Musik dan Peradaban Manusia

Jon Afrizal*

“One good thing about music
When it hits fell no pain” Bob Marley

Musik adalah kebutuhan bagi manusia. Atau, mari kita luaskan artiannya; seni yang ada di dalam musik adalah pengejawantahan manusia.

Adalah sifat dasar manusia untuk menyenangi keindahan. Tentu kita dapat berdebat panjang lebar tentang ini.

Perdebatan sepanjang usia peradaban manusia. Dan tetap saja angin yang berdesir di daun telinga akan mengeluarkan bunyi.

Bunyi yang indah, sebagai terjemahan dari musik yang diciptakan oleh alam. Alam adalah bentang keindahan.

Air terjun memberikan bunyi yang indah ketika air yang berada di bagian atas jatuh perlahan-lahan hingga ke bagian bawah.

Ombak berdebur menyuarakan rindunya laut terhadap darat. Disusul cericit suara burung yang melintasi udara.

Keindahan ciptaan Sang Pencipta.

Sebagai bangsa Timur yang memiliki ke-khas-an sendiri, banyak langgar (masjid kecil) yang mengajarkan tentang agama Islam. Dimulai dengan adzan yang dilagukan dengan irama yang baik, untuk memanggil mereka yang seagama untuk salat Magrib.

Setelah salat berjamaah, maka Pak Guru mengumpulkan beberapa orang anak-anak. Untuk duduk membentuk lingkaran kecil.

Mereka akan membuka Al-Quran masing-masing. Lalu membaca Al-Quran dengan nada-nada tertentu. Dengan nada panjang dan pendek, seiring para murid mengatur pernafasan mereka.

Degupan jantung yang teratur adalah musik yang diciptakan tubuh. Sangat teratur, seperti ketukan drum yang dipukul.

Sebuah prasa berbahasa Inggris menyebutkan, “My heart beating like a drum.” Sehingga, jika bunyi degupan itu terhenti, maka hanya ada dua hal yang dialami si pemilik jantung; koma atau mati.

Musik, keindahan, manusia, dan Sang Pencipta. Musik adalah seni. Seni adalah cara. Cara adalah tindakan manusia. Dan, manusia adalah peradaban itu sendiri.

Lingkaran yang tidak akan boleh putus, selayak bunyi jantung dan denyut nadi di tangan anda. Selayak rantai makanan di alam bebas.

Mungkin, ada yang tidak menyukai musik ciptaan manusia. Tetapi, ia tetap mendenyutkan nadi dengan teratur.

Rumi, sang tokoh Sufi, akan bicara tentang seruling yang mengalun seiring tarian mereka. Sebagai cara bagi penganut sufi untuk menyatakan cintanya kepada Sang Pencipta.

Sebentar, jika ada dari anda yang ingin berdebat. Sebaiknya buatlah tulisan lain saja. Sebab kehidupan bukan untuk diperdebatkan.

Menikmati hidup adalah seni dari hidup itu sendiri. Sama halnya dengan mentertawai hidup.

Tertawa memberikan suara yang khas. Setiap manusia memiliki ciri tersendiri. Sama seperti sidik jari setiap orang. Tak pernah sama.

Sehingga, jika kita bicara mengenai “karya musik”, tentu saja adalah sesuatu yang memiliki ke-khas-an tersendiri.

Plagiat dalam karya musik adalah suatu aib. Sama halnya dengan karya tulis, yang tidak memperbolehkan “seni” copy paste.

Apapun bentuk dari penjiplakan, adalah kesalahan. Banyak dari karya musik yang bermasalah terkait jiplak-menjiplak ini.

Tetapi, musik, kini, adalah industri. Sama seperti media, yang juga telah meng-industri.

Sebuah “pabrik” yang baik, tetap akan memiliki quality control. Produk yang dihasilkan tentunya juga baik.

Kita kemudian akan bicara masalah mutu. Sama seperti tulisan yang baik, tentunya juga harus berkualitas.

Ada standar yang tertulis dan tidak tertulis yang harus ditaati setiap orang yang ingin menciptakan karya.

Pada akhir ’80-an hingga awal tahun ’90-an lalu, tersebutlah duo penyanyi bernama “Milli Vanilli”. Duo Fab Morvan dan Rob Pilatus yang mencetak banyak hits di tangga lagu dunia.

Selain pintar menyanyi, mereka pun pintar modern dance. Hingga Grammy Award untuk Best New Artist mereka dapatkan di tahun 1990.

Namun, pada sebuah pertunjukan live di MTV, di tanggal 21 Juli 1989, terungkaplah hal-hal yang ditutup-tutupi selama ini.

Petaka bagi duo asal Munich, Jerman ini, komputer yang biasanya mengeluarkan suara merdu mereka, tiba-tiba “hang”. Dan, tuntutan hukum atas “lip-sync” yang mereka lakukan harus dijalani.

Kepercayaan publik, itu yang harus dipegang setiap orang yang ingin menciptakan karya. Sehingga, meskipun orang-orang yang selama ini mengisi suara Milli Vanilli telah menyebut nama mereka sebagai “The Real Milli Vanilli”, publik telah kehilangan selera. Karena merasa tertipu.

Filsuf dari Jerman, Nietzsche, pernah berkata, “Sometimes people don’t want to hear the truth because they don’t want their illusions destroyed.”

Ini sangat terkait dengan kondisi per kondisi dalam sejarah peradaban kita. Sebab, sesuatu yang indah adalah hak dan kewajiban setiap manusia.

Agama, kepercayaan dan keyakinan adalah juga keindahan. Sebagai cara untuk memuja “Ether” yang dianggap berkuasa atas kehidupan

Terlalu jauh bagi kita untuk membenci siapapun yang menyukai jenis musik apapun. Sebab, keindahan adalah manusiawi adanya.

Pada era ’60, di Indonesia, terdapat istilah “musik ngak ngik ngok”. Yakni musik, yang dianggap oleh Presiden Soekarno, sebagai sesuatu yang tidak “Noesantara”.

Maklumlah, anak muda tetaplah berjiwa muda, enerjik dan penuh cinta. Saat itu, seluruh dunia sedang keranjingan The Beatles, quartet asal Liverpool, Inggris.

Koes Bersaudara, yang dianggap sebagai semangat ” musik ngak ngik ngok” terpaksa harus berhadapan dengan tahanan. Hingga, terciptalah lagu “Di Dalam Bui” itu.

Di era pemerintahan Orde Baru, pemerintah pun pernah ikut campur di dunia seni. Sewaktu itu, ada istilah “Musik Cengeng”.

Memang, para penganut paham ini tidak mengalami nasib seperti Koes Bersaudara. Tetapi, tetap saja “warning” terjadi. Satu dari mereka adalah Obbie Messakh, si pencipta “Kisah Kasih Di Sekolah”.

Saat ini? Ada begitu banyak jenis musik di dunia ini. Dan, ada begitu banyak saluran untuk menyuarakannya.

Karena, sebagai sesuatu yang khas, sudah tentu ada yang ingin menikmatinya. Mungkin tidak di sini, tetapi di belahan dunia lainnya.

Dan, sebagai sebuah industri, tentu harus meng-global. Memahami tata cara globalisasi, yang tidak melulu penuh dengan “kunjungan budaya” bersifat program pameran saja.

Sebab, globalisasi adalah budaya. Budaya untuk menjadi “satu dunia” tanpa sekat. Dan, kita semua harus memahami itu. ***

* Jurnalis TheJakartaPost

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Posts