Lahan Jangan Dibakar, tapi Diberi Pupuk Kompos

Jon Afrizal*

Para petani di Desa Merbau, Kecamatan Mendahara, Kabupaten Tanjungjabung Timur selama ini terbiasa untuk membakar jika membuka lahan untuk areal pertanian. Sebab, biayanya murah, dan areal gambut diyakini akan semakin subur untuk ditanami.

Namun, sejak kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) yang hebat di Provinsi Jambi di tahun 2015 lalu, terlebih dengan adanya berbagai undang-undang dan peraturan terkait kebakaran hutan dan lahan, berikut juga sanksinya, kebiasaan itu mulai ditinggalkan.

“Kami tidak ingin terus menerus disalahkan sebagai biang dari kabut asap yang berasal dari Karhutla. Meskipun itu tidak sepenuhnya benar,” kata Rudiyanto, Sabtu (29/8).

Rudiyanto adalah Ketua Kelompok Tani (Poktan) Sumber Usaha. Sebuah kelompok yang terdiri dari 30 orang petani di Desa Merbau, yang diprakarsai oleh Kemitraan Partnership, lembaga mitra Badan Restorasi Gambut (BRG) di daerah.

Kelompok ini telah terbentuk sejak dua tahun lalu. Dengan tujuan untuk tetap bertani, tanpa perlu lagi untuk membakar lahan.

Caranya, adalah dengan membuat pupuk kompos. Kompos itu terdiri dari bahan-bahan yang mudah didapat oleh petani. Yakni kotoran ternak sapi dan kambing, rumput-rumputan, serabut kelapa, dan bongkol pisang.

Lalu dicampur dengan gula merah, untuk selanjutnya melalui proses fermentasi selama 1 bulan. Namun, agar hasilnya baik, bahan-bahan itu diaduk rata dan dibolakbalik setiap satu kali dalam seminggu.

Agus, seorang anggota kelompok mengatakan, kompos itu telah mereka gunakan untuk areal percontohan seluas 2.500 meter persegi. Mereka menanaminya dengan cabai, terong dan kangkung.

“Dengan pupuk kompos, hasil panen malah lebih berkualitas dan banyak,” kata Agus.

Supriyanto, fasilitator desa dari Kemitraan Partnership mengatakan areal percontohan ini sebelumnya adalah lahan yang telah dibuka dengan cara dibakar. Lalu, dialihkan untuk menjadi areal percontohan. Dengan memberikan pupuk kompos, katanya, unsur tanah yang rusak dapat diperbaiki.

“Jadi wajar saja hasilnya banyak dan bagus,” kata Supriyanto.

Areal percontohan yang dikelola oleh petani Desa Merbau Kecamatan Mendahara Kabupaten Tanjungjabung Timur. Di sini dilakukan pembuatan pupuk kompos, penyemaian benih, dan penanaman tumbuhan cabai. (credit tittle : Jon Afrizal)

Triharyono, petani yang lain, mengatakan di areal percontohan itu juga telah disemai tanaman cabai dengan menggunakan pupuk kompos sebagai bahan dasar. Sekitar satu bulan di sana, atau, pekan kedua bulan September nanti, cabai akan ditanam di areal biasa.

“Untuk mengatasi hama, kami juga menggunakan bahan organik,” kata Triharyono.

Dengan hasil yang lumayan, jika panen, mereka bisa mendapatkan Rp40.000 per 1 kilogram cabai untuk harga tertinggi atau Rp25.000 kilogram per 1 kilogram cabai untuk harga terendah, pada satu kali panen, yakni tiga bulan. Untuk real percontohan itu, mereka mendapatkan Rp8 juta per 1 kali panen.

“Tetapi, tidak mungkin hanya cabai yang kami tanam. Nenas juga karena hasilnya juga lumayan,” kata Triharyono.

Untuk nanas, katanya, mereka menghasilkan uang sekitar Rp5.000 per buah untuk harga tertiggi, atau Rp3.000 per buah untuk harga terendah. Dengan luas lahan 1 hektare, mereka akan mendapatkan sekitar 5.000 buah per panen, atau per empat bulan.

Di desa mereka, terdapat sebanyak 19 unit sekat kanal, yang dibangun dengan biaya negara. Tetapi, menyikapi musim kemarau ini, mereka juga berharap agar sumur bor dibuatkan juga.

Jika kemarau panjang, areal pertanian yang berada jauh dari sekat kanal tentu butuh sumur bor. Supaya cepat menanggulangi api jika Karhutla terjadi.***

* Jurnalis TheJakartaPost

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Posts