Men-Jambi-kan Indonesia?

Jon Afrizal*

Kekhawatiran adalah umum bagi pemerhati bahasa. Seiring jaman yang terus bergerak maju tak surut ke belakang, maka pola adaptasi pun terjadi.

Terlebih di Kota Jambi yang penuh dengan kemajemukan ini. Berbagai suku dan bangsa hidup saling mengisi sejak lama.

Sejak lama pula, persentuhan budaya, termasuk bahasa, telah terjadi. Contoh kecil saja, adalah penggunaan kata “sayo” yang kini sering digunakan penduduk kota ini.

Mari melihat dasar atau awalan dari mana kata itu berasal. Kata “sayo” untuk menunjukan diri itu berasal dari kata “saya” yang asalnya adalah “sahaya”.

Kata “sahaya” adalah berdampingan penggunaannya dengan “hamba”, lalu menjadi “hamba sahaya”. Yakni menunjukan sejenis “budak” yang tunduk takut pada tuannya.

Seolah, kita telah kembali di jaman dimana seseorang adalah milik orang lain, dan dapat diperjualbelikan. Atau, seorang yang tunduk takut kepada rajanya. Ini, tentunya bertentangan dengan semangat demokrasi.

Sebelum kata “saya”, yang pada awalnya dipopolulerkan penggunaannya oleh para pejabat pemerintahan di awal 2000-an, semua orang di Kota Jambi bahkan di daerah-daerah lainnya di Provinsi Jambi menggunakan kata “aku” untuk menyebut diri. Sewaktu itu, sedang riuh-riuhnya otonomi daerah.

Kita akan melihat seorang yang setara dengan siapa pun di sini. Dan bukan seorang yang menyatakan kesombongannya, seperti banyak pihak yang menolak penggunaan kata “aku” itu.

Kita alihkan sedikit ke al-Qur’an. Allah menggunakan kata “Aku” untuk menyebut dirinya. Tetapi, “Aku” dengan huruf kapital.

Tentu saja berbeda. Dalam pemahaman sufiistik, “aku” berbeda dengan “Aku”. Sebagai pembeda antara ciptaan dan penciptanya.

Secara cepat, atau menurut istilah-ku, “Seradak Bebas”, semua kata dalam bahasa Indonesia yang huruf terakhirnya adalah “a” serta merta diubah seenaknya menjadi “o”. Ini supaya terlihat Jambi.

Padahal, tidak semuanya enak didengar dan pantas untuk diubah. Bagaimana jika kata “kota” kita ubah menjadi “koto”? Lalu disandingkan dengan kata “Jambi”, maka terciptalah “Koto Jambi”.

Kenapa tidak? Sebuah candi di kompleks percandian Muara Jambi disebut “Koto Mahligai”. Sebuah kecamatan di Kabupaten Bungo bernama “VII (tujuh) Koto”.

Sebuah kata yang enak didengar dan pantas diucap biasanya membutuhkan waktu lama untuk beradaptasi. Contoh lain, adalah kata “Jawo” yang berasal dari kata “Jawa”. Ini menunjukan persinggungan budaya yang sudah sangat lama, antara para pendatang dari Pulau Jawa dengan penduduk lokal.

Bagaimana, jika Kabupaten Bungo diubah menjadi “Kabupaten Bunga”?. Toh, sudah sejak dulu penduduk terbiasa dengan kata “bunga” jika berhubungan dengan sejenis perbankan dengan menggunakan block note, yang berputar dari satu rumah ke rumah penduduk lainnya.

Kebingungan pun terjadi akibat latah itu. Kekisruhan pernah terjadi, dimana para sejarahwan pernah meminta agar kompleks percandian itu tetap disebut “Muara Jambi”, dan bukan mengikuti nama kabupatennya yang, tentu saja terbentuk ratusan tahun setelah candi-candi itu hadir.

Pasal lainnya, banyak catatan-catatan lama, baik dari dalam maupun luar negeri yang menyebutnya “Muara Jambi”, dan bukan “Muaro Jambi”.

Di era di bawah ’80-an, penduduk lokal akrab menggunakan tulisan “Arab Melayu”. Yakni tulisan dengan abjad Arab, atau yang biasa di sini dikenal dengan sebutan “Arab Gundul”.

Pada awalnya, kita agak sedikit bingung untuk nenempatkan huruf “e” an “o” jika membacanya. Tapi, lama kelamaan terbiasa.

Kini, siapa di antara kita yang masih ingat? Hanya beberapa saja. Padahal, itu adalah bukti berbaurnya budaya Arab dan Melayu.

Tentu, ini adalah hal-hal yang sifatnya fenomenologi. Dan sudah sepatutnya menjadi bahan diskusi internal di kampus-kampus atau lembaga bahasa sekalipun.

Jika tidak, mungkin saja secara tak bernalar orang akan menyebut “Afriko” untuk “Afrika”, dan “Ameriko” untuk “Ameriko”. Atau, ada lagi kah yang lain? ***

* jurnalis TheJakartaPost

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Posts