Menyumbun: Mengajarkan Kita Untuk Menjaga Laut

Deru mesin kapal pompong saling bersahutan dan menghiasi pendengaran telinga saat perjalanan mengantarkan saya dan rombongan ke Beting, Muara Kampung Laut di Tanjung Jabung Timur, Jambi. Siang itu, Senin (24/6/2019) terik matahari cukup panas, air laut sedang surut menjadi waktu yang tepat menuju ke Beting.

Beting atau timbunan pasir yang menjadi tujuan kami itu bentuknya amat luas dan memanjang dari Muara Sungai Batanghari hingga ke tepi laut pantai timur Sumatera. Beting menjadi lokasi habitat biota laut Kerang Sumbun (Solen Grandis), atau warga lokal menyebutnya dengan nama Kerang Bambu.

Setiap pertengahan tahun– April hingga Juni, di Beting itu pula habitat Kerang Sumbun akan banyak dicari oleh para nelayan. Bertepatan dengan itu juga digelar tradisi “mutik” Sumbun atau warga lokal menyebutnya dengan kata “nyumbun”.

Dalam sepanjang perjalanan, terlihat kapal-kapal pompong milik nelayan ada yang beranjak ke laut dan ada pula yang pulang. Mereka saling bersahutan lewat suara mesinnya yang khas.

Butuh perjalanan sekitar 30 menit. Kami menumpang kapal pompong nelayan. Setiba di bibir Beting, kami langsung menyisingkan celana dan kemudian satu persatu telapak kaki kami langsung menapak ke pasir. Ternyata di sana banyak nelayan perempuan yang sudah menyisir dan mencari lubang kunci yang menjadi sarang Sumbun.

Umumnya perempuan yang menjadi nelayan Sumbun di Beting tersebut, telah melengkapi peralatan pancing bambu yang sudah dibentuk seperti lidi. Wajah mereka berbalut pupur atau bedak dingin untuk melidungi dari panasnya terik matahari. Mereka berjalan sambil menenteng peralatan dan menyusuri Beting untuk mencari lubang yang menjadi sarang sumbun. Mereka sudah sangat lihai.

Salah seorang nelayan perempuan menunjukan Sumbun hasil pancingannya.  Kerang Sumbun itu memiliki bentuk yang unik dan berbeda dengan kerang biasanya. Ia berbentuk panjang. Panjangnya sekuruan jari telunjuk orang dewasa. Oleh masyarakat lokal, Sumbun selain dijual, juga dikonsumsi sendiri.

Tradisi Nyumbun

Tak berselang lama, ratusan warga yang mengikuti tradisi nyumbun yang dikemas melalui Festival Sumbun mulai berdatangan, umumnya mereka menumpang kapal pompong nelayan. Di lokasi Beting itu pun berubah menjadi ramai.

Tradisi nyumbun menurut penuturan warga, dulunya hanya dilakukan turun temurun oleh warga Suku Duano. Namun kini tradisi itu juga dilakukan oleh warga suku lainnya di Kampung Laut, bahkan kini tradisi itu menjadi pagelaran wisata yang dikemas melalui festival.

Berjalan perlahan saat menyisir Beting, kami bertemu dengan Ishak, pemuda Kampung Laut. Sambil membawa lidi dan wadah dari bambu yang berisi kapur sirih. Saya pun mulai berbicara dengan Ishak.

Dalam pembicaraan saya dengan Ishak pemuda asli Kampung Laut itu mengatakan, ada beberapa pantangan yang harus diketahui saat kita nyumbun. Ia bilang bahwa saat nyumbun kita di wanti-wanti untuk tidak berbicara kotor dan senonoh.

Oleh warga setempat, Beting di Kampung Laut dikenal sebagai lokasi yang cukup sakral. Sambung cerita kata Ishak, setiap tahun di Beting itu selalu memberi bencana jika kita tidak menghormati aturan di sana. “Di sini kita boleh membawa Kerang Sumbun sebanyak-banyaknya, tapi juga yang harus diingat kita tidak boleh ngomong kotor saat kita nyumbun,” kata Ishak seraya menambahkan bahwa kita juga tidak boleh mengotori laut dengan sampah.

Kemudian saat kita nyumbun, juga kita tidak diperkenankan berenang di bibir Beting. “Karena di bibir Beting tersebut banyak ular laut.”

Tradisi nyumbun yang awalnya dilakukan secara turun menurun oleh warga Suku Duano di Beting Kampung Laut, kata Ishak mempunyai filosofi dan mengajarkan agar kita ramah dan menghormati laut. Saat event wisata tradisi nyumbun yang banyak didatangi warga, jangan sampai merusak atau mengotori laut.

“Kita tidak bisa berbuat se-enak hati di laut, termasuk kita juga harus menjaga (laut), terutama saat ramai dikunjungi warga dan wisatawan,” kata Ishak.

Sebelum dimulainya tradisi nyumbun, terlebih dulu dilakukan ritual menggunakan tepugn tawar. Ritual menggunakan tepung tawar disiapkan oleh tetua kampung di Kampung Laut.

Tepung tawar dan beras kunyit harus disiapkan dan wajib lengkapi sebelum tradisi nyumbun dilakukan. Menurut tetua kampung Ismail Fahmi saat diwawancarai oleh Master of Ceremony (MC) dalam festival sumbun mengatakan, tepung tawar memiliki makna “salam selamat datang.”

Sesaji tepung tawar diletakan di depan panggung festival. Sesaji itu kudu ada sebelum rombongan melakukan perjalanan ke Beting yang merupakan lokasi untuk nyumbun. Tradisi ini sudah ada sejak dulu dan menjadi warisan hingga sekarang dan kenal sebagai adat Melayu Timur.

Selain bertujuan sebagai salam selamat datang, adat tepung tawar yang mesti disiapkan itu juga memiliki tujuan untuk mohon perlindungan supaya diberi keselamatan saat turun ke Beting.

Zaman boleh saja modern, tapi adat istiadat seperti ini perlu dilestarikan. Inilah khazanah budaya bangsa yang masih lestari di pesisir timur Jambi. Termasuk juga adat yang mengajarkan kepada generasi sekarang untuk menghormati dan menjaga laut.

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Posts