Kebun Campur untuk Kemanfaatan Lingkungan

*Jon Afrizal

Lingkungan yang asri, tentu adalah keinginan banyak pihak. Tetapi, memanfaatkan lingkungan secara maksimal tetap harus dilakukan. Toh, tidak bisa untuk dipungkiri, bahwa, manusia adalah subjek bagi alam.

Di awal kemunculan Non Government Organization (NGO) lingkungan di Indonesia, di paruh ’90-an, local wisdom (kearifan lokal) sering menjadi pembicaraan. Kini, seolah terlupakan, atau, jika menggunakan istilah subjektif seorang jurnalis seperti aku ini, “ditiadakan”.

Berbagai teori yang berasal dari negeri yang tidak sama musimnya dengan di negeri tropis ini pun diterapkan, di sini. Maka, apa yang sebelumnya menjadi patokan kehidupan berlingkungan di sini, ehm, “sila ke pinggir dan menjauh”.

Adalah “Kebun Campur”, yang dikenal oleh masyarakat di Pulau Jawa sejak lama. Tentunya, dengan kompleksitas kepemilikan lahan, yang bahkan reformasi agraria pun hingga kini belum dapat untuk diwujudkan.

Umumnya, penduduk di sana memiliki lahan yang sangat terbatas, maksimal hanya 1 hektare saja. Lalu, yang tercipta adalah bagaimana menggunakan lahan yang ada secara, ehm, jika menggunakan bahasa para pakar, “secara simultan dan kontinyu”.

Lingkungan pedesaan yang selalu asri, dan tetap dapat dimanfaatkan hingga waktu lama.

Maka, terciptalah “Kebun Campur”, sebuah kebun yang lengkap bagi kebutuhan dapur, sebagai suatu yang utama. Tentunya, dapat ditanami sayur-sayuran hingga ubi singkong, dan beberapa tumbuhan setengah keras, seperti jagung, misalnya. Bahkan, tumbuhan jenis sengon dan jati pun turut ikut serta juga.

Kita akan melihat manfaat lingkungan yang asri secara langsung, di sini. Sayur-sayuran yang dapat segera diolah untuk kebutuhan dapur keluarga pemilik lahan terbatas.

“Kebun Pocal”, demikian masyarakat di Tapanuli, Sumatera Utara menyebutnya. Pocal (pecal/pecel), adalah selayak kebun mereka yang “gado-gado” itu. Apa saja ada, dan “direct” untuk kebutuhan dapur.

Lalu, kita akan bicara soal “Green Economy”. Di mana apapun usaha yang digunakan adalah bersifat “green”. Ini, toh, adalah contoh kehidupan berlingkungan yang telah ada di sini, dan “membumi”. Atau, jika menggunakan istilah sejarahwan, “budaya adi luhung”.

Terdapat hubungan langsung antara subjek pengguna lingkungan dan lingkungan yang dimanfaatkan itu. Dan, pemilik lahan “harus” menjaga kebun (lingkungan) mereka, agar tetap terus dapat mereka manfaatkan.

Ehm, sebuah keterpaksaan yang sangat harmonis, di sini.

Pada nyatanya, teori Green Economy ala “kampung” ini dapat dimanipulasi untuk pemilik lahan terbatas di perkotaan sekalipun. Well, tumbuhan hidroponik sedang jadi trending topic saat ini, sebagai contohnya.

Jika kita bicara masalah konflik tenurial, seperti yang biasa terjadi di Provinsi Jambi, dan sangat sering ku reportase, tentu dapat dihindari juga. Itu, jika “nafsu” untuk memiliki lahan yang lebih luas bisa dikendalikan. Tetapi, jika “keserakahan” yang bicara, bahkan lautan pun dapat untuk ditanami tumbuhan apapun!

Secara eksplisit, para generasi era Orde Baru mengenal “10 Program Pokok PKK”. Ups, nanti dulu, jika ada yang bicara soal anti- segala anti-, sebab, ini bukan ulasan politik.

Gerakan Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) ini bermula dari kepedulian Isriati Moenadi, istri gubernur Provinsi Jawa Tengah, pada tahun 1967. Ia melihat kondisi masyarakat di sana yang mengidap busung lapar (malnutrisi).

Implementasi dari program itu, adalah yang kini dikenal dengan “green house”. Wow, sangat membumi dan “There’s No Planet B” banget deh.

Oh, ya, “There’s No Planet B” adalah slogan yang biasa diteriakan oleh para aktivis yang peduli terhadap kondisi bumi yang kini sedang diurundung oleh “Climate Change” ini. Di mana, sebagai sebab-akibat kebijakan manusia terhadap lingkungan, “bukit-bukit es di kutub telah mencair” dan “seluruh bumi akan menjelma menjadi lautan”.

Maka, kebun campur-nya simbah Pur di sekitar Gunung Merapi, menurutku, tidak usah malu-malu untuk diadopsi. Dan, sila diganti menjadi “Mixed Up Gardening”, atau “Integrity Farming” atau apapun lah istilah teoritis yang dapat diterima oleh para pengangung “Nalar” saat ini.

Meskipun, senyatanya, simbah Pur juga tidak mengerti bahwa Kebun Campur miliknya adalah juga paru-paru dunia. Dan, ehm, punya nilai “carbon”, tentu saja.

Sebab, menurut penganut paham kesetaraan, bahwa beragam adalah sebuah keindahan. Sehingga yang “mono” harusnya bersanding dengan yang lainnya, agar stereo.

Jadi, ujug ujug mendewakan monokultur sebagai segala macam teori keberlangsungan ekonomi, adalah lebih baik kembali ke pangkal, yakni ke “Kebun Campur”.

Toh, entah rakyat mana yang dimaksudkan meningkat ekonominya terkait mono kultur per-sawit-an juga cukup langka di sini. Yang ada, malah, tangisan dan jeritan anak-anak dan para perempuan di setiap konflik lahan yang ku reportase.

Selamat menjadi “Waras”, dalam artian bahasa Jawa, tentunya. ***

*Jurnalis TheJakartaPost

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Posts