KILAS JAMBI – Akhir Agustus 2020, merupakan hari yang kelam bagi Teguh Turasno, 41 tahun. Niat membuka ladang untuk berkebun sayur malah menjadi petaka baginya.
Pria asal Kebumen, Jawa Tengah itu diciduk Tim Satreskrim Polres Muaro Jambi, lantaran membakar tumpukan semak (merun) di lahan setengah hektare miliknya di Desa Kasang Pudak, Kumpeh Ulu.
Di kursi pesakitan, Teguh mendapat vonis 10 bulan penjara, dijerat dengan Undang-undang No.39/2014 Pasal 108 Jo Pasal 56 ayat (1) tentang Perkebunan atau Pasal 187 atau pasal 188 KUHP. Namun ia hanya menjalankan setengah masa hukuman karena kebijakan asimilasi Covid-19 dari Kemenkumham.
“Waktu itu rumput kering saya kumpulin, lalu dibakar,” kata Teguh, melalui sambungan telepon, 13 September 2022.
Ia sebenarnya mengetahui kalau membuka lahan dengan cara dibakar dilarang, setelah mendapatkan sosialisasi dari perangkat desa dan kepolisian.
Namun, bagi warga berkantong tipis seperti Teguh, cara paling ringkas membersihkan lahan adalah dengan membakar. Pikirnya, dengan menumpuk semak—tradisi merun—api tak akan merembet ke mana-mana.
“Karena sedikit dan kanan kiri lahan terdapat kanal maka kami berani bakar, itu juga bertahap,” katanya.
Setelah bebas bersyarat, Teguh sempat pulang ke kampung halaman berkumpul kembali bersama anak istrinya. “Niatnya mau merantau malah dipenjara,” kata Teguh mengenang kisah pahit yang dialami.
Kini, Teguh sudah kembali lagi ke Jambi dan bekerja di sebuah gudang di kawasan Muara Kumpeh. Ia pun tetap mengelola lahan yang membuat dirinya dijebloskan ke jeruji besi.
“Ditanami ubi kayu dan pisang, sudah dua kali panen,” katanya.
Dari pengalaman suram di tahun 2020 lalu, Teguh tidak berani lagi membersihkan lahan dengan membakar.
”Hanya disemprot, tak dibakar lagi,” kata Teguh menegaskan.
Teguh bukan petani pertama yang terjerat kasus pembakaran lahan di Jambi. Dari hasil penelusuran data dan catatan kepolisian yang dilakukan kilasjambi.com. Awal Agustus 2020, Heri Kiswanto dan Nazarudin juga ditangkap Polres Muaro Jambi. Kasus sama, membakar lahan. Polisi turut menyita jerigen sebagai barang bukti.
Heri ditangkap atas kasus kebakaran lahan seluas satu hektare di Desa Sungai Bertam. Nazarudin, kena kasus kebakaran di Bukit Baling. Di hadapan polisi, Nazarudin mengaku kalau lahan 700 meter yang dia bakar buat tanam cabai dan kangkung.
Mundur ke bulan Juli 2020, Suhaimi warga Parit Jawa, Desa Pantai Gading Kecamatan Bram Itam, Kabupaten Tanjung Jabung Barat, ditangkap tim Polres Tanjung Jabung Barat. Penangkapan Suhaimi bermula saat tim patroli udara menemukan bekas kebakaran lahan di Desa Pantai Gading.
Hasil hitungan polisi sekitar 6.000 meter lahan yang terbakar untuk dijadikan sawah. Polisi memanggil 8 saksi termasuk Suhaimi. Hasil penyidikan disimpulkan, Suhaimi jadi tersangka. Suhaimi mengaku awalnya berniat memadamkan api, melihat asap tebal nyalinya pun menciut.
Dibui akibat membakar lahan turut dirasakan Safarudin pada Agustus 2019 lalu, Safarudin bersama Erwin, seorang buruh ladang upahan membersihkan lahan milik Safarudin di Air Hitam Laut, Kecamatan Sadu, Kabupaten Tanjung Jabung Timur.
Keduanya tak membawa sabit atau pun perkakas lainnya, mereka hanya perlu menyalakan korek ke sejumput rumput kering yang segera menjalar ke rumput lainnya. Dari merun berkobarlah api.
“Kami saat itu mau nanam pinang,” kata Safarudin.
“Niatnya untuk bikin jalan, tapi apinya malah mercik ke mana-mana,” tambahnya.
Niat mereka membersihkan lahan berubah jadi bencana. Api menggila di kawasan hutan dan ladang Air Hitam Laut pada 10 Agustus 2019. Keduanya dicokok polisi 15 hari kemudian.
“Saya juga tahu kalau itu melanggar hukum, tapi bila mengupah orang untuk nebas semak, satu hektare nya Rp2 juta,” kata Safarudin.
Bagaimana dengan “Pembakar” Berbendera Korporasi?
Tindakan warga seperti Teguh, Safarudin dan warga yang dicokok karena membakar lahan memang memperparah bencana asap hebat melanda Sumatera seperti pada tahun 2015 dan 2019. Mungkin puluhan warga lainnya memicu krisis serupa. Tapi pembakar berbendera korporasi yang sebenarnya paling sulit ditangkap.
Pertengahan September 2022, puluhan masyarakat Desa Puding, Kecamatan Kumpeh, Kabupaten Muaro Jambi, berunjuk rasa di Pengadilan Negeri (PN) Jambi, meminta eksekusi putusan Pengadilan Tinggi Jambi terhadap PT RKK segera dilakukan.
Dalam perkara ini, Pengadilan Tinggi Jambi di tingkat banding memvonis PT RKK yang bergerak di bidang perkebunan dan pengolahan kelapa sawit bersalah atas peristiwa kebakaran lahan seluas 591 hektare di lahan konsesi miliknya.
PT RKK dihukum membayar ganti rugi kerugian materil dan biaya pemulihan ekologis sekitar Rp191,8 miliar. Sayangnya, hingga hari ini eksekusi belum dilakukan.
Perwakilan warga, Iin Habibi mengatakan, dia dan masyarakat Desa Puding lainnya mendesak agar Pengadilan Negeri Jambi segera mengeksekusi terhadap lahan PT RKK yang menjadi objek eksekusi.
Dikatakan Iin, terhitung sudah 5 tahun sejak putusan Pengadilan Tinggi Jambi memutuskan PT RKK bersalah pada 12 September 2017 lalu, pengadilan masih belum mengeksekusi putusan itu.
“Kita juga hadir di sini minta kejelasan kapan ini dieksekusi. Jangan main-main,” kecam Iin.
Selain itu, sebutnya, masyarakat juga mencemaskan insiden kebakaran akan kembali terulang di tahun 2023 ketika ada fenomena el nino yang diprediksi oleh BMKG.
“Kenapa tidak dilakukan eksekusi hingga hari ini, pihak perusahaan yang dinyatakan bersalah masih beroperasi dan masih memanen hasil kebun,” kata Iin.
Merespon tuntutan warga, Ketua PN Jambi, Lilin Herlina mengatakan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sudah mengajukan permohonan pembayaran ganti rugi. Dan pihaknya juga telah melakukan teguran kepada PT RKK, agar membayar ganti rugi yang diputuskan pengadilan.
Namun, PT RKK tetap tidak membayar ganti rugi tersebut. Sehingga KLHK mengajukan harta dan aset perusahaan tersebut agar bisa disita oleh pengadilan. PN Jambi pun sudah mengajukan ke PN Jakarta untuk melakukan pemblokiran rekening PT RKK.
“Karena posisi objek itu ada di Jakarta. Dan itu sudah dilakukan, termasuk pemblokiran rekening yang berada di Bank Jambi,” kata Lilin.
Kemudian ada 3 lahan yang akan disita. Lahan itu berada di wilayah hukum PN Sengeti, sehingga PN Jambi mendelegasikan eksekusi lahan tersebut kepada PN Sengeti, Muaro Jambi.
Ternyata PN Sengeti menyurati PN Jambi, bahwa lahan yang diajukan tidak dilaksanakan (sita) karena tidak sesuai sertifikatnya, “Ternyata itu HGB (Hak Guna Bangunan), bukan HGU (Hak Guna Usaha),” kata Lilin.
Kesalahan itu, kata Lilin, adalah kesalahan pengajuan permohonan dari KLHK, sehingga harus diralat. Ralat dari KLHK sudah diterima PN Jambi dan akan segera dikirim lagi ke PN Sengeti untuk dilakukan sita jaminan.
“Kami akan segera mengirim karena ini baru direvisi permohonannya, akhir Agustus baru direvisi permohonannya,” katanya.
Direktur Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup KLHK, Jasmin Ragil Utomo membenarkan bila sempat terjadi kekeliruan pada permohonan sita eksekusi aset PT RKK dari KLHK.
“Seharusnya itu HGB, tapi tertulis HGU. Dan itu sudah dilakukan perubahan,” kata Ragil, yang dihubungi via telepon.
Hanya saja terdapat perbedaan waktu revisi, dari jawaban yang disampaikan Ketua PN Jambi Lilin Herlina yang mengatakan ralat dari KLHK baru diterima pada akhir Agustus. Ragil justru mengatakan kalau perubahan kesalahan sudah dilakukan sejak 2 bulan lalu.
“Setahu saya sudah 2 bulan lebih kali ya. Dan itu tidak ada tindak lanjut dari Ketua Pengadilan Negeri Jambi,” kata Ragil.
Pada bencana kabut asap tahun 2015 lalu, karhutla seluas 591 hektare terjadi di lahan PT RKK. KLHK pun melayangkan gugatan secara perdata pada 14 Desember 2016. KLHK menggugat PT RKK dengan pasal yang bersifat strict liability pasal 88 UU No 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Pada peradilan tingkat awal ini majelis hakim menolak gugatan KLHK secara keseluruhan. PT RKK bebas dari gugatan dalam amar putusan majelis hakim pada 12 Juni 2017. Atas putusan itu, KLHK melakukan upaya hukum banding pada 20 Juli 2017. Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Jambi memenangkan KLHK pada tahap ini dalam amar putusan yang dibacakan pada 16 November 2017, PT RKK divonis membayar ganti rugi kerugian materil dan biaya pemulihan ekologis sekitar Rp191,8 miliar.
Setelah putusan Pengadilan Tinggi Jambi itu, giliran PT RKK yang melakukan upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung. Akan tetapi MA menolak kasasi PT RKK. Vonis kasasi dibacakan hakim pada 8 Oktober 2018.
Walhi Gugat Dua Perusahaan HPH
Upaya gugatan atas peristiwa kebakaran hutan dan lahan juga dilakukan NGO Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jambi ke PN Jambi, Walhi menggugat 2 perusahaan, yaitu PT. Pesona Belantara Persada (PBP) dan PT. Putra Duta Indah Wood (PDIW), keduanya berlokasi di Kabupaten Muaro Jambi.
Dalam petitum gugatan, Walhi Jambi meminta PT PBP (tergugat I) membayar ganti rugi senilai Rp90,6 miliar. Untuk PT PDIW (tergugat II) digugat membayar ganti rugi kerusakan senilai Rp101,2 miliar.
“Nilai ganti rugi itu berdasarkan hasil hitungan tim Walhi. Biaya tersebut untuk mengganti biaya untuk merestorasi gambut di area perusahaan,” kata Abdullah, Direktur Eksekutif Walhi Jambi.
Selain itu, Walhi Jambi juga meminta ganti rugi tanggung renteng yang dibebankan kepada para pihak yang tergugat senilai Rp894 juta.
Selain menggugat kedua perusahaan yang bergerak di sektor pemanfaatan kayu itu, Walhi Jambi juga turut menggugat KLHK serta Gubernur Jambi.
“KLHK dan Gubernur Jambi menjadi turut tergugat karena secara kewenangan delegasi dalam UU 32 tahun 2009, mereka diberi kewenangan untuk merestorasi semua kerusakan lingkungan,” kata Ramos Hutabarat, kuasa hukum Walhi Jambi.
Saat ini, proses gugatan sedang menunggu putusan kasasi dari Mahkamah Agung (MA). Sebab tergugat I dan II mengajukan banding ke MA atas gugatan Walhi Jambi.
Pada putusan sidang sebelumnya, kata Ramos, dengan Nomor 44/pdt.G/LH/2021/PN Jambi, PN Jambi memutuskan perkara dengan poin-poin sebagai berikut. (1) Majelis hakim mengabulkan eksepsi tergugat I dan tergugat II. (2) Majelis hakim menyatakan bahwa PN Jambi tidak berwenang mengadili sengketa ini dan menyatakan bahwa perkara ini merupakan kewenangan PTUN. (3) Apabila tidak puas terhadap putusan tersebut, para pihak berhak mengajukan upaya banding di Pengadilan Tinggi.
Menyikapi putusan PN tersebut, Walhi Jambi kemudian mengambil langkah taktis untuk melakukan upaya banding kepada Pengadilan Tinggi Jambi pada tanggal 15 November 2021. Dan setelah kurun waktu 65 hari, Walhi dinyatakan menang terhadap upaya banding yang telah didaftarkan ke Pengadilan Tinggi Jambi.
Secara formal, kemenangan upaya banding Walhi yang diputuskan oleh Pengadilan Negeri Jambi tersebut, tertuang dalam putusan Banding Pengadilan Tinggi Negeri Jambi Nomor 41 dari 47 hal. Putusan Nomor 124/PDT.G-LH/2021/PT JMB dan membatalkan putusan sidang sebelumnya Nomor 44/pdt.G/LH/2021/PN Jambi.
“Sekarang kami masih menunggu putusan kasasi dari MA,” kata Ramos.
Reza Nugraha, Kuasa Hukum PT PBP dan PT PDIW mengatakan, dari gugatan yang dilayangkan Walhi Jambi. Kasasi ke MA memang upaya hukum yang harus dilakukan perusahaan.
“Karena di tingkat pengadilan negeri kita kan menang, pertimbangannya jelas. Sebab dari persoalan administrasi baik PT PBP maupun PT PDIW tidak ada masalah,” kata Reza, Senin 03 Oktober 2022, melalui sambungan telepon.
Sebagai kuasa hukum, Reza mengakui tidak melakukan kroscek langsung ke lapangan terkait kerusakan lingkungan yang disebabkan dua perusahaan tersebut sesuai dengan hitungan dan kajian Walhi.
Namun ia memastikan, dari dokumen maupun administrasi dua perusahaan HPH ini tidak ada lagi persoalan lingkungan yang dilanggar.
“Sudah selesai, sudah dikeluarkan pernyataan clear dari KLHK,” kata Reza.
Sama seperti Walhi Jambi, Reza masih menunggu putusan hasil kasasi dari Mahkamah Agung. Pihaknya sudah meminta informasi ke PN Jambi, namun pengadilan juga belum mendapatkan salinan putusan dari Mahkamah Agung.
Bila pun nanti, kasasi ditolak MA, sebagai kuasa hukum. Ia akan menunggu keputusan dari perusahaan apakah akan dilakukan upaya hukum peninjauan kembali (PK).
“Kita kan bekerja berdasarkan surat kuasa dari perusahaan (PT PBP dan PDIW), gimana-gimananya kita tergantung perintah mereka,” kata Reza.
Kebakaran Didominasi di Lahan Korporasi
Menurut data Sipongi KLHK, kebakaran hutan dan lahan di Jambi seluas 115.634,34 hektare pada 2015, tahun 2016 terbakar seluas 8.281,25 hektare, kemudian tahun 2017 kembali membara seluas 109,17 hektare. Lalu tahun 2018 terbakar 1.577,75 hektare dan memuncak pada 2019 dengan total 56.593 hektare, kemudian 1.002,00 hektare pada tahun 2020. Seluas 540,00 hektare pada 2021, serta 363,00 hektare sepanjang tahun 2022 ini.
Tabel luas lahan terbakar di Jambi:
Tahun | Luas (ha) |
2015 | 115.634,34 |
2016 | 8.281,25 |
2017 | 109,17 |
2018 | 1.577,75 |
2019 | 56.593 |
2020 | 1.002,00 |
2021 | 540,00 |
2022 | 363,00 |
Sumber: Sipongi KLHK
Dari catatan Warsi, jika dilihat pada pemanfaatan lahan, karhutla terjadi hampir di semua peruntukkan lahan. Yaitu Hutan Tanaman Industri (HTI) dengan areal terbakar seluas 10.194 hektare, HPH 8.619 hektare, Perkebunan Sawit 8.185 hektare, Hutan Lindung 6.712 hektare, Restorasi Ekosistem 6.648 hektare, Taman Nasional 3.395 hektare, Lahan Masyarakat 2.956 hektare, dan Taman Hutan Raya (Tahura) 801 hektare.
Tabel luas kebakaran berdasarkan jenis lahan:
Jenis lahan | Luas (ha) |
HTI | 10.194 |
HPH | 8.619 |
Perkebunan Sawit | 8.185 |
Hutan Lindung | 6.712 |
Restorasi Ekosistem | 6.648 |
Taman Nasional | 3.395 |
Lahan Masyarakat | 2.956 |
Tahura | 801 |
Sumber: Warsi
Melihat data kebakaran yang terjadi di Provinsi Jambi sebagian besar berada dalam kawasan yang ada pemilik, dan pihak yang bertanggung jawab terhadap kawasan tersebut
“Kebakaran hutan dan lahan di Jambi itu paling banyak di lahan gambut, karena memang sudah terpengaruh dengan kanal, sehingga ketika musim kemarau gambut menjadi kempes,” kata Rudi Syaf, Manajer Komunikasi KKI Warsi, awal September lalu.
Warsi saat ini mendorong masyarakat untuk memperoleh izin pengelolaan lahan gambut dari KLHK dengan skema hutan desa, agar gambut terjaga dengan baik.
Jika lebih detail terlihat di Jambi, dua perusahaan HPH yaitu PT PDIW dan PT PBP yang keduanya berada di Kabupaten Muaro Jambi, mengalami kebakaran lahan berulang yaitu pada tahun 2015 dan di tahun 2019.
Demikian juga dengan perusahaan HTI, juga mengalami kebakaran berulang baik di tahun 2015 maupun di 2019. Antaranya PT Wira Karya Sakti (WKS), dan eks PT DHL. Perkebunan Sawit yang juga terbakar berulang ada PT CIN, PT Agro Tumbuh Gemilang Abadi (ATGA), dan PT MAS.
Sejumlah perusahaan di atas mengklaim telah melakukan upaya-upaya mitigasi, untuk menghindari kebakaran berulang di lahan konsesi miliknya.
Humas PT WKS, Taufik Qurochman mengatakan, perusahaan telah membangun infrastruktur pembasahan sesuai dengan arahan KLHK untuk menjaga tinggi muka air tanah terjaga sesuai dengan ambang batas.
“Ini kita lakukan untuk menjaga ketersediaan air dan kelembaban lahan yang diamanatkan dalam regulasi pemerintah,” kata Taufik dalam keterangan tertulis.
Ia menyebut, PT WKS juga memiliki perlengkapan pemadam kebakaran dan personel terlatih yang siap siaga melakukan kegiatan preventif bersama masyarakat sekitar konsesi dan stakeholder terkait, bersama satgas karhutla Provinsi Jambi, BPBD Provinsi Jambi dan TNI/Polri.
PT WKS, lanjutnya, juga telah dilengkapi dengan early detection prosedur menggunakan perlengkapan IT yang memadai, serta tim rapid respon yang dilengkapi dengan personel terlatih dan peralatan lengkap seperti helikopter water boombing, air booth, kendaraan patrol, menara api, dan drone.
“Kita juga memiliki kamera pengintai yang siap diturunkan saat terjadinya kebakaran,” kata Taufik.
Sementara, PT ATGA memiliki tantangan yang lebih berat agar menjaga lahan konsesinya tidak mengalami kebakaran berulang. Selain berada di atas lahan gambut, konsesi PT ATGA berbatasan langsung dengan Hutan Lindung Gambut Londrang. Areal akses terbuka yang sejak tahun 1997 mengalami kebakaran hebat.
“Untuk mengantisipasi kebakaran lahan, di samping menyiapkan peralatan, perusahaan juga berkolaborasi dengan berbagai pihak baik TNI maupun Polri. Untuk sama-sama menjaga areal HLG Londrang,” kata Kuasa Hukum PT ATGA, Omar Syarif Abdalla.
“Kami juga memasang CCTV asap digital yang diinisiasi Polda Jambi agar mempermudah deteksi dini bahaya kebakaran,” tambah Omar.
Kelalaian Pemegang Konsesi
Menurut Rudi Syaf, ada ketidakpatuhan pemegang izin di kawasan gambut untuk mempertahankan muka air gambut minimal 40 cm di bawah permukaan tanah. Di samping itu juga ada ketidakpatuhan menyiapkan sarana dan prasaran serta sumber daya untuk penanggulangan kebakaran.
Padahal, lanjutnya, PP Nomor 57 tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Sistem Gambut jelas menyebutkan kewajiban untuk mempertahankan muka air gambut minimal 40 cm dari permukaan, dan kewajiban untuk tersedianya peralatan dan manusia yang bertanggung jawab untuk mencegah kebakaran secara mutlak.
“Namun faktanya di lapangan ada perusahaan yang menurunkan permukaan air gambut hingga kedalaman dua meter,” sebut Rudi.
Untuk menyelamatkan Jambi dari bencana kebakaran yang berulang setiap kemarau, Warsi menyerukan kepada berbagai pihak terutama perusahaan pemegang konsesi. Untuk mengembalikan gambut pada fitrahnya sebagai daerah lindung, terutama gambut dalam.
Di Provinsi Jambi terdapat 29.701 hektare gambut dengan kedalaman lebih dari 4 meter yang dibebani izin untuk HTI dan Perkebunan Sawit.
“Kita memang tidak bisa mengintervensi perusahaan, tetapi kita terus kampanyekan agar dilakukan reforma gambut, fungsi gambut harus dikembalikan,” tegasnya.
Di konsesi HTI dan HGU, lanjutnya, sudah dibuat sistem drainase berupa kanal. Dan kanal korporasi sudah jelas sangat dalam mencapai sekitar 6 meter yang difungsikan untuk pengangkutan hasil produksi. Sehingga ketika musim kemarau akan berimbas kepada kawasan hutan lindung, terutama di kawasan gambut yang sistemnya saling terhubung (kapilaritas).
“Ini yang menyebabkan kawasan gambut sangat mudah terbakar,” katanya.
“Tapi kita sulit juga jika hanya menyalahkan satu pihak,” tambah Rudi.
Menurutnya, pemegang konsesi membuat drainase secara sembarangan mengakibatkan cadangan air di kawasan hutan lindung ikut terkuras dan menjadi kering sehingga rawan terbakar.
Persoalan lainnya, memang ada kelompok-kelompok tertentu seperti pemilik modal, buruh dan pekerja yang juga punya ketergantungan ekonomi terhadap pembukaan lahan.
“Nah ini saling kait-berkait, akhirnya pengalaman terburuk terjadi di hutan lindung Londrang yang pada tahun 2019, 100 persen terbakar. Sekelilingnya kawasan perusahaan,” beber Rudi.
Lalu seperti apa tanggung jawab perusahaan? Warsi melihatnya kata Rudi, pemegang konsesi di sekeliling hutan lindung harus bertanggung jawab mutlak. Sebab sistem drainase perusahaan yang mengeringkan cadangan air hutan lindung.
“Walaupun nanti mereka berdalih tidak membuat kanal sampai ke dalam hutan lindung, benar. Tapi sistem drainase yang mereka buat akan menyedot air yang ada di hutan lindung di gambut yang saling terhubung,” kata Rudi.
Menurutnya, tidak ada tanggung jawab perusahaan terhadap kawasan hutan lindung yang terbakar. Bila ada kebakaran tanggung jawab dilempar ke pemerintah. Walau pun tidak dipungkiri saat terjadi kebakaran lahan dan hutan, pemerintah akan meminta bantuan dari perusahaan-perusahaan tersebut.
“Harus diakui juga pihak swasta yang ada di sekeliling hutan lindung memang ikut membantu proses pemadaman kebakaran,” katanya.
Namun bila bicara penegakan hukum karhutla, menurut Rudi, yang terpenting itu adalah pencegahan bukan pemadaman, salah satu pencegahan tadi mendorong permukaan air gambut 40 cm, membuat buffer (kawasan penyangga). Dan pencegahan berikutnya adalah konflik-konflik lahan antara perusahaan dan masyarakat harus cepat diurai.
“Harus resolusi konflik, karena bila terus konflik, bisa-bisa masyarakat akan nekat membakar lahan milik perusahaan,” kata Rudi.
“Ini harus cepat selesai, jika tidak akan potensial terjadi kebakaran berulang di lokasi yang sama,” katanya menambahkan.
Pemerintah juga harus aktif ikut menyelasaikan konflik terutama di kawasan gambut yang potensial menimbulkan api.
Rudi menyebut, kasus kebakaran menurun sejak tahun 2019 karena tidak ada terjadi kemarau panjang. Akan tetapi buktinya, tahun 2022 sempat terjadi kemarau pendek antara bulan April- Mei, “Kan langsung juga kita lihat helikopter water boombing terlihat terbang bolak-balik untuk memadamkan api,” kata Rudi.
Meskipun pascakebakaran 2019, pemerintah sekarang lebih siap untuk memadamkan, tapi untuk mencegah masih agak lamban, “Padahal dengan pencegahan lebih efisien dalam anggaran dari pada memamdankan,” kata Rudi.
Namun menurutnya, untuk mempertahankan muka air 40 cm di lahan gambut banyak perusahaan masih “membandel”. Alasannya, karena kebijakan itu akan mengganggu produksi perusahaan, baik perkebunan maupun tanaman industri.
“Sebab akar tanaman milik perusahaan terendam. Bila sawit produksi buah akan rendah, bila akasia daunnya cepat menguning dan berpengaruh terhadap pertumbuhan batang,” kata Rudi menjelaskan.
Walhi Desak Penegakan Hukum
Dari hasil investigasi yang dilakukan selama 4 bulan oleh Walhi Jambi terhadap restorasi gambut di kawasan perusahaan pada tahun 2020 lalu. Sebagian besar perusahaan tidak menjalankan mandat restorasi. Adapun objek investigasi dilakukan di tiga daerah. Meliputi Kabupaten Sarolangun, Muaro Jambi, dan Tanjung Jabung Timur.
Metodologi yang dilakukan Walhi mulai dari analisis spasial, analisis temuan di lapangan, dan analisis sumber data dari dokumen Rencana Tindak Tahunan (RTT).
Ada 8 perusahaan yang diinvestigasi. Yaitu PT BGR, PT KU, PT SNP, PT BKS, dan PT PKM (perkebunan sawit). Kemudian PT PDIW dan PT PBP (HPH) serta PT WKS Distrik VII (HTI).
“Dari 8 perusahaan ini persoalannya sama, tidak merestorasi gambut dan masih menanam di kawasan gambut dalam (peat dome),” kata Abdullah, akhir Agustus lalu.
Abdullah juga memaparkan hasil temuan di lapangan seperti tidak ada pembangunan sekat kanal. Dan setelah kebakaran, perusahaan masih menanami sawit kembali.
“Seharusnya dalam regulasi harus dipulihkan, karena kewajiban restorasi sudah ada diregulasi,” katanya.
“Munculnya kembali wilayah kebakaran di area perusahaan membuktikan bahwa sampai saat ini upaya penegakan hukum masih lemah, dan upaya restorasi yang gagal,” tegasnya.
Rekam jejak karhutla tahun 2015 dan 2019 selalu disuguhkan lemahnya penegakan hukum pada kelompok perusahaan. Padahal kelompok perusahaan adalah paling banyak menyumbang bencana kabut asap, terutama kebakaran di area konsesi lahan gambut.
“Maka selaku organisasi masyarakat sipil, kami turut mendorong penegakan hukum yang seharunya dilakukan, salah satunya kami lakukan lewat gugatan terhadap dua perusahaan,” kata Abdullah.
Menurutnya, penegakan hukum akan selalu menjadi lelucon bila setiap musim kemarau terjadi karhutla di wilayah konsesi, karena tidak ada penindakan dari pemerintah.
“Kita sudah turun ke lapangan, sudah memastikan kebakaran terjadi di lahan izin milik perusahaan. Lalu kita cek lagi infrastrukturnya tidak memadai, kemudian tidak ada penegakan hukum jadinya sama dengan bohong, sehingga bakal terjadi terus,” katanya.
Masih menurutnya, persiapan pemerintah dalam mencegah karhulta hanya sebatas menetapkan dan menaikkan status. Dan yang banyak dimintai bantuan oleh pemerintah adalah perusahaan-perusahaan besar yang memiliki infrastruktur lengkap.
“Tapi ini kan justru jadi salah satu jualan perusahaan,” katanya.
Sehingga sulit bagi pemerintah untuk melakukan tindakan terhadap perusahaan yang lahannya mengalami kebakaran berulang, seperti yang terjadi di lahan Distrik VII milik PT WKS (Sinarmas Grup) yang sampai saat ini tidak ada tindak lanjutnya.
“Sanksi administratif yang diberikan tidak jalan. Seharusnya diberikan denda seberat-beratnya,” kata Abdullah.
PT WKS sendiri mengaku patuh dan menaati penegakan hukum di bidang kehutanan, salah satunya adalah dengan menjalankan aturan sebagaimana diamanatkan dalam Peraturan Menteri LHK Nomor P.16/MENLHK/SETJEN/KUM.1/2/2017 tentang Pedoman Teknis Pemulihan Fungsi Ekosistem Gambut.
Humas PT WKS, Taufik Qurochman mengatakan, terhadap kasus kebakaran lahan di Distrik VII. PT WKS telah berkomitmen mengimplementasikan rencana pemulihan yang tertuang dalam dokumen pemulihan yang telah disahkan kementerian.
“Terlebih selama ini sumber api berasal bukan dari dalam konsesi,” kata Taufik menegaskan.
Dari catatan Walhi Jambi, penegakan hukum terhadap 46 perusahaan di lahan terbakar pada 2015, hanya 5 perusahaan diproses hukum. Ke-5 perusahaan ini adalah PT RKK (sawit), PT DHL (HTI). Lalu, PT KU (HTI) dan PT WS (HTI)– izin dicabut KLHK– dan PT ATGA (vonis bebas di PN Muara Sabak).
PT ATGA yang awalnya yang lolos dari jeratan hukum di tingkat pengadilan Muarasabak pada tahun 2015. Namun, pada tahun 2020 divonis mengganti denda pemulihan lahan sebesar Rp590 miliar setelah PN Jambi mengabulkan gugatan KLHK. Vonis ini juga diperkuat dengan putusan Mahkamah Agung pada 2021, setelah PT ATGA melakukan upaya kasasi.
“Saat ini kami mengajukan upaya hukum peninjauan kembali, karena banyak sekali kekeliruan dalam putusan peradilan terdahulu. Salah satunya terhadap objek yang terbakar,” kata Kuasa Hukum PT ATGA, Omar Syarif Abdalla.
Omar menjelaskan, luasan areal lahan terbakar dalam gugatan dan putusan mendasarkan izin prinsip sebesar 12 ribuan hektare, “Sedangkan IUP dan HGU kita hanya 2.300 hektare, yang mana juga bertentangan dengan putusan pidana,” katanya.
Lalu, kata Omar, UU menghendaki penerapan strict liability tidak perlu dibuktikan tetapi putusan mendasari bukti-bukti ahli dari tergugat dan ketika dibuktikan maka itu menjadi gugatan perbuatan melawan hukum. Itu tegas dalam putusan. Selanjutnya, perubahan UU 32/2009 tentang Lingkungan Hidup oleh Omnibus Law khusus pasal 88 UUPLH gugatan strict liability harus dibuktikan.
“Hal ini memperjelas putusan PN sampai MA sangat keliru,” tegas Omar.
Tindak Tegas Pembakar Hutan
Kebakaran hutan hebat seperti tahun 2015 dan 2019, menyebabkan kerugian yang sangat besar bagi negara. Selain berdampak pada tersendatnya roda perekonomian, karhutla juga mengganggu hubungan bilateral dengan negara tetangga karena terdampak kabut asap.
Pemerintah pun menyuarakan ketegasannya melalui Menko Polhukam Mahfud Md, dalam rapat koordinasi khusus terkait antisipasi karhutla 2022 dengan KLHK akhir Juli lalu. Mahfud menegaskan bakal menindak tegas pelaku pembakaran hutan. Mahfud mengaku sudah memerintahkan aparat penegak hukum dan pemerintah daerah untuk menjerat pembakar hutan dengan hukum pidana.
“Pemerintah akan menindak tegas pelaku pembakaran hutan termasuk korporasi. Para pelaku akan ditindak dengan hukum administrasi negara, perdata, hingga pidana,” kata Mahfud dalam tayangan youtube Antara TV.
Sampai hari ini, katanya, pemerintah sudah mempersiapkannya dengan baik dan sudah mengidentifikasi tempat-tempat yang agak rawan, dan kapan kerawanan itu terjadi. Misalnya pada Agustus-September itu sudah agak meninggi kerawanan terjadinya kebakaran lahan.
“Ini kami akan bersungguh sungguh. Kami akan terbuka dari gedung ini. Jangan main-main,” tegasnya.
Liputan ini didukung Transparency International Indonesia (TII), The European Union dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia dalam program Residensi Antikorupsi “Mewartakan Jurnalisme Hukum”