Nuansa Tasawuf Dalam Dunia Persekolahan di Indonesia

Ariyandi Batu Bara

Oleh: Ariyandi Batu Bara*

Nuansa di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memiliki arti: “Variasi atau perbedaan yang sangat halus atau kecil sekali (tentang warna, suara, kualitas).” Dengan demikian, kata nuansa dapat dipahami sebagai perbedaan yang sangat kecil secara kualitas.

Kalimat: “Nuansa tasawuf di dalam dunia persekolahan di Indonesia” dapatlah dipahami bahwa di dalam dunia persekolahan yang ada di Indonesia telah terdapat unsur kualitas atau nilai-nilai tasawuf, meskipun sangat halus sifatnya.

Tasawuf secara holistik dan komprehensif dapat diartikan sebagai sistem pengetahuan yang membicarakan tentang konsep ma’rifat (cara mengenal) untuk sampai kepada hakikat (yang sejati; Allah SWT). Setidaknya ada tiga corak dalam tasawuf, yaitu: tasawuf akhlaki, tasawuf falsafi, dan tasawuf irfani.

Dunia persekolahan yaitu lembaga formal yang dinaungi oleh pemerintah. Di Indonesia, lembaga pendidikan formal ada yang bernaung di bawah Kementerian Pendidikan (Seperti: TK, SD, SMP, SMA, dan PTN), dan ada pula yang berada di bawah naungan Kementerian Agama (Seperti: RA, MI, MTs, MA, dan PTA), termasuk Ponpes.

Fenomena nuansa tasawuf pada dunia persekolahan, khususnya di level sekolah menengah merupakan suatu hal yang tidak terjadi begitu saja, melainkan ada fundamen logis yang melatarinya. Oleh karena itu, penulis merasa terdorong untuk menyusun opini ini, karena adanya fenomena tersebut di dunia persekolahan Indonesia.

Jika saja, nuansa tasawuf itu hadi hanya di lembaga pendidikan keislaman, tentu hal itu tidaklah menjadi hal yang menarik. Akan tetapi, fakta sosial di lapangan menunjukkan bahwasanya nuansa tasawuf itu juga hadir di lembaga-lembaga pendidikan konvensional.

Ada alasan yang melatari nuansa tasawuf itu kemudian hadir di dunia persekolahan Indonesia hari ini, di antaranya: (1) Adanya kesadaran di kalangan pendidik, bahwa degradasi moral di kalangan remaja Indonesia perlu diintervensi melalui pendekatan spiritual sebagai langkah preventif; (2) Adanya upaya “membumikan” konsep tasawuf yang “langitan” ke dalam wujud praktikal seperti program-program unggulan di sekolah atau madrasah; dan (3) Adanya kesadaran mengenai posisi adab yang lebih tinggi daripada ilmu. Tasawuf adalah instrumen yang dapat melatih akhlak karimah (mulia) tersebut.

Kesadaran akan masuknya nuansa tasawuf ke dalam dunia persekolahan Indonesia dapat dilihat dengan indikator kemunculan dari program-program unggulan yang selalu ada dalam setiap sekolah atau madrasah. Dengan demikian, lazim ditemukan di tiap lembaga pendidikan pasti memiliki program-program unik yang bernuansa tasawuf guna membentuk karakter akhlak karimah peserta didiknya.

Berdasarkan hasil observasi, analisis, dan bacaan di media online, ditemukan fakta bahwa program-program yang bernuansa tasawuf memang telah melekat pada dunia persekolahan di Indonesia.

Lembaga pendidikan keislaman di Pulau Sumatera seperti: MAN Insan Cendekia Jambi yang terletak di Kabupaten Muaro Jambi memiliki program unggulan yang bernuansa tasawuf dalam membina akhlak karimah bagi peserta didiknya. Program tersebut dinamakan Program Uzlah. Melalui Program Uzlah ini, peserta didik baru akan dilatih spiritualitasnya dalam waktu 40 hari.

Selama rentang 40 hari tersebut, peserta didik yang baru akan mengalami proses “diasingkan” Pengasingan ini termasuk melarang mereka untuk menggunakan gadget, bertemu dengan orang tua atau wali. Tujuan yang diinginkan dari Program Uzlah ini ialah melatih kemandirian, meningkatkan kesadaran spiritual (disiplin ibadah), serta proses adaptasi peserta didik baru tersebut kepada lingkungan asrama di MAN IC Jambi.

Penamaan program ini dengan sebutan Program Uzlah, tentu saja berhubungan erat dengan peristiwa spiritual yang dialami oleh Nabi Muhammad saw saat menyendiri di Gua Hira. Semangat dari peristiwa Uzlah-nya Nabi Muhammad saw inilah yang kemudian dihadirkan di sekolah dengan mengambil nuansa-nuansa yang terkandung dalam uzlah nabi tersebut.

Lembaga pendidikan konvensional di Pulau Jawa, seperti:  SMAN 7 Purworejo juga memiliki program di sekolah yang bernuansa tasawuf, yaitu: Program MABIT. MABIT sendiri adalah akronim dari Malam Bina Iman dan Taqwa (MABIT). Program MABIT biasanya akan berlangsung selama dua hari satu malam, peserta didik akan diberikan kajian keislaman dan nonton film bareng (nobar) yang bernuansa motivasi keislaman.

Di dalam program MABIT ini pula terdapat ibadah sholat berjamaah, kajian Islam, dan juga outbond. Nuansa tasawuf begitu terasa dalam Program MABIT tersebut, karena bersinggungan dengan tujuan yang hendak dicapai yaitu akhlak karimah yang mana dalam corak tasawuf akhlaki, salah satu fokusnya ialah terwujudnya akhlak karimah pada pelaku yang mengamalkan ajarannya.

Lembaga pendidikan keislaman yang ada di pulau Kalimantan ternyata juga memiliki program yang bernuansa tasawuf. Program tersebut diberi nama Program Rohis. dimensi keyakinan agama (kesadaran beraqidah), dimensi peribadatan/praktik agama (kesadaran beribadah), dimensi pengalaman dan penghayatan (sikap sosial), dimensi pengalaman dan konsekuensi, dan dimensi pengetahuan agama. Seluruh kegiatan ini tentu saja akan memberikan kontribusi pada pembentukan akhlak karimah. Oleh sebab itu, maka dari sini tampak adanya nuansa tasawuf dalam Program Rohis di sekolah tersebut.

Lembaga pendidikan keislaman yang ada di pulau Sulawesi juga terdapat program yang bernuansa tasawuf di sekolah. Program tersebut bernama Program Istighosah. Program ini misalnya ada di sekolah-sekolah yang ada di Pinrang. Kegiatan dalam Program Istighosah tersebut diisi dengan pembacaan doa-doa dan bacaan Surat Yaasiin dan Dzikir di sekolah yang mana biasanya dilakukan pada hari Jumat. Pada saat masih diberlakukannya Ujian Nasional (UN), pihak sekolah akan menggelar Istighosah di sekolah dengan tujuan agar peserta didik dapat diberikan kelancaran dan kesuksesan sewaktu menghadapi ujian.

Dalam program tersebut, tersirat adanya makna penghambaan dan penyerahan diri kepada Allah SWT atas segala bentuk pengharapan dan cita-cita yang diinginkan. Hal ini tentu sejalan dengan konsep khauf dan roja’ (selalu takut dan berharap kepada Allah SWT semata-mata).

Di Papua juga ada program moderasi di PP Al-Manshurin yang menekankan pentingnya menghargai perbedaan. Hal ini tentu saja berdampak pada semangat toleransi dan meghargai manusia, karena pada hakikatnya menghargai manusia meskipun berbeda, adalah menghargai ciptaan Allah SWT. Hal inipun sangat bernuansa tasawuf dalam praktiknya di sekolah.

Dari pemaparan di atas, dapat diketahui bahwa pada era kontemporer ini, di sekolah menengah khususnya baik di sekolah keagamaan maupun kovensional menaruh program-program yang bernuansa tasawuf di sekolah mereka, antara lain: Program Uzlah, di Jawa Pogram MABIT, Program Rohis, dan Program moderasi. Semoga saja program-program ini terus konsisten dan semakin dikembangan sesuai dengan tantangan zaman, sehingga problem degradasi moral di kalangan remaja dapat diatasi.

 

*Dosen Filsafat Islam UIN STS Jambi

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Posts