KILAS JAMBI – Koalisi masyarakat sipil #BersihkanAsap menuntut pemerintah untuk bertanggungjawab atas bencana kabut asap yang terjadi di Provinsi Jambi. Bencana 4 tahunan, kabut asap ini mestinya bisa diantisipasi jika pemerintah berani mengevaluasi izin korporasi yang areanya terbakar, terutama di lahan gambut.
Menengok ke belakang pada tahun 2015-2019 menjadi catatan kelam bagi Provinsi Jambi, yang mana dalam rentang tahun tersebut terjadi kebakaran seluas 238.401,3 hektare. Dari luasan tersebut 67% (158.971 hektare) areal terbakar berada pada areal gambut dan sisanya 33% (79.430,3 hektare) pada areal mineral.
Setelah 4 tahun berlalu, kini masyarakat Jambi masih dihadapkan bencana kabut asap. Dalam rentang bulan September 2023, udara di Provinsi Jambi sebagian besar dalam kategori tidak sehat dan sangat tidak sehat. Sebanyak 7.717, khusus warga Kota Jambi terpapar Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) yang sebagian korbannya kelompok rentan seperti anak-anak.
Namun celakanya, dalam persoalan bencana kabut asap ini, Pemerintah Provinsi Jambi seperti lepas tangan. Alih-alih melindungi warganya, Pemprov Jambi malah melempar tanggungjawab bahwasanya asap yang menyelimuti wilayahnya berasal dari provinsi tetangga. Polusi kabut asap adalah lintas batas dan tidak mengenal batas wilayah.
Direktur Beranda Perempuan Ida Zubaidah mengatakan, pemerintah tidak tanggap dalam merespon kabut asap. Padahal ini adalah bencana berulang yang mestinya dapat ditanggulangi, bukan dianggap biasa. Tidak sedikit masyarakat yang tinggal dekat titik api mengalami gangguan kesehatan dan tidak ada sama sekali layanan kesehatan yang diberikan pemerintah. Khususnya bagi kelompok rentan seperti lansia, ibu hamil, dan anak-anak.
“Seharusnya pemerintah lebih gencar memberikan edukasi tentang dampak asap di sekolah-sekolah, dan membuka layanan kesehatan gratis bagi masyarakat yang tinggal di desa dekat dengan wilayah konsesi yang lahannya terbakar,” kata Ida.
Sementara itu, Direktur Perkumpulan Hijau, Feri Irawan, menilai pemerintah telah gagal melindungi warganya dari bencana kabut asap. Saat ini kata Feri, kabut asap menjadi muara dari monopoli air dan lahan.
“Hal ini semua terjadi karena sengkarut pemberian izin pemerintah kepada korporasi, terutama di kawasan gambut. Gambut mestinya dikembalikan fungsinya sebagai ekosistem lindung. Kalau gambut sudah diberikan izin, pasti perusahaan mengeringkan gambut, air yang harusnya menjadi bagian tidak terpisahkan dari lahan gambut dikeringkan untuk pertanian monokultur/HTI, saat kemarau gambut menjadi kering dan mudah terbakar,” kata Feri.
Sementara itu, dari hasil analisis WALHI Jambi banyaknya kebakaran pada areal gambut merupakan dampak dari banyaknya izin perusahaan yang diberikan, aktivitas pengeringan gambut/kanalisasi yang dilakukan oleh perusahaan serta lemahnya pengawasan kebakaran oleh perusahaan menjadi penyebab utama kebakaran hutan dan lahan.
Pemerintah yang diberikan mandat oleh rakyat juga harus memberikan sanksi dan penegakan hukum yang tegas kepada perusahaan yang terbukti melakukan pelanggaran dalam kegiatan operasional dan berakibat kepada timbulnya kebakaran hutan dan lahan yang berulang. Sementara pengurus negara ini tidak boleh terus membebani rakyat untuk mitigasi dan penanganan Karhutla, hanya dengan melakukan modifikasi cuaca. Hal ini tidak menjawab akar persoalan Karhutla yaitu lemahnya pengawasan dan penegakan hukum terhadap korporasi.
Manajer Kajian dan Pembelaan Hukum pada Walhi Jambi, Dwi Nanto mengatakan, kebakaran lahan yang terjadi di kawasan gambut tidak bisa dilepaskan oleh buruknya tata kelola yang dilakukan perusahaan. Dengan melakukan proses pengeringan air gambut di wilayah konsesinya sangat memudahkan terjadinya peristiwa Karhutla itu.
Walhi Jambi mendesak paradigma pencegahan gambut yang dilakukan pemerintah harus diubah. Prioritas pencegahan mestinya menggunakan pendekatan evaluasi tata kelola perizinan di wilayah gambut. “Pemerintah harus berani menindak perusahaan yang sengaja mengeringkan gambut,” kata Dwi.
Sementara itu, Sekretaris Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jambi, Gresi Plasmanto, mendesak pemerintah dalam keterbukaan informasi publik atas bencana kabut asap. Hal ini sesuai Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
Keterbukaan informasi publik adalah salah satu unsur dalam kehidupan berdemokrasi dan menjadi kewajiban bagi setiap pemerintahan daerah. Hal ini supaya publik bisa ikut mengontrol kebijakan pemerintah dalam mengatasi bencana kabut asap.
AJI Jambi juga mengajak seluruh pekerja media untuk bersama-sama mengawal kebijakan publik di masa bencana kabut asap, dengan tetap taat pada kode etik jurnalistik. “Peran media yang kritis dan konstruktif sangat dibutuhkan untuk mengawasi jalannya kebijakan pemerintah dalam mengatasi dampak dari bencana kabut asap,” kata Gresi.
Koalisi masyarakat sipil #BersihkanAsap mendesak:
- Pemerintah harus bertanggungjawab atas kepada rakyatnya sesuai Pasal 28h Ayat 1 Konstitusi UUD 1945 telah menyatakan, “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”
- Mendesak untuk segera melakukan evaluasi menyeluruh perizinan di Indonesia dan memberikan sanksi kepada korporasi yang terbukti melakukan pelanggaran.
- Mendesak aparat penegak hukum untuk memberikan sanksi yang tegas kepada perusahaan yang terbukti melakukan pelanggaran dalam kegiatan operasional dan berakibat kepada timbulnya kebakaran hutan dan lahan yang berulang.
- Mendesak Pemerintah Provinsi Jambi melakukan tindakan preventif berupa pengobatan gratis kepada korban kabut asap.
- Mendesak pemerintah dalam keterbukaan informasi publik atas Karhutla berdampak pada kabut asap yang telah menjadi bencana tahunan.
Beranda Perempuan, AJI Jambi, SIEJ, Walhi Jambi, Perkumpulan Hijau
11 Oktober 2023
Narahubung:
Ida Zubaidah: Beranda Perempuan
Gresi Plasmanto: AJI Jambi
Dwi Nanto: Walhi Jambi
Feri Irawan: Perkumpulan Hijau
Suang Sitanggang: The Society of Indonesian Environmental Journalists (SIEJ)