Perempuan Jawa: Menggali Kembali Sejarah yang Terlupakan

Oleh Herma Yulis*

SEJARAWAN Inggris, Peter Carey dan Vincent Houben memberikan paparan yang menarik tentang bagaimana peran perempuan Jawa pada abad ke-18 hingga awal abad ke- 19. Perempuan priyayi dan perempuan keluarga keraton di Jawa Tengah Selatan tidak hanya terlibat dalam bidang-bidang yang biasa dianggap sebagai dunia perempuan, tetapi juga menembus dunia laki-laki seperti politik dan militer.

Rangkuman seputar kisah perempuan perkasa dan inspiratif itu dituangkan dalam buku Perempuan-Perempuan Perkasa di Jawa Abad XVIII-XIX. Selama ini, nama Raden Ajeng Kartini menjadi ikon dan inspirator emansipasi perempuan di Tanah Air. Namun, ternyata perempuan hebat itu tidak hanya Kartini saja. Dalam buku ini, penulis mengungkapkan bagaimana perempuan di Jawa pada masa lalu rupanya memiliki peran penting di berbagai bidang kehidupan.

Selain itu, buku ini juga membantah sosok perempuan Jawa yang sering digambarkan dalam sastra Kolonial Hindia Belanda. Sastra Kolonial seringkali menampilkan pola dasar tipe-tipe masyarakat Nusantara sebagai “bangsa yang paling lembut di dunia”. Suatu masyarakat yang terkenal amat halus dan menurut. Pandangan tersebut sangat menonjol dalam roman dan sandiwara karya pengarang kolonial Belanda pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke 20, terutama yang mengisahkan perempuan Jawa dari kalangan elite atau kaum priyayi. (halaman 1)

Prajurit Estri

Perempuan Jawa di masa lalu selain menjalani kehidupan sebagai pendamping suami dan merawat anak-anak, ada pula sebagian yang sudah terlibat dalam urusan keprajuritan.

Pada masa pemerintahan Hamengkubuwono II di Yogyakarta dan Pakubuwono V di Surakarta, dilakukan perekrutan perempuan untuk ditempa menjadi prajurit yang tangguh dan mumpuni. Mereka yang terpilih menjadi prajurit perempuan disebut sebagai prajurit estri.

Dalam kesehariannya prajurit estri dikenal sebagai pengawal raja yang tangguh, lihai mengendarai kuda, serta mahir menggunakan bermacam jenis senjata. Bahkan, ibu tiri Pangeran Diponegoro, Ratu Ageng, pernah menjabat sebagai komandan pertama Korps Srikandi Kesultanan.

Van Goens memperkirakan. Korps terdiri atas 150 perempuan muda, dan mereka bukan hanya dilatih memainkan senjata, melainkan juga menari, menyanyi, dan memainkan alat musik. Di antara tarian itu adalah Retno Tinandhing, yang diilhami gerak pertempuran prajurit estri. Hingga kini tarian ini masih digelar di Keraton Surakarta. (halaman 19)

Raden Ayu Yudokusumo

Perempuan perkasa satu ini adalah putri Sultan Yogyakarta yang diakui memiliki kemampuan mengatur strategi perang dan berotak cerdas. Kehebatannya terbukti selama pecah Perang Jawa. Ketika itu, dari markasnya di Muneng hingga ke sebelah timur kali Madiun, ia mengatur penyerangan terhadap masyarakat Tionghoa di Ngawi pada 17 September 1825.

Kemarahan Raden Ayu sebenarnya juga dipicu oleh utang suaminya yang menumpuk kepada cukong Tionghoa di Jawa Timur, dan peran orang Tionghoa penguasa gerbang cukai (bandar) yang menindas selama dasawarsa sebelum perang Jawa. Aksi tersebut membuat Raden Ayu Yudokusumo mendapatkan julukan sebagai pejuang yang garang.

Dia juga menjadi satu di antara beberapa panglima kavaleri senior Diponegoro di mancanagara (wilayah jauh) Timur, dan kelak bergabung dengan ipar Sang Pangeran, Raden Tumenggung Sosrodilogo di Jipang-Rajegwesi (Brojonegoro) dalam perlawanan terhadap Belanda di pesisir utara dari 28 November 1827 sampai 9 Maret 1828. (halaman 29)

Nyai Ageng Serang

Raden Ayu Serang juga dikenal sebagai Nyi (Nyai) Ageng Serang. Dia dilahirkan di Desa Serang, berjarak 40 kilometer sebelah utara Surakarta pada tahun 1762. Nama kecilnya adalah Raden Ajeng Retno Kursiah Edi. Setelah menikah namanya berganti menjadi Bendoro Raden Ayu Kustiyah Wulaningsih Retno Edi.

Setelah meletus perang Jawa, Raden Serang turut serta angkat senjata demi membantu putranya, Pangeran Serang II, yang disebut-sebut dalam laporan militer Belanda telah memimpin pasukan berkekuatan 500 orang di kawasan Serang – Demak. Babad Diponegoro versi Surakarta mengisahkan, Pangeran Serang II datang sendiri ke markas Dipengoro di Selarong pada awal Agustus 1825 untuk menerima surat pengangkatan (piagem) sebagai “Senopati Perang Sabil” di distrik gunung kapur (gunung kendeng) – termasuk areal Teras – Keras, Waru dan Grobogan – Wirosari, serta kota pesisir seperti Lasem, Rembang, dan Juwana. (halaman 12)

Melalui buku ini penulis hanya menyajikan pengantar singkat tentang sejarah perempuan dan kontribusi mereka dalam kehidupan sehari-hari di keraton Jawa tengah selatan pada abad ke- 18 dan awal abad ke-19. Meski demikian, buku tipis setebal 114 halaman ini, berhasil menunjukkkan bukti penting bahwa citra Raden Ayu yang lembut dalam literatur kolonial Belanda membutuhkan revisi radikal.

Sebab, perempuan kelahiran keluarga kerajaan di Jawa tengah selatan, setidaknya sampai akhir Perang Jawa, menikmati kebebasan dan kesempatan untuk bertindak atau mengambil inisiatif pribadi yang jauh lebih luas daripada saudara perempuan mereka pada bagian akhir abad ke- 19. Kita hanya perlu membandingkan kisah Raden Ayu Serang pada bagian awal abad dengan seorang Raden Ajeng Kartini pada ujungnya. (halaman77)

Membaca buku ini kita seperti diajak mengungkap sisi lain dari sejarah perempuan Jawa yang selama ini terlupakan atau tidak banyak diperhatikan. Ini menunjukkan betapa pentingnya peran perempuan di masa lalu dan bagaimana mereka mampu mengambil inisiatif dan bertindak secara mandiri dalam berbagai bidang, meski pada masa itu masyarakatnya masih sangat patriarki.

Informasi penting ini dapat menjadi bahan rujukan dan inspirasi bagi para sejarawan lain untuk melakukan kajian lebih utuh dengan pendekatan baru atas sejarah Indonesia dari pertengahan abad ke-18 sampai era modern. Buku ini juga memperlihatkan bagaimana perempuan Jawa telah memiliki peran yang sangat penting dalam evolusi bangsanya selama berabad-abad, dan layak diakui dan dihargai dalam sejarah Indonesia.

Judul buku      : Perempuan-Perempuan Perkasa di Jawa Abad XVIII-XIX

Penulis             : Peter Carey dan Vincent Houben

Penerbit           : Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta

Tahun terbit    : Cetakan ketiga, Februari 2018

Tebal buku      : xx + 114 halaman

ISBN                : 978-602-6208-16-3

 

*Herma Yulis, (pencinta buku, tinggal di Batanghari)

Tulisannya berupa cerpen, artikel, opini, esei, dan resensi buku pernah dimuat di koran Kompas, Koran Tempo, Nova, Suara Pembaruan, Seputar Indonesia (SINDO), Jurnal Nasional (Jurnas), Media Indonesia, Kedaulatan Rakyat, Suara Pembaruan, Suara Merdeka, Majalah Mata Baca, Majalah Medium, Jambi Independent, Minggu Pagi, Jurnal Seloko, Kilasjambi.com, dan Scientific Journal. Tahun 2016, bersama Puteri Soraya Mansur menerbitkan buku kumpulan cerpen Among-Among

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Posts