Mengajar Bertanam kepada Indigenous People 

Jon Afrizal*

Orang Rimba yang berada di lansekap Bukit Tigapuluh, tepatnya di areal konsesi perebunan karet PT Lestari Asri Jaya (LAJ) di Kecamatan Sumay Kabupaten Tebo memiliki kesamaan budaya dengan turunan awal mereka di lansekap Bukit Duabelas. Yakni berburu dan meramu.

Adalah 138 Orang Rimba dengan 37 Kepala Keluarga (KK) yang bermukim di Wildife Conservation Area (WCA), sebuah bagian areal konservasi di konsesi perkebunan karet anak perusahaan PT Royal Lestari Utama (RLU) ini.

Mereka tetap mencari berbagai hasil hutan untuk dijual ke penampung di desa-desa sekitar, seperti Pemayungan dan Suo-Suo. Ada berbagai hasil yang kerap mereka jual seperti buah jernang, damar dan medu (madu) manis yang berasal dari pohon sialang.

Mereka “mandah” atau masuk ke dalam kerapatan hutan di Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT) selama beberapa hari untuk mengumpulkannya.

“Semuanya tergantung kelincahan kami untuk mendapatkannya,” kata Temenggung Hasan, satu dari lima ketua rombongan Orang Rimba di sana, pekan lalu.

Namun, kondisi hutan yang telah rusak sejak beberapa waktu lalu, telah membuat mereka berpikir sendiri, bagaimana jika suatu saat hasil hutan sudah tidak ada lagi.

Temenggung Buyung mengatakan sejak enam bulan terakhir ini mereka tengah menyibukkan diri untuk mencari dan menanam berbagai tumbuhan hutan yang dapat untuk dikonsumsi, di sebuah lahan di sebelah rumahnya.

Di sana, mereka menanam bibit jengkol, pete, kelukup, jernang dan durian hutan.

“Sekitar dua atau tiga bulan lagi, bibit-bibit ini telah bisa ditanam,” kata Temenggung Buyung.

Selain itu, terdapat dua kolam bibit berisi masing-masing 1.000 bibit ikan nila dan patin.

“Enam bulan lagi, kita panen. Bepak (bapak) harus ikut juga mencicipinya,” katanya kepadaku.

Ini adalah sesuatu yang baru bagi mereka. Menurut Public Affairs General Manager PT RLU, Arifadi Budiarjo, ini adalah satu cara untuk mengangkat harkat Orang Rimba.

Seorang pekerja tengah men-deres getah karet di konsesi PT LAJ. Karet adalah satu komoditas perkebunan unggulan di Provinsi Jambi. (credit tittle : Jon Afrizal/kilasjambi.com)

Sebab, berdasarkan pengakuan Temenggung Buyung, lahan adat mereka telah berkurang sangat jauh. Ini karena telah beralih tangan, baik secara berkongsi, dan akhirnya tertipu.

“Satu tanggungjawab kami adalah membuat mereka, setidaknya, dapat mengejar ketertinggalan dari masyarakat di desa,” kata Arifadi.

WCA sendiri adalah beberapa spot areal konservasi yang juga dihuni oleh sekitar 100-an ekor gajah Sumatera. Dan, pihak perusahaan pun berusaha memberi batasan yang jelas antara areal untuk individu gajah dan ratusan Orang Rimba itu.

“Memang, gajah sering datang kebun dan ladang. Tetapi, kami dapat menghalaunya,” katanya.

Mereka melagukan syair, “Oooo trenggiling kering” secara berulang kali. Ilmu ini mereka dapat dari keturunan di atas mereka.

Temenggung Buyung berkisah, syair itu berasal dari cerita bahwa suatu ketika belalai seekor gajah pernah digulung oleh satwa trenggiling. Dan, katanya, gajah sangat ketakutan.

Ini adalah usaha untuk mencoba mengangkat kearifan lokal, atau pengetahuan Orang Rimba untuk diselaraskan dalam keseharian mereka. Dan, telah tertuang di dalam kesepakatan antara Orang Rimba dan PT LAJ, yang disebut “Lampit Badewo”.

Kesepakatan ini dilakukan oleh tiga rombongan Orang Rimba yang berada di areal konsesi PT LAJ, yakni Temenggung Hasan, Buyung dan Bujang Kabut.

Luasan WCA sendiri adalah 25 persen dari total 61.000 hektare konsesi PT LAJ saat ini, atau 9.700 hektare. Yakni dengan pembagian 8.300 hektare areal lindung dan 1.400 hektare lainnya adalah areal produksi karet. WCA diinisiasi pada 2018 lalu oleh PT LAJ dan WWF-Indonesia.

Masa pandemi ini, kata Temenggung Hasan, membuat mereka jarang berada di areal WCA. Sama seperti Orang Rimba di Bukit Duabelas, mereka sangat takut terhadap penyakit menular. Semisal “slemo” atau influenza, terlebih Covid-19 yang bahkan mereka tak mengenal jenis penyakit itu.

Selain Orang Rimba, juga banyak pendatang yang berasal dari Sumatera Utara, Riau, dan Jawa. Kondisi ini membuat mereka semakin terjepit. Sehingga mereka pun meminta sejenis “perlindungan” kepada perusahaan, yang mereka anggap sebagai pengganti Rajo Gedang (pemerintah) di sana.

“Kami tidak ingin rasa keterpinggiran ini semakin menjadi-jadi, dan menyebabkan mereka tidak menjadi sebagai apapun di sini,” lanjut Arifadi.

Pendampingan terhadap Orang Rimba di kawasan ini telah dilakukan oleh Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi, dengan menempatkan beberapa orang staf-nya di sana. Ini berguna untuk membantu dua orang staf perusahaan yang bertugas untuk mendampingi mereka.

Kesulitan yang dihadapi, kata Yomi, staf perusahaan yang mendampingi Orang Rimba, adalah berubahnya tatanan kehidupan mereka akibat kerusakan lingkungan hutan tempat mereka dulu biasa berkehidupan.

Terutama semasa konsesi Hak Pengusahaan Hutan (HPH) di bawah tahun ’90-an, yang telah menebang satu persatu pepohonan tempat “para dewo” berdiam.

Orang Rimba, sebelum memeluk Islam, berkeyakinan aninisme-dinamisme. Satu dari implementasi keyakinan itu adalah bahwa pohon adalah tempat bagi para dewa berdiam. Hilangnya pohon demi pohon akibat HPH telah pula menghilangkan sisi “mereka” di dalam kehidupan Orang Rimba.

Rasa kehilangan itu berbentuk ketidakpercayaan terhadap perusahaan, dalam bentuk apapun. Sebab, bagi mereka, perusahaan adalah perusak hutan.

“Butuh waktu bagi kami, setidaknya tiga tahun ini, untuk memberikan pemahaman bahwa tidak semua perusahaan merusak hutan,” lanjut Yomi.

Sekitar satu jam perjalanan dari rumah Temenggung Hasan, yakni menuju Desa Pemayungan, yang masih berada di areal WCA, telah diizinkan untuk dibangun secara swadaya oleh masyarakat di sana sebuah “Kelas Jauh Koridor”. Kelas Jauh ini berinduk ke SD 116/VIII Pemayungan.

Suasana belajar di Kelas Jauh Koridor di Desa Pemayungan Kecamatan Sumay Kabupaten Tebo. Keterbatasan tidak melemahkan niat para siswa untuk belajar. (credit tittle : Jon Afrizal)

Menurut satu dari tiga orang guru yang bertugas di sana, Siti Mariah, sebanyak 145 siswa bersekolah di sini. Untuk kelas 1,2,3 pelajaran dinulsi sejak pukul 08.00 WIB hingga 10.00 WIB. Sedangkan untuk kelas 4,5,6 pelajaran dimulai sejak pukul 10.00 WIB hingga 13.00 WIB.

“Jika bicara sulit, jelas saja sulit. Tetapi, pendidikan adalah hak bagi siapapun, termasuk anak-anak yang hidup di sini,” kata.

Kasubbid Konflik, Pemerintahan dan Keamanan Kesbangpol Provinsi Jambi, Fiet Haryadi mengatakan adalah tidak salah jika masyarakat ber-swadaya untuk membangun sekolah atas izin perusahaan, karena alasan tertentu, seperti jarak dari rumah ke sekolah induk, misalnya.

“Tetapi, dinas dan instansi terkait harus mengawasi secara berkesimbungan. Agar anak-anak tetap dapat belajar dengan tenang tanpa terusik oleh konflik-konflik yang terjadi di sekitarnya,” katanya. ***

* Jurnalis TheJakartaPost

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Posts