tersebut tidak dilakukan perbaikan, maka UU Cipta Kerja dinyatakan inkonstitusional secara permanen. Selain itu, MK juga memerintahkan Pemerintah untuk menangguhkan segala tindakan atau kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas serta tidak dibenarkan pula menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan UU Cipta Kerja.

Meski Pemerintah mendeklarasikan akan tunduk pada putusan MK, praktiknya justru membangkang dengan menerbitkan Perppu Cipta Kerja dan terus menjalankan peraturan pelaksana UU Cipta Kerja yang seharusnya tidak dapat dijalankan. Penerbitan Perppu ini semakin menegaskan watak otoritarian Pemerintahan Joko Widodo dan kegagalan Dewan Perwakilan rakyat dalam melakukan pengawasan terhadap pemerintah. Akibatnya terbit berbagai peraturan perundang-undangan yang menginjak-injak konstitusi, demokrasi dan mengkhianati semangat reformasi seperti UU Minerba, UU IKN, UU Omnibus Law Cipta Kerja beserta peraturan pelaksananya, Revisi UU KPK, Revisi UU Mahkamah Konstitusi, UU KUHP, dan kebijakan-kebijakan lain di sektor pendidikan, transportasi dan lain sebagainya.

Penerbitan Perppu Cipta Kerja terbukti digenting-gentingkan dan dipaksakan keberlakuannya. Perppu Cipta Kerja merupakan strategi Pemerintah menghindari amar Putusan MK 91, yang membangkang konstitusi setelah sebelumnya Presiden dan DPR melawan hukum menyusun UU Cipta Kerja dengan proses yang tertutup, hingga akhirnya diputus inkonstitusional bersyarat dan harus diperbaiki baik formil maupun materiilnya secara partisipatif bermakna.

Manuver politik Presiden seharusnya telah kandas, sebab DPR tidak membahas dan menyetujui Perppu Cipta Kerja pada masa persidangan. Tidak dibahas dan disetujuinya Perppu Cipta Kerja, dengan demikian Perppu Cipta Kerja yang diterbitkan 30 Desember 2022 lalu harus batal demi hukum. Sebagaimana diatur Pasal 22 Undang-Undang Dasar 1945, bahwa: (1) Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang. (2) Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut. (3) Jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan pemerintah itu harus dicabut.

Pasca Perppu Cipta Kerja tidak disetujui oleh DPR pada sidang paripurna, maka kini harusnya tidak ada lagi Perppu atau UU Cipta Kerja, bahkan seluruh aturan pelaksana keduanya pun hapus dengan sendirinya. Sebagaimana diamanatkan konstitusi, maka aturan dan pelaksana kebijakan seperti Bank Tanah, Upah Murah, Proyek Strategis Nasional, Food Estate, Impor Pangan, Pengampunan Bisnis Ilegal di Kawasan Hutan, Kawasan Hutan Dengan Pengelolaan Khusus dll harus segera dihentikan Pemerintah.

Kini keberpihakan Presiden terhadap petani, buruh, nelayan, masyarakat adat, perempuan, masyarakat miskin perkotaan dan pedesaan serta kelompok rentan lainnya kembali diuji, Presiden harus menerbitkan Undang-Undang tentang Pencabutan Perppu Cipta Kerja. Sudah cukup kesombongan Presiden dan DPR yang ugal-ugalan dan sewenang-wenang mengesahkan UU/Perppu Cipta Kerja. Presiden seharusnya sadar bahwa ia tidak pantas dan tidak berhak mengeksploitasi sumber-sumber agraria, mengobral fleksibilitas tenaga kerja, merusak lingkungan, dan menghegemoni kepentingan elit bisnis dan politik yang melanggar berbagai hak asasi petani, buruh, nelayan masyarakat adat, perempuan, masyarakat miskin perkotaan dan pedesaan, serta kelompok rentan lainnya.

Untuk menegakkan kembali konstitusi dan demokrasi serta keselamatan rakyat Indonesia, kami dari Gerakan Suara Tuntutan Rakyat Jambi terdiri dari berbagai organisasi petani, perempuan, mahasiswa, seniman dan masyarakat miskin perkotaan dan perdesaan, serta kelompok rentan lainnya mendesak:

TOLAK PERPU CIPTA KERJA
STOP KRIMINALISASI DAN INTIMIDASI TERHADAP PETANI, BURUH, PEREMPUAN, AKTIVIS DAN MAHASISWA
LAKSANAKAN REFORMA AGRARIA SEJATI
HENTIKAN KEBIJAKAN EKSPLOITATIF DI PROVINSI JAMBI
TINDAK TEGAS PELAKU KEJAHATAN KEMANUSIIAN (HAM) DI PROVINSI JAMBI
HENTIKAN KOMERSIALISASI DI DUNIA PENDIDIKAN
JAMINAN KESEJAHTERAAN TERHADAP BURUH
STOP EKSPLOITASI KELOMPOK RENTAN

#TOLAKPERPUTIPUTIPU #ULTIMATUMRAKYAT #JAMBIMENOLAKPERPUCIPTAKERJA

GESTUR JAMBI:
WALHI JAMBI – KPA JAMBI – SPI – IHCS JAMBI – PPJ – STK – LSMM BERANDA PEREMPUAN – GEMA PETANI – LMND – STT- SPB – MAPALA GITASADA – RAMBU HUOSE – KAMISAN JAMBI – GMNI KOMSAT HUKUM UNJA – GMNI CABANG JAMBI – PMII UNJA – HMI UNJA – PMKRI JAMBI – AJI JAMBI – EXTINCTIONREBELLION JAMBI – IMH JAMBI – HIMATOBA – GUSDURIAN JAMBI – SAROHA JAMBI – MAHASISWA MERAH – MAPALA OASE – MAPALA SIGINJAI – MAPALA SUTHA – MAPALA DIMITRI – MAPALA CALDERA – HIMAPASTIK MAKOPALA SWAT- LPM PATRIOTIK – KOHATI JAMBI – BEM UIN SUTHA – FPMJ – FSMJ – JURNAL MAHASISWA – FMN JAMBI – GMKI – HMJPET

 

GESTUR JAMBI
Risma Pasaribu-082179917158

 

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Posts