Melihat Gambut dari Segelas Kopi

Jon Afrizal*

“Manalah enak. Kopi Liberika itu, ya begini, tetap asli.”

Demikian ucapan yang selalu ku dengar, jika aku bertanya soal kopi tarik, kepada para pelaku bisnis Kopi Liberika di Provinsi Jambi.

Padahal, berton-ton kopi “made in gambut” itu, diolah menjadi kopi tarik, jika sudah diekspor ke negara tetangga. Demikian keterangan yang ku dapat dari beberapa orang Indonesia yang merantau ke sana.

Liberika, adalah satu dari tiga jenis kopi yang ada di Provinsi Jambi. Secara mudah, terdapat tiga pembagian wilayah untuk tiga jenis kopi itu.

Liberika untuk kawasan gambut, robusta untuk dataran sedang, dan arabika untuk dataran tinggi. Nanti dulu, jika ada yang mau berteori soal kopi.

Kopi robusta, adalah jenis kopi yang biasa kita minum di banyak warung kopi (warkop) tradisional di kota ini. Dengan harga sekitar Rp5.000 per gelas, sambil mencicipi kue basah tradisional, plus cuap cuap para pengunjung warung.

Tapi, hanya di area tertentu saja. Sebab, minum kopi di warung bukanlah kebiasaan warga di sini. Budaya itu, lebih pas dengan istilah “lapau”, jika anda terbiasa atau pernah ke ranah Minang.

Tetapi, di sana, “kekentalan dan dedak”, sebagai sesuatu yang harus untuk menghidangkan kopi, kerap terlupakan. Berbeda dengan di sini, ada prasa diantara sesama kawan, “jika air kopi tidak kental atau encer, itu bukan kopi, melainkan kuah kolak.”

Jangan marah dulu, kita sedang bicara soal “rasa” kan? Sama seperti orang-orang yang tiba-tiba bicara tentang kopi saat ini.

Sekitar 10 tahun terakhir, bertaburanlah para aktifis dan pembicara kopi di kota ini. Bak jamur di musim hujan pula, muncul banyak cafe.

Cafe (: coffee), atau cafetaria, yakni sejenis ruang terbuka, yang digunakan untuk minum kopi bagi warga di negara empat musim. Di sini, yup, kita kenal dengan “warung kopi” atau warkop, sebuah tempat berbau asap tembakau kretek, dan pisang goreng, dan lontong Padang.

Bicara soal rasa, adalah juga membiasakan diri bicara soal budaya. Negeri dengan sinar matahari yang membakar ubun-ubun kepala pada siang hari ini, tentu tidak cocok untuk dibuatkan sebuah ruang terbuka untuk kongkow, ehm, demikian istilah gahol-nya.

Lalu diadaptasi menjadi, sebuah ruang dengan air conditioner yang mendingini seisi ruangan, dan sentuhan wifi agar pengunjung bisa ber-game online.

Ups, pasar berbeda untuk generasi yang berbeda. Dengan, ehm, harga yang berbeda juga. Untuk satu gelas kopi, yang tetap, robusta, akan dibanderol dengan harga minimal Rp 15.000.

“Jelas, ini kopi murni,” demikian para aktifis kopi sering menyebutkan.

Lalu, apakah ada kopi sintetis, atau kopi yang berasal dari bahan kimiawi? Entahlah, biar para pakar kopi tadi yang menterjemahkan pertanyaan ini.

Sama seperti di areal gambut, dengan Liberika-nya, di sana juga tidak dikenal tradisi nongkrong di warkop, sambil menunggu waktu berkerja, misalnya. Terkecuali di Kota Kuala Tungkal Kabupaten Tanjungjabung Barat.

Warung kopi milik babah dan koko akan sibuk melayani pembeli, sejak pagi hingga tengah hari. Penyajiannya, bubuk kopi direbus di dalam sejenis panci yang airnya tengah menggelegak, lalu beberapa menit kemudian disaring dengan menggunakan kain tipis berukuran dan berbentuk seperti kaus kaki.

Lalu, dihidangkan tanpa dedak. Minum segelas kopi, sambil memakan dua lapis roti tawar dengan selai durian, ataupun yang lainnya.

Oh, kita sedang bicara soal rasa kan? Begini cara mereka merasakan nikmatnya minum kopi. Tentunya, sambil bercerita antar sesama pengunjung.

Urusan kopi Liberika juga demikian. Beberapa hari lalu, aku berkunjung ke sebuah kedai kopi di kawasan pasang “gambut” surut di sekitar Kota Kuala Tungkal. Sebuah kedai untuk anak muda.

Ku coba memesan kopi tarik Liberika. Tapi, cara penyajiannya tidak seseru yang ku lihat di internet. Kopi yang diberi susu dan beberapa campuran lain, yang ditarik dari satu gelas ke wadah kaleng berkali-kali. Hingga berbusa di bagian atas gelas, ketika dihidangkan.

Ternyata, mereka tidak tau caranya, meskipun pengunjung dimanjakan dengan belaian wifi anti-kuota habis.

Sejauh ini, yang kita lihat adalah sebuah ketertinggalan. Areal pesisir pantai timur Sumatera, yang meskipun telah dihuni sejak lama, namun baru terbuka pada tahun ’90-an lalu.

Yakni, setelah diberlakukannya Jalan Lintas Timur Sumatera (JLTS). Dimulai dengan pembangunan Jembatan Aurduri, atau, jika menggunakan istilah proyek, maka disebut Jembatan Batanghari I. Yup, dilanjutkan dengan proyek pembangunan Jembatan Batanghari II, tentunya.

Sebelumnya, ehm, butuh waktu perjalanan selama satu malam dari Kota Jambi menuju Muara Sabak, misalnya. Dengan menggunakan kendaraan air bermesin yang bernama “pompong”, untuk menghiliri (sungai) Batanghari, yang bermuara ke Laut China Selatan itu.

Sama halnya dengan Kota Kuala Tungkal, dengan iklim “pasang surut”, dimana air bersih adalah barang yang mahal.

Sehingga, jika kita memaksakan untuk kembali menggunakan transportasi sungai, maka, sama artinya dengan membawa masyarakat yang hidup di sana untuk kembali ke era pompong. Dimana, setelah keluar dari pompong, siapapun yang belum terbiasa, akan segera membersihkan kotoran di kedua lubang hidungnya.

Mari, kita sedang bicara tentang rasa, di sini. Dan rasa rasanya, sangat tidak berpe-rasa-an untuk membuat mereka tidak seperti kita yang hidup di era modern ini.

Membiarkan mereka tetap tidak memahami apa yang tengah terjadi saat ini.

Jelas saja dengan komoditas biji kopi yang berlimpah, mereka menjadi permainan pasar. Harga biji kopi Liberika terus merosot. Dimulai dari angka Rp90.000 per kilogram di era Presiden BJ Habibie, dan kini, hanya Rp29.000 per kilogramnya.

Wow dan wow, dan kita semua secara bangga menyebut diri daerah produsen kopi? Mari, kita kini sedang bicara tentang rasa.

Suatu ketika, seorang guru konservasi-ku membawa buah tangan, atau oleh-oleh, dari sebuah negara di Eropa. Sebagai bangsa Timur, oleh-oleh adalah “Is Must”.

Tapi, kargo air plane adalah butuh biaya. Sehingga, ia pun mencari sesuatu yang ringkas saja. Hasilnya, ia membawa tiga bungkus kopi kemasan, untuk tiga gelas.

Ketika ku nikmati, tetap saja, itu adalah biji kopi robusta. Dan, entah dimana, di Eropa sana bisa ditanam kopi robusta, biarlah teoritikus kopi terkini yang membahasnya, di pertemuan kopi Inter-Dusun pada hari kopi sedunia di tahun berikutnya.

Artinya, komoditas biji kopi yang kita miliki pun harus mengikuti pasar. Tidak lagi mengekspornya dengan jumlah berton-ton dalam kurun waktu satu tahun, melainkan dalam bentuk kemasan praktis siap saji.

Mari, kita semua sedang bicara tentang rasa. Dan, rasa rasanya, kita semua tertinggal jauh di belakang.

Masih sibuk berdebat tentang apa itu kopi yang sebenarnya, dengan smartphone yang sesekali berdering, tetapi lupa browsing di mesin pencari internet untuk mengikuti perkembangannya. ***

* Jurnalis TheJakartaPost

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Posts
Read More

Jangan Pupuk Rasialisme

Jon Afrizal* Rasialisme adalah persoalan besar saat ini. Amerika kembali merasakan goncangan hebatnya, setidaknya untuk yang ketiga kali.…