KILAS JAMBI – Diskriminasi atas Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) kembali mengalami eskalasi di beberapa tempat; di Kabupaten Sintang (Kalimantan Barat), Parakansalak Kabupaten Sukabumi (Jawa Barat), dan Kabupaten Gowa (Sulawesi Selatan).
Pada tanggal 26 Januari 2023, Forkopimda Sintang menerbitkan kesepakatan yang meminta Pemerintah Kabupaten Sintang agar menerbitkan Surat Edaran Bupati yang melarang kegiatan-kegiatan Ahmadiyah. Sementara, pada tanggal 2 Februari 2023, Forkopimda Sukabumi menyatakan akan menghentikan pembangunan dan menyegel tempat ibadah Ahmadiyah di Parakansalak. Di tanggal yang sama, terpantau spanduk-spanduk penolakan kegiatan Ahmadiyah di beberapa titik di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan.
Merespons peristiwa-peristiwa tersebut, SETARA Institute:
1) Mengecam keras terjadinya berbagai diskriminasi dan intoleransi atas Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), terutama yang dilakukan oleh Forkopimda. Hak atas Kebebasan Beragama/Berkeyakinan (KBB) JAI dijamin oleh UUD 1945, terutama Pasal 28E ayat (1) dan (2) serta Pasal 29 ayat (2). Oleh karena itu, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (termasuk Forkopimda) harus proaktif melindungi dan menjamin hak konstitusional tersebut, alih-alih merestriksi dan mendiskriminasi mereka.
2) Mendesak Presiden untuk menunjukkan aksi nyata, bukan sekadar kata-kata. Presiden harus memastikan bahwa arahannya dalam Rakornas Pemda dan Forkopimda, 17 Januari 2023 lalu, berkenaan dengan jaminan UUD 1945 mengenai hak atas beragama dan beribadah, bebar-benar dilaksanakan oleh Pemda, Forkopimda, dan seluruh aparatur pemerintahan untuk tegaknya jaminan Konstitusi bagi seluruh warga negara, termasuk kelompok minoritas agama dan kepercayaan apa pun.
3) Mendesak Menteri Dalam Negeri untuk menegur Pemerintah Kabupaten Sukabumi yang bertindak inkonstitusional melalui penerbitan peraturan diskriminatif dan penyegelan tempat ibadah Ahmadiyah. Dalam konteks yang sama, Mendagri mesti menegur Forkopimda Kabupaten Sintang dan mendesak Bupati untuk tidak mengeluarkan Surat Edaran apapun yang mendiskriminasi JAI sebagai warga negara. Pemerintah Daerah Negara Pancasila tidak boleh bertindak diskriminatif dan/atau tunduk pada kelompok intoleran.
4) Mendorong aparat kepolisian di Kabupaten Gowa untuk mencabut dan menertibkan spanduk-spanduk yang memuat hasutan dan/atau ujaran kebencian atas JAI. Pembiaran spanduk-spanduk tersebut akan memantik gangguan keamanan dan merusak kohesi sosial. Preseden terdahulu menunjukkan bahwa pembiaran terhadap spanduk-spanduk penolakan tersebut dapat menyebabkan eskalasi konflik sosial, termasuk dalam bentuk perusakan tempat ibadah.
5) Mendesak Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah agar senantiasa berpegang teguh pada Pancasila dan Konstitusi, serta tidak menjadikan peraturan di luar peraturan perundang-undangan, termasuk fatwa MUI, sebagai dasar pengambilan kebijakan.
6) Menyampaikan panggilan moral (moral call) bagi para politisi, nasional atau lokal, untuk tidak menjadikan sentimen anti-minoritas sebagai alat politik untuk mendapatkan insentif elektoral dari kelompok mayoritas. Pada konteks yang sama, SETARA Insitute mendesak KPU, Bawaslu, dan seluruh elemen masyarakat untuk mendorong Pemilu berkualitas dengan menolak politisasi identitas.
[Siaran Pers SETARA Institute (4 Februari 2023)]Narahubung:
Syera Anggreini Buntara, Peneliti KBB SETARA Institute, 0851-6100-0197
Halili Hasan, Direktur Eksekutif SETARA Institute, 0852-3000-8880