Jon Afrizal*
Pembangunan satu unit sumur bor air bersih di Dusun Tanjung Mandiri, kini menjadi persoalan. Sebab, selain belum jelasnya tapal batas antar Kabupaten Muaro Jambi dan Batanghari, areal ini secara mapping wilayah, berada dalam kawasan hutan negara, yakni restorasi ekosistem Hutan Harapan.
“Sumur bor itu telah dibangun sejak sebulan lalu,” demikian informasi yang diberikan Sarwo (bukan nama sebenarnya), seorang warga Dusun Tanjung Mandiri, pekan lalu.
Dusun Tanjung Mandiri adalah satu dari lima dusun yang berada di Desa Tanjung Lebar, Kecamatan Bahar Selatan, Kabupaten Muaro Jambi.
Berdasarkan data dari “Kecamatan Bahar Selatan Dalam Angka 2020”, Desa Tanjung Lebar memiliki 19 Rukun Tetangga (RT). Desa ini memiliki 202,90 km2 (kilometer persegi), dengan penduduk berjumlah 3.122 jiwa, atau 15 jiwa per km2.
Kecamatan Bahar Selatan sendiri memiliki luasan 11.709 km2. Kecamatan ini berbatasan langsung dengan Kabupaten Batanghari. Kecamatan ini memiliki 10 Desa dan 51 dusun.
Kecamatan Bahar Selatan memiliki penduduk sebanyak 15.642 jiwa, atau 44 jiwa per km2. Sebanyak 6.095 hektare dari total luasan Kecamatan Bahar Selatan adalah perkebunan sawit.
Diakui atau tidak, perkebunan sawit adalah pemicu konflik tenurial berkepanjangan di banyak wilayah di Kabupaten Muaro Jambi. Sebab, banyak orang yang tergiur untuk ikut serta menanam tumbuhan asal benua Afrika ini.
Desa Tanjung Lebar sendiri memiliki jarak tempuh 145 kilometer ke ibukota Kabupaten Muaro Jambi, Sengeti. Desa ini memiliki empat unit bangunan SD dan satu unit bangunan SMP.
Selain itu, desa ini juga memiliki dua bidan desa. Fasilitas publik lainnya, yakni 11 unit masjid, tiga unit mushala dan 5 unit gereja.
Kepala Bidang Bina Pemerintah Desa Dinas PMD Kabupaten Muaro Jambi, Dicky Ferdiansyah mengatakan sejauh ini, pihaknya tidak mengetahui apa yang telah dilakukan oleh Desa Tanjung Lebar, yakni dengan membangun sumur bor di Dusun Tanjung Mandiri.
“Kami akan menyelidiki dana apa yang digunakan oleh pihak desa untuk membangun sumur bor itu,” katanya.
Ia mengatakan, sejauh ini harus ada pemufakatan tingkat desa untuk melakukan pembangunan sarana publik.
Dusun Tanjung Mandiri memiliki heterogenitas penduduknya.
“Mereka terdiri dari berbagai suku, terutama pendatang,” katanya.
Terkait pembangunan sumur bor yang berada di areal restorasi ekosistem Hutan Harapan itu, ia mengatakan juga tengah menelitinya.
“Kami akan minta keterangan dari Kepala Desa,” katanya.
Menurutnya, pihaknya mendukung jika ada desa yang ingin melakukan pembangunan sarana publik. Namun, tetaplah mengacu kepada undang-undang dan peraturan yang berlaku.
“Jangan berbuat semaunya,” katanya.
Kepala Inspektorat Muaro Jambi, Budi Hartono, ketika diminta waktunya via aplikasi Whatsapp, tidak membalas pesan yang dikirim. Kendati telah disebutkan persoalan terkait pembangunan sumur bor itu.
Kades Tanjung Lebar, Effendi sendiri mengakui bahwa pembangunan satu unit sumur bor itu telah dilakukan sejak sebulan lalu. Adapun lokasinya adalah di rumah Ketua RT 18, Seger.
“Pembangunan ini menggunakan dana swadaya masyarakat,” kata Effendi.
Namun, ketika dikonfrontir terkait keberadaan dusun yang menggerus wilayah areal restorasi itu, ia mengaku tidak mengetahuinya.
“Saya tidak mengetahui hal ini,” kata Effendi.
Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Jambi, Ahmad Bastari mengatakan, pembangunan sumur bor dalam, demikian istilahnya, harus mengikuti aturan yang berlaku. Ada mekanisme yang telah diatur melalui Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
“Meskipun itu untuk kepentingan publik, tetapi harus tetap mengikuti aturan yang berlaku,” kata Bastari.
Sumur bor ini berada di koordinat -2. 168750 derajat garis lintang, dan 103. 401840 derajat garis bujur. Berdasarkan koordinat itu, titik pembangunan sumur bor ini berada di areal restorasi ekosistem Hutan Harapan.
Namun, yang menjadi persoalan adalah penggunaan kata “dusun”, demikian, bahasa Jambi untuk menyebut tingkat pemerintahan terendah. Pada kenyataannya, kawasan ini adalah areal yang digandrungi para pendatang dari banyak wilayah di dalam dan di luar Provinsi Jambi.
Tujuan mereka adalah bertanam sawit dengan membuka lahan baru di areal restorasi ekosistem ini.
Meskipun, ketika ditanyai, mereka selalu berkata, “kami tidak tahu.”
Dan akan terus menjadi persoalan, jika pemerintah setempat tidak mensosialisasikan kawasan mana yang boleh di-land clearing dan mana yang tidak.
Serta, tata cara memiliki KTP yang baik, yang membuat setiap warga negara dijamin keberadaannya oleh negara, berikut hak dan kewajibannya secara aturan yang berlaku di Indonesia. ***
* Jurnalis TheJakartaPost