Kasus pembunuhan pembela hak asasi manusia (HAM) Munir merupakan pelanggaran HAM berat, kata Amnesty International Indonesia hari ini memeringati 18 tahun kematian Munir dan menanggapi pembentukan tim ad hoc penyelidikan HAM berat oleh Komnas HAM.
“Semua bukti jelas menunjukkan kasus ini merupakan serangan yang ditujukan kepada warga sipil yang bekerja sebagai pembela HAM saat itu khususnya Munir. Serangan itu sistematik karena ada unsur kebijakan pemufakatan jahat dari pihak tertentu di dalam negara, khususnya Badan Intelijen Negara (BIN) dan maskapai penerbangan negara. Serangan itu menghilangkan nyawa Munir dan telah mengancam keselamatan pembela HAM lainnya,” kata Usman Hamid, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia.
“Komnas HAM memang harus segera menetapkan kasus Munir sebagai pelanggaran HAM berat dalam kategori kejahatan kemanusiaan, tanpa lagi-lagi menunda,” tambah Usman.
Laporan akhir Tim Pencari Fakta (TPF) Munir di tahun 2005 menunjukkan kematian Munir diduga berkaitan dengan aktivitasnya sebagai pembela HAM, termasuk kritiknya kepada badan negara seperti BIN. Dalam rekomendasinya, TPF mendesak Presiden untuk membentuk Tim Investigasi Independen serta memerintahkan Kapolri melakukan penyelidikan mendalam terhadap lima orang, termasuk di antaranya Kepala BIN, terkait kemungkinan peran mereka dalam pemufakatan jahat terhadap Munir.
Nyatanya, hanya tiga orang yang telah diadili terkait kasus Munir, semuanya pegawai maskapai Garuda Indonesia. Sementara, orang-orang yang diduga kuat menjadi pelaku utama yang bertanggung jawab atas pembunuhan Munir masih belum diproses secara hukum.
Mantan agen Badan Intelijen Negara (BIN) Muchdi Purwopranjono memang pernah diadili pada 2008, tetapi ia dinyatakan tidak bersalah. Lalu pada September 2016, Presiden Joko Widodo berjanji di hadapan publik untuk menyelesaikan kasus Munir.
Hingga kini, pemerintah Indonesia tidak pernah mempublikasikan Laporan TPF tersebut. Hal itu justru melanggar Keputusan Presiden No. 111 Tahun 2004 tentang Pembentukan Tim Pencari Fakta Kasus Meninggalnya Munir, yang mengamanatkan pemerintah untuk mengumumkan Laporan TPF kepada masyarakat.
“Ada masalah serius di dalam negara ini terutama soal penuntasan pelanggaran HAM berat dan pelanggaran HAM masa lalu. Korban dan keluarganya seringkali tidak didengar, lalu bagaimana mereka bisa mendapatkan keadilan?” sebut Usman.
Pada 7 September 2020, Komite Aksi Solidaritas untuk Munir (KASUM) menyampaikan opini hukum atas kasus meninggalnya Munir kepada Komnas HAM, sebagai bagian dari pengaduan resmi. Tujuannya agar Komnas HAM menetapkan kasus Munir sebagai pelanggaran HAM berat, sehingga proses penyelidikan berdasarkan UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM bisa segera dilakukan.
“Dua tahun berlalu sejak pendapat hukum dari masyarakat sipil diserahkan, hari ini Komnas HAM mengumumkan pembentukan tim ad hoc setelah sebelumnya membuat tim kajian. Saya mengapresiasi kepercayaan yang diberikan untuk menjadi anggota tim ad hoc tetapi menolak penunjukan ini. Komnas HAM seharusnya segera menetapkan Munir sebagai pelanggaran HAM berat. Bagi kami, tak ada keraguan lagi bahwa kejahatan ini adalah kejahatan kemanusiaan,” kata Usman.
“Apalagi masa bakti komisioner yang hanya kurang dari dua bulan lagi. Jelas akan menyulitkan tim ad hoc untuk bekerja secara efektif dan menyeluruh, termasuk bagi para komisioner itu sendiri untuk menindaklanjuti temuannya”.
Latar belakang
Pada tanggal 7 September 2022, tiga komisioner Komnas HAM yakni Taufan Damanik, Sandra Moniaga dan Choirul Anam mengumumkan pembentukan tim ad hoc untuk mengusut dugaan pelanggaran HAM berat atas kasus kematian aktivis Munir Said Thalib. Anggota tim ini terdiri dari komisioner Komnas HAM, yakni Ketua Komnas HAM Taufan Damanik dan Komisioner Sandrayati Moniaga, dan tiga orang dari eksternal lembaga HAM tersebut.
Dalam keterangan persnya, Komnas HAM mengatakan pihaknya masih mencari dua anggota tim ad hoc dari eksternal lembaganya dan menyebut Usman Hamid sebagai salah satu anggota tim ad hoc di luar Komnas yang telah menyatakan kesediaan. Namun hal itu sebenarnya belum dikonsultasikan secara layak dan Usman telah meminta waktu untuk mengambil keputusan yang akhirnya menolak.