Merawat Tahura OKH demi Masa Depan Anak Cucu

Taman Hutan Rakyat Orang Kayo Hitam Jambi
Taman Hutan Rakyat Orang Kayo Hitam Jambi

LELAKI dengan keriput di wajahnya menatap kosong jejeran pepohonan kakau dalam kebunnya. Hampir semua pohon kakau meranggas, beberapa telah lapuk. Buahnya lebih suram, menghitam dan kropos. Tidak bisa dimakan apalagi dijual. Meredupnya hasil perkebunan membuat Usman (37) kerja serabutan, sembari bertahan merawat kebun, dia masih berharap bantuan pemerintah datang.

Serangan hama menghantam perkebunan kakau Usman setelah kebakaran Taman Hutan Raya (Tahura) Orang Kayo Hitam (OKH) pada September 2015 lalu. Dia menanam 2.000 batang pohon kakau 2005 silam. Kemudian panen dengan penghasilan rata-rata Rp10-12 juta per bulan dari tahun 2010 hingga 2014. Pendapatan yang begitu besar karena harga kakau mahal dan produksi tinggi. Sekarang semua tinggal kenangan. Belasan rekan Usman, telah membabat pohon kakau dan menggantinya dengan perkebunan sawit.

“Saya masih menaruh harapan dengan kebun kakau,” kata Usman, warga Desa Gedong Karya, Kecamatan Kumpeh, Kabupaten Muarojambi dengan senyum tipis sembari menunjukkan buah kakau yang menghitam dan kropos, Senin 18 Maret 2019.

Dia tak berdiam diri. Beragam cara menyembuhkan kebun kakau telah dilakukan. Mulai dari pemberian pupuk urea dan NPK sampai penyemprotan. Termasuk pemberian pupuk organik. Tiga tahun Usman berjuang, namun kebun kakau semakin sekarat.

Bantuan dari pemerintah, kata Usman sangat diharapkan. Tidak terlampau tinggi seperti bantuan modal untuk bibit baru, pengiriman tenaga ahli bidang pertanian sudah cukup. “Bagi saya, kebun kakau bebas dari hama, itu sudah cukup. Alhamdulillah,” kata lelaki yang mengaku kerja serabutan untuk menambal kebutuhan keluarganya.

Cerita tidak berhenti pada kebun kakau. Yudi (53) warga Desa Sungai Aur juga menelan pil pahit kehilangan ikan tangkap. Sebelum tahun 2015, dalam sehari dia berhasil menangkap 15-20 kilogram ikan dengan mudah. “Sekarang mencari 5 kilo bae susah,” kata Yudi.

Kehilangan pendapatan adalah muara dari ‘kematian’ Tahura OKH, kata Yudi. Sebagian besar masyarakat sadar, berjuang menghidupkan Tahura penting dilakukan. Yudi bergabung dengan Asril, untuk menanam tumbuhan berbasis gambut, tetapi memiliki nilai ekonomi.

“Banyak warga secara swadaya menanam jelutung rawa, durian dan pinang. Bukan untuk kami, tapi anak cucu,” kata Yudi.

Hal senada diungkap Amir warga Desa Sungai Aur lainnya. Dulu ikan mudah didapat. Sebagian besar masyarakat bekerja sebagai nelayan. Dia berkisah dulu sebelum Tahura OKH terbakar, masyarakat mudah mendapatkan damar. Sehari bisa sampai 5 kilogram dengan harga Rp2.000 per ons.

Tidak hanya itu, sambung Amir memanen madu alam, bisa menghasilkan jutaan sekali panen. Masyarakat juga bisa mencari rotan. Kayu gaharu mudah didapatkan. “Bisa menjadi penghasilan utama warga,” kata Amir.

Harapan membaiknya kondisi Tahura OKH, memacu warga bergerak menanam pohon. Selama beberapa bulan terakhir, sudah 1.500 bibit ditanam. Namun dengan kondisi wilayah yang hampir 80 persen tergenang air, maka bibit yang ditanam banyak yang mati.

Padahal perjuangan untuk menanam cukup mengurus tenaga, biaya dan waktu. Dalam setiap penanaman bibit, dibutuhkan waktu tempuh hampir tiga jam menggunakan perahu motor. Kemudian harus diseret lagi menggunakan potongan drum. “Bisa memakan waktu berhari-hari,” kata dia lagi.

Sementara itu, setelah ditanam air tidak hanya merendam bagian bawah bibit, melainkan semua bagian tanaman. Memang tidak ada harapan hidup, tetapi setidaknya kami telah melakukan usaha terbaik.

Tergenangnya air di lahan gambut Tahura OKH, kata Asril sebab pada musim hujan, air tak dapat mengalir dengan baik. “Ada banyak kanal di sini,” kata Amir menjelaskan.

Sekat Kanal Memicu Genangan Air

Ketua Masyarakat Peduli Api (MPA) Desa Sungai Aur, Kecamatan Kumpeh, M Ali menuturkan air telah menggenangi hampir seluruh permukaan gambut Tahura OKH, yang berada di desanya. “Semua tergenang. Bagaimana masyarakat mau nanam pohon,” kata dia yang berdiri di dalam air setinggi 40 centimeter.

Selain memang menghadapi musim ‘basah’ istilah lokal untuk menyebut banjir. Keberadaan kanal menghambat sirkulasi air. Karena tertahan oleh sekat kanal, maka air menggenangi dataran yang rendah.

Selama dia ‘ngeronda’ kawasan Tahura OKH, ditemukan 8 titik sekat kanal. Genangan air bertahan lama, sebab jumlah tegakan pohon sedikit. Akar pohon yang biasanya bisa menyerap air, sekarang tidak ada lagi, karena turut terbakar.

“Mana ada lagi pohon besar. Lihatlah pohon lapuk dan mati lah yang tersisa. Bagaimana bisa menyerap air,” kata M Ali sembari menunjuk ke seluruh titik kawasan Tahura OKH. Sekarang yang tumbuh hanya resam dan pakis.

Peneliti sekaligus Dekan Fakultas Kehutan Universitas Jambi, Bambang Irawan menuturkan membangun sekat kanal bukan tanpa resiko. Secara alamiah, air yang ditahan akan mengalir ke daerah yang lebih rendah dan tergenang. Adanya genangan air di lahan gambut, membuat sejumlah tanaman tidak dapat tumbuh.

Keberadaan sekat kanal memicu genangan air akan terjadi. Maka pada forum-forum diskusi ilmiah, dia menyampaikan agar membangun sistem manajemen sumber daya air. Maka sekat kanal harus diberi pintu air. Saat musim hujan air dapat keluar. Kemudian pada saat kemarau, sambung Bambang air dapat ditahan. “Sekat kanal harus punya pintu air, yang bisa dibuka-tutup,” kata peneliti yang tengah berkonsentrasi menangani persoalan gambut ini.

Dengan membuat kanal mati, maka tidak ada kontrol terhadap volume air dalam satu kawasan. Perpindahan air karena adanya sekat kanal akan sulit dikendalikan, terutama di kawasan gambut dengan kedalam tertentu. Genangan air yang bertahan dalam waktu lama, akan mempengaruhi tingkat keasamaan lahan gambut.

Tidak semua tanaman bisa tumbuh dalam genangan air dengan tingkat keasamaan tanah melebihi batas normal. Ia mencontohkan meskipun jelutung rawa adalah tanaman lahan gambut, bukan berarti dapat hidup apabila terendam air. “Akar butuh oksigen untuk menyerap mineral, yang berguna untuk pertumbuhan,” kata Bambang lagi.

Sebenarnya tidak harus galau memutuskan antara pemulihan ekosistem dengan pencegahan kebakaran. Kedua-duanya sama-sama penting. Untuk itu dibutuhkan komitmen bersama berbagai pihak, untuk menjalankan kedua misi maha penting ini. Apabila ingin melaksanakan upaya penyelamatan Tahura OKH secara bersamaan, maka pemasangan kanal harus dievaluasi agar sesuai dengan kondisi lingkungan.

Galau Antara Pemulihan Ekosistem atau Pembahasan Gambut

Sekat kanal yang kemudian menyebabkan genangan air hingga 65 persen wilayah Tahura OKH adalah masalah serius. Dengan kerusakan ekosistem cukup berat, upaya pemulihan harus segera dilakukan.

Koordinator Program Gita Buana, Hery mengatakan hasil foto citra terhadap Tahura OKH, 65 persen adalah genangan air. Kebakaran telah membentuk kolam-kolam raksasa dengan kedalaman 50-150 cm. Genangan-genangan berisi air karena beberapa kubah gambut di Tahura OKH terbakar. “Kubah di sini cukup dalam. Ada yang 1-15 meter. Bahkan di Seponjen sampai 7 meter,” kata dia lagi.

Genangan air akan menghambat revegetasi. Padahal dari total 18 ribu hektar luasan Tahura OKH, sambung Hery sekitar 10 ribu mengalami kerusakan berat, 5.000 hektar sedang dan sisanya tegakan pohon dengan diameter maksimal sepaha pria dewasa. Hasil pemetaan semua vegetasi harus dipulihkan. Karena pepohonan yang tersisa hanya meranti, punak, geronggang, pulai.

Dia mencontohkan program revegatasi Conocophilips Jambi seluas 300 hektar, gagal karena tergenang air. Untuk melakukan akselerasi, kata Hery pihaknya telah menanam 200 ribu bibit untuk kawasan seluas 300 hektar.

Sayangnya lanjut Hery tingkat keberhasilan hidup hanya 40 persen karena gangguan genangan air. “Pembahasan sekat kanal pada lahan gambut, harus dikaji ulang dengan metode perendaman, maka vegetasi pohon tidak akan tumbuh,” kata Herry.

Dengan kondisi yang ada, dibutuhkan biaya besar untuk mengembalikan vegetasi Tahura OKH. Hery merinci, butuh dana Rp50 ribu per bibit apabila target keberhasilannya 80 persen.

Dalam melakukan revegatasi, Gita Buana juga memperhatikan masyarakat sekitar. Maka pihaknya menanam jenis hasil hutan bukan kayu (HHBK) seperti jelutung rawa, durian, pinang dan pulai. Setelah program berakhir, masyarakat dapat memanfaatkan untuk meningkatkan ekonomi.

Tidak ada berfokus pada pemulihan lahan, upaya di luar itu yakni memberdayakan masyarakat sekitar hutan agar mandiri dan bisa mendapatkan penghasilan tambahan dari sektor pertanian dengan pendampingan menggarap lahan tidur dan merevitalisasi perkebunan kakau masyarakat seluas 500 hektar, yang sekarang kondisinya terserang hama.

Ada banyak alasan mengapa pemulihan vegetasi Tahura OKH penting dilakukan. Hal ini yang memacu Gita Buana tidak menyerah dengan berbagai masalah, diantaranya genangan air yang berpotensi ‘membunuh’ bibit yang ditanam.

Hasil pengukuran air kawasan Tahura OKH, di Desa Sungai Aur, tingginya mencapai 40 meter. Sebelumnya mencapai 80 meter. Padahal berada di permukaan cukup tinggi, apalagi daerah yang memang rendah.

Sisi lain, potensi keanekaragaman tumbuhan pada Tahura OKH berdasarkan hasil penelitian Dosen Fakultas Kehutanan Universitas Jambi, Rike Puspitasari Tamin, yang terbit pada jurnal ilmiah ilmu terapan Universitas Jambi, tahun 2018 pasca kebakaran masih dalam taraf sedang. Kondisi ini memberikan harapan akan adanya regenerasi lebih lanjut dari komunitas tersebut.

Hasil penelitian Rike terhadap kantong semar (Nepenthes spp) yang dilindungi berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 7/1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa. Dalam kawasan Tahura OKH, ditemukan sebanyak 1 jenis tumbuhan kantong semar yaitu Nephenthes mirabilis. Selanjutnya juga didapatkan 6 jenis tumbuhan lainnya seperti pakis (Stenochlaena Palustris) dan Kayu mahang (Combretocarpus rotundatus) yang dikategorikan tanaman lokal.

Tahura OKH hutan rawa gambut dengan kedalaman 1-2 meter. Sekarang mengalami degradasi yang sangat parah. Dalam penelitian Rike, menemukan tanaman baru jelutung rawa (Dyera lowii) yang merupakan upaya kegiatan rehabilitasi yang dilakukan masyarakat. Selain itu juga terdapat kanal-kanal yang membelah kawasan Tahura.

Bagian Pinggir Taman Hutan Raya Sekitar Tanjung yang berbatasan dengan Taman Nasional Berbak masih terdapat tegakan vegetasi dengan tingkat hutan rawa gambut sekunder rendah. Vegetasi ini juga merupakan sisa tebangan dan kebakaran masa lalu.

Kondisi Tahura OKH pada saat penelitian Rike, gambut tergenang air, seluas mata memandang tidak adanya tegakan yang tumbuh selain hanya puing-puing kayu atau pohon yang terbakar. Genangan air akan menghambat perdu dan anakan pohon akan lebih sulit untuk tumbuh.

Selain itu, masih berdasarkan penelitian Rike, genangan air menyebabkan sedikit tumbuhan dapat hidup, karena sumbangan nutrisi tanah tidak berlangsung lama dan terbatas, hanya jenis-jenis tertentu yang mempunyai toleransi tinggi yang mampu beradaptasi dengan tingkat kemasaman yang tinggi.

Sementara itu, Koordinator Badan Restorasi Gambut (BRG) Dicky Kurniawan mengaku 8 titik sekat kanal yang berada di Tahura OKH, adalah program pembahasan dari BRG untuk mencegah kebakaran hutan.

Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 57 tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut, kata Dicky. Untuk itu sekat kanal melakukan pembatasan muka air tanah sebesar 40 centimeter.

Namun dia tidak mengetahui sekat kanal dapat menyebabkan genangan air. Dia meyakini genangan air hanya terjadi pada musim hujan. “Coba dilihat musim kemarau juga,” kata Dicky menegaskan.

Meskipun telah diatur ketat dalam sebuah regulasi, kata Dicky, BRG juga tetap menerima pengaduan dari masyarakat, terkait dampak negatif dari sekat kanal. Pihaknya tidak keberatan, apabila harus menerapkan sistem managemen sumber daya air. “Kita tidak kaku. Sekat kanal bisa disesuaikan dengan kondisi wilayahnya, kok,” kata Dicky menegaskan.

Para Penjaga Tahura OKH dari Kebakaran

Pada September 2015 lalu, lahan gambut Tahura OKH terbakar. Sekitar 70 persen dari total luasan rusak berat. Pada saat itu, terdapat 167 titik api yang menyala di Kelurahan Simpang, Kecamatan Berbak, Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Desa Sungai Aur, dan Gedong Karya Kecamatan Kumpeh, Kabupaten Muarojambi.

Selama tiga tahun terakhir Tahura OKH tidak terbakar. Selain adanya kegiatan pembahasan dari sekat kanal BRG, juga ada peranan MPA dari tiga desa, yakni Desa Sungai Aur, Gedong Karya dan Kelurahan Simpang.

Total anggota pertama dibentuk 10 orang. Sekarang telah bertambah hingga ratusan. Menurut Ketua MPA Desa Gedung Karya, M Ali masyarakat telah memiliki kesadaran untuk menjaga hutan dari kebakaran. Selain tidak membuka lahan dengan cara bakar, juga patroli di semua kawasan masing-masing.

Setiap individu MPA telah dibekali keterampilan dalam pemadaman maupun pencegahan. Selanjutnya memiliki mesin pompa air, untuk pemadan dini apabila muncul titik api. Menurut pengakuan M Ali, keterampilan dan peralatan diperoleh saat mengikuti pelatihan yang dilakukan Gita Buana.

Tidak hanya MPA, penjagaan Tahura OKH juga bisa dilakukan dari menara pantau api yang dibangun Gita Buana pada 2017 lalu. Menara dibangun setinggi 12 meter tepat dengan perkebunan sawit warga yang berbatasan langsung dengan Tahura OKH.

“Kita bangun menara pantau api dekat dengan kebun warga. Karena rawan muncul titik api. Ada petugas yang selalu mengotrol kondisi Tahura OKH. Jika ada titik api, maka langsung menghubungi MPA, dan langsung dilakukan pemadaman,” kata Hery Koordinator Program Gita Buana.

Masyarakat sekitar telah merasakan langsung dampak kerusakan vegetasi Tahura OKH. Tidak hanya membuat kehilangan mata pencarian, tetapi waktu basah atau banjir menjadi lebih lama. Masa depan anak cucu warga sekitar tentu bergantung Tahura OKH. Upaya pemulihan vegetasi dan pembahasan lahan gambut harus bergandengan tangan. Apa artinya merawat kehidupan, apabila mengambil kematian dari yang hidup. (Wendi)

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Posts