Namaku Dahlia: Menginspirasi Melalui Koperasi Sederhana

Oleh Herma Yulis*

MUHAMMAD YUNUS, pemenang hadiah nobel perdamaian tahun 2006, berhasil membangun Grameen Bank atau “bank pedesaan” dalam bahasa Bengali. Kini, Grameen Bank tumbuh menjadi bank berskala nasional yang melayani masyarakat miskin di Bangladesh. Dari 8 juta nasabahnya, 97 persen di antaranya adalah perempuan.

Memberikan prioritas kepada perempuan sebagai penerima pinjaman bukan tanpa alasan. Dalam buku Bisnis Sosial, Sistem Kapitalisme Baru yang Memihak Kaum Miskin (2011), Muhammad Yunus menegaskan bahwa perempuan mempunyai dorongan lebih kuat untuk mengatasi kemiskinan. “Kami sadar bahwa meminjamkan uang kepada perempuan di pedesaan miskin Bangladesh adalah cara yang lebih berdaya guna dalam memerangi kemiskinan di masyarakat secara keseluruhan.”

Rasanya apa yang dikatakan Yunus ini sangat relevan dengan kisah perempuan-perempuan hebat di Dusun Lubuk Beringin, Kabupaten Bungo, Provinsi Jambi. Peran perempuan Dusun Lubuk Beringin dalam menggerakkan roda perekonomian masyarakat memang begitu terasa. Meski pun belum sampai memiliki bank sendiri – sebagaimana yang dicapai perempuan Bangladesh – namun perempuan Dusun Lubuk Beringin telah memiliki sebuah koperasi simpan pinjam, yang mereka namakan koperasi Dahlia. Melalui lembaga ini mereka berkolaborasi mencari solusi mengatasi persoalan ekonomi masyarakat di dusun tersebut.

Syafrizaldi, menuliskan kisah inspiratif tersebut dalam buku berjudul Namaku Dahlia, Kisah Kelompok Perempuan di Dusun Lubuk Beringin. Buku ini diterbitkan oleh PT. Gramedia Pusataka Utama pada tahun 2015.

Berawal dari Kelompok Wirid Yasinan

Koperasi Dahlia tidak tumbuh dan berkembang dari kelompok yang telah mapan. Namun, kehadirannya berawal dari obrolan dan diskusi santai antaranggota wirid yasinan. Setiap Kamis malam, masyarakat Dusun Lubuk Beringin mengadakan kegiatan wirid yasinan. Pesertanya tidak dibatasi usia dan jenis kelamin. Siapa saja yang berkesempatan boleh bergabung pada kegiatan tersebut.

Dari kegiatan rutin ini, kemudian terjadi perbincangan yang mengarah pada bagaimana memperbaiki perekonomian keluarga. Terutama di kalangan ibu-ibu peserta yasinan. Menyikapi hal itu, kemudian sebanyak 23 orang perempuan di Dusun Lubuk Beringin berinisiatif menggelar kegiatan yasinan pada Jumat sore, yang kemudian dilanjutkan dengan kegiatan arisan. Yasinan Jumat sore dikhususkan untuk kalangan perempuan saja.

Hal itu mereka lakukan hanya untuk membuktikan bahwa perempuan juga mampu melakukan kegiatan ekonomi yang bersumber dari kesadarannya sendiri. Pertemuan-pertemuan setelah wirid yasinan Jumat sore inilah yang kemudian melahirkan Dahlia. Kesepakatan itu dibuat secara aklamasi oleh perempuan yang terlibat. (halaman 23)

Kelompok perempuan ini sepakat membentuk koperasi simpan pinjam dengan melakukan penarikan iuran simpanan pokok sebesar 5 ribu rupiah dari masing-masing anggota. Sedangkan iuran wajib bulanan ditetapkan sebesar seribu rupiah. Dengan modal kecil ini mereka mulai menapaki perjalanan mengelola koperasi Dahlia yang kelak menuai kesuksesan.

Dengan modal awal yang minim tersebut membuat mereka menunda pemberian pinjaman kepada anggota. Setahun pertama pengurus hanya fokus mengumpulkan iuran dan disimpan. Baru pada tahun berikutnya, tepatnya pada tahun 2001, ketika modal mereka mencapai 500 ribu rupiah, mereka baru bisa memberikan pinjaman kepada anggota.

Nurasiah, ketua Koperasi Dahlia menceritakan bagaimana rumitnya mengelola kelompok kecil dengan modal kecil ini. Banyak di antara anggota kelompok pada masa itu yang menunggak uang iuran. Berbagai alasan digunakan sebagai modus untuk tidak ikut membayar iuran, ada yang beralasan uangnya ketinggalan di rumah, tidak ada simpanan, bahkan ada yang tidak berani datang. (halaman 41)

Dinamika tersebut akhirnya bisa diselesaikan dengan melakukan pendekatan yang memberikan win-win solution. Pengurus sempat mendatangi anggota yang menunggak, tapi itu tak membuahkan hasil. Kemudian diambil kebijakan bahwa anggota yang bersangkutan bisa menambah pinjaman lagi, dengan pinjaman baru mereka bisa melunasi cicilan lama dan meneruskan cicilan baru dengan jangka waktu lebih panjang dan cicilan yang lebih ringan.

Siapa yang Mempengaruhi Munculnya Dahlia?

Dalam buku ini, Syafrizaldi juga mengungkapkan beberapa pendapat terkait siapa yang mempengaruhi kemunculan kelompok Dahlia. Selain berawal dari diskusi kelompok perempuan peserta wirid yasinan dan arisan, tentunya ide-ide tersebut sebelumnya juga mendapatkan masukan dari banyak pihak. Sehingga kemudian mengkristal menjadi kelompok Dahlia.

Ada beberapa pandangan di Dusun Lubuk Beringin terkait siapa yang mempengaruhi munculnya koperasi Dahlia. Pandangan pertama, beranggapan bahwa Dahlia muncul dan didorong menjadi sebuah kelompok untuk meningkatkan peran perempuan dalam Implementasi Integrated Conservation and Development Project (ICDP) pada April 1999. Praimplementasi proyek ini melibatkan WWF Indonesia Programme dan KKI Warsi. Selain menjalankan kegiatan untuk konservasi keanekaragaman hayati di daerah penyangga kawasan konservasi, ketika itu ICDP juga mencoba memfasilitasi pengembangan kelompok perempuan di Dusun Lubuk Beringin.

Pandangan kedua, beranggapan bahwa Dahlia lahir atas kekecewaan kaum perempuan di Dusun Lubuk Beringin karena pengelolaan proyek yang dikelola oleh kelompok laki-laki selalu tak membuahkan hasil. Mereka beranggapan bahwa pengelolaan dana bantuan dari berbagai proyek – termasuk proyek pemerintah – selama ini tidak berjalan sesuai dengan apa yang diharapkan. Konflik horizontal justru mewarnai pelaksanaan proyek-proyek tersebut. Salah satu contohnya adalah pelaksanaan IDT.

Program IDT masuk ke Lubuk Beringin pada tahun 1995. Salah satu proyek IDT yang dikembangkan kemudian adalah Usaha Ekonomi Desa Simpan Pinjam (UEDSP). Pada 1999 hingga 2000, UEDSP mulai diimplementasikan di dusun ini. Untuk pembentukan kelompok hanya merujuk pada Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) yang dibentuk pada masa awal implementasi IDT.

Dana pun mulai dicairkan kepada KSM. Namun, sepanjang tahun 1999 dan 2000 itu timbul persoalan terkait pengelolaan pendanaan karena banyak terjadi tunggakan. Persoalan tunggakan itu sebenarnya adalah persoalan bawaan dari proyek IDT di masa awal, dan kedatangan UEDSP semakin memperuncing keadaan. Hingga pada akhirnya, semua pihak menyerah karena tidak menemukan titik temu penyelesaian permasalahan itu.

Kegagalan UEDSP kemudian dianggap sebagai kegagalan kaum laki-laki dalam mengelola pendanaan. Pada titik inilah kesadaran kaum perempuan muncul. Pengakuan beberapa orang perempuan yang terlibat pada awal pembentukan Dahlia, kesadaran ini muncul karena kaum perempuanlah yang utama sekali merasakan  kebangkrutan rumah tangganya secara ekonomi. Pada posisi ini, muncul kesadaran bahwa kelompok perempuan harus mengambil alih pengelolaan pendanaan dari berbagai proyek. Dahlia memang belum lahir pada masa itu, namun semangatnya sudah mulai menjamur, ketika pengelolaan proyek UEDSP sudah sampai pada nadir kekecewaan banyak perempuan atas pengelolaan dana yang dilakukan kaum laki-laki. (halaman 31)

Pandangan ketiga, sebagian lagi beranggapan bahwa Dahlia menjadi momentum rujuk dusun, di mana kaum laki-laki secara sadar memahami bahwa perempuanlah yang seharusnya menjadi pengendali keuangan. Ibarat gayung bersambut, kekecewaan dan kebangkitan semangat kaum perempun disambut dengan kesadaran kaum laki-laki. Kondisi ini melahirkan sebuah peluang adanyaa dialog antara keduanya. Dialog-dialog inilah yang kemudian membangun semangat bersama orang Lubuk Beringin untuk keluar dari cap sebagai dusun miskin, terbelakang, dan terpencil. (halaman 33)

Terus Tumbuh dan Mendapatkan Modal

Seiring perjalanan waktu, kemudian banyak lembaga yang melirik dan memberikan bantuan penyertaan modal untuk mengembangkan Dahlia. Pada awal 2002, ICDP memberikan penyertaan modal sebesar 15 juta rupiah. Jumlah yang tak sedikit bagi pengurus Dahlia pada masa itu. Modal ini kemudian mereka alokasikan sebesar 7 juta untuk kegiatan simpan pinjam dan sisanya sebesar 8 juta rupiah digunakan untuk pembelian peralatan pesta yang akan disewakan.

Selain mendapatkan penyertaan modal dari ICDP, Dahlia juga mendapatkan beberapa bantuan dana dari sejumlah program pemerintah dan lembaga non profit. Antara lain berasal dari Program Upaya Peningkatan Pendapatan Keluarga (UP2K), modal Program Pengadaan Makanan Tambahan Anak Sekolah (PMT AS), modal dari Alokasi Dana Desa (ADD), modal dari Dinas Koperasi Kabupaten dan Provinsi, dan penyertaan modal dari Pundi Sumatera.

Melalui Multistakeholder Forest Program (MFP) tahap 1, tahun 2007, Pundi Sumatera mendorong peningkatan modal kepada Dahlia dengan penyertaan modal sebesar 115 juta rupiah. Selanjutnya, November 2007, Pundi Sumatera memberikan pinjaman dana sebesar 30 juta rupiah kepada Dahlia. Dana pinjaman ini dikelola atas kerja sama yang dibangun dengan dukungan Forest Governance Program (FGP) Kemitraan.

Penyertaan modal dan pinjaman itu membuat Dahlia mampu mendanai berbagai kebutuhan pinjaman anggota. Walaupun tidak cukup besar, tapi dana ini menjadi angin segar bagi Dahlia untuk mengembangkan sayapnya lebih lebar lagi. (halaman 58-59)

Dengan ketersediaan modal yang cukup, Dahlia mulai mengembangkan diri menjadi sebuah koperasi yang efektif dalam memberikan solusi ekonomi lokal di lingkungan mereka. Dahlia mengembangkan dua jenis tabungan, yaitu tabungan sosial dan tabungan komersial. Tabungan sosial merupakan tabungan tanpa bunga yang hanya berfungsi sebagai penyimpan dan pengelola dana, sedangkan tabungan komersial memberikan imbal jasa sebesar 0,3% dari total tabungan perbulan. Koperasi ini juga memberikan pinjaman kepada anggotanya dengan bunga yang sangat rendah, sehingga anggota Dahlia dapat memanfaatkan pinjaman tersebut untuk memperbaiki kondisi ekonomi mereka.

Dahlia menjadi contoh nyata bahwa dengan kreativitas, ketahanan, dan konsistensi yang kuat, sebuah koperasi sederhana dapat menjadi powerfull dalam memberikan solusi ekonomi. Banyak pelajaran positif yang dapat diambil oleh pembaca dari buku ini, misalnya tentang pentingnya kebersamaan, kreativitas, dan ketahanan dalam mengembangkan usaha. Sehingga, buku ini sangat layak untuk dibaca bagi mereka yang ingin mempelajari tentang koperasi dan pengembangan ekonomi lokal.

 

Judul buku      : Namaku Dahlia, Kisah Kelompok Perempuan di Dusun Lubuk Beringin

Penulis             : Syafrizaldi

Penerbit           : PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta

Tahun terbit    : Cetakan pertama, 2015

Tebal buku      : 180 halaman

ISBN               : 978-602-03-1712-0

 

*Herma Yulis, (pencinta buku, tinggal di Batanghari)

Tulisannya berupa cerpen, artikel, opini, esei, dan resensi buku pernah dimuat di koran Kompas, Koran Tempo, Nova, Suara Pembaruan, Seputar Indonesia (SINDO), Jurnal Nasional (Jurnas), Media Indonesia, Kedaulatan Rakyat, Suara Pembaruan, Suara Merdeka, Majalah Mata Baca, Majalah Medium, Jambi Independent, Minggu Pagi, Jurnal Seloko, Scientific Journal, dan Kilasjambi.com. Tahun 2016, bersama Puteri Soraya Mansur menerbitkan buku kumpulan cerpen Among-Among.

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Posts