Menjaga Alam Serampas dengan Kearifan Lokal

Suasana Desa Rantau Kermas, salah satu desa di Serampas (foto dok. KKI Warsi)

Oleh Herma Yulis*

DULU, ketika wilayahnya masih sulit dijangkau, Serampas dikenal sebagai gudangnya orang-orang sakti (dukun sakti). Waktu itu jalur transportasi hanya bisa dilalui menggunakan kuda atau berjalan kaki. Istilah orang sakti ini menjadi daya tarik tersendiri bagi Serampas kala itu. Dan, bagi orang yang sedang mencari ilmu kanuragan, merasa tidak lengkap jika belum datang dan menuntut ilmu di Serampas.

Selain memakai kata Serampas, penduduk Serampas juga menggunakan istilah Serampeh untuk membedakan mereka dari kelompok yang lain. Nama Serampas berasal dari suku kata se dan ampu yang berarti sekelompok orang-orang sakti. Nenek moyang Orang Serampas yang paling dikenal adalah Nenek Sigindo Balak (Tanjung Kasri) dan Nenek Tigo Silo (Renah Kemumu).

Namun, kini Serampas tak lagi dikenal sebagai tempat yang “seram” karena kesaktiannya, tetapi Serampas sudah jauh lebih maju mengikuti perubahan zaman. Bahkan, orang-orang kian ramai datang untuk menikmati keindahan alam Serampas.

Datang ke Serampas akan disuguhi wisata alam yang belum banyak terjamah para wisatawan. Di sana ada grao gedang, sumber air panas yang menyembur dari perut bumi. Tak hanya grao gedang saja, tetapi masih banyak grao lainnya yang tersebar di berbagai tempat, terutama di sekitar desa Renah Kemumu. Beberapa di antaranya adalah grao nguak, grao gas, grau kunyit, dan grao matahari.

Keunikan sejarah dan sosial budaya, serta potensi wisata alam yang sangat memukau menjadi daya tarik tersendiri bagi para peneliti untuk datang ke daerah Serampas; baik para peneliti lokal maupun peneliti asing.

Begitu akses transportasi dan informasi terbuka, Serampas tak hanya menjadi salah satu tujuan wisata saja, tapi daerah ini juga menjadi salah satu sentra ekonomi yang sangat penting di kabupaten Merangin. Kesuburan tanahnya yang berada di kaki Gunung Masurai sangat cocok untuk tanaman hortikultura seperti kentang, kol, cabai, ubi jalar, dan lain sebagainya. Selain menjadi daerah pemasok sayuran, Serampas juga menjadi wilayah pemasok kopi dan kayu manis yang jumlahnya tidak sedikit.

Kearifan Lokal Serampas

Masyarakat Hukum Adat (MHA) Serampas terdiri dari Desa Renah Kemumu, Tanjung Kasri, Lubuk Mentilin, Rantau Kermas, dan Renah Alai. Berdasarkan sejumlah penelitian, orang Serampas diyakini telah berdiam di daerah ini sejak masa megalitikum. Salah satu buktinya adalah penemuan tulang tungkai kaki manusia dengan panjang 3 meter di Desa Renah Kemumu. Selain itu juga ditemukan sejumlah situs purbakala berupa batu larung, gerabah, dan manik-manik perhiasan. Temuan itu adalah hasil penelitian yang dilakukan oleh Dr. Bill Watson, seorang ahli kepurbakalaan Inggris, pada tahun 1972-1974.

Dan, dalam kesehariannya kehidupan orang Serampas tak dapat dipisahkan dari hutan. Karena wilayah ini memang didominasi oleh kawasan hutan yang masih alami dan menjadi sumber penopang kehidupan mereka selama ini.

Menurut Wawan Junianto dalam “Sekelumit Kisah Lapangan, Mendorong Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (2016:39)”, mengingat begitu besarnya ketergantungan masyarakat akan sumberdaya hutan, maka pemangku adat Serampas membuat suatu norma atau hukum adat dalam rangka melakukan pemanfaatan kawasan hutan yang ada di sekitar desa.

Aturan adat ini menjadi sebuah kearifan lokal yang dipatuhi oleh masyarakat dalam melestarikan hutan Serampas yang masih tersisa. Aturan pertama, pemberlakuan tanah ajum tanah arah. Untuk tanah ajum, masyarakat diberikan lahan yang akan digunakan sebagai tempat mencari nafkah dengan bercocok tanam tanaman semusim, seperti cabai, kentang, dan sayuran lainnya. Masyarakat yang mendapatkan tanah ajum ini harus memanfaatkan dengan baik, jika dalam jangka dua tahun dibiarkan terbengkalai alias tidak tergarap, maka menurut ketentuannya tanah ajum harus dialihkan kepada masyarakat lainnya yang butuh lahan untuk menopang kebutuhan ekonomi.

Sementara tanah arah adalah istilah untuk lahan yang diberikan sebagai lokasi permukiman bagi mereka yang belum memiliki tempat tinggal. Bagi pihak yang menerima tanah arah ini juga diberlakukan ketentuan ketat. Mereka diberi waktu selama dua tahun untuk mengumpulkan bahan bangunan rumah, mereka menyebutnya dengan istilah timpoh ramu. Kemudian dilakukan timpoh tegak rumah atau pembangunan rumah. Jika selama waktu yang diberikan rumah tak berhasil dibangun, pihak yang bersangkutan akan mendapat sanksi atau tanah tersebut dikembalikan ke desa.

Aturan kedua, tanah ngarai. Untuk menjaga kelestarian tanah ngarai ada ketentuan adat yang mengatur bahwa kawasan tersebut tidak boleh dialihfungsikan menjadi kebun. Bahkan, mengambil kayu dari tanah ngarai juga tidak diperbolehkan. Tujuannya adalah untuk melindungi tanah ngarai yang kondisinya bertopografi sangat curam dan rawan terjadi longsor.

Aturan ketiga, larangan membuka hutan di hulu aik (hulu air). Adat Serampas melarang pembukaan lahan di hulu air karena dikhawatirkan bakal mencemari air sungai dan menimbulkan kekeringan di kemudian hari. Kerusakan hulu sungai juga dikhawatirkan dapat menimbulkan bencana ekologi yang akan membahayakan mereka sendiri.

Aturan keempat, larangan menebang pohon cempedak, durian, manggis, petai, dan seri. Karena pohon ini mereka yakini sebagai peninggalan nenek moyang yang harus terus dijaga. Selain itu, masyarakat juga dilarang memperjual belikan kayu yang diambil dari hutan. Kayu hanya boleh diambil untuk keperluan membangun rumah dan untuk keperluan kayu bakar.

Sejauh ini aturan adat tersebut dipatuhi dengan baik oleh masyarakat Serampas. Bagi yang melanggar telah disiapkan sanksi adat berupa ayam seekor, beras segantang beserta selemak-semanis. Namun, jika pelanggaran yang dilakukan lebih berat, maka sanksinya berupa seekor kambing, beras seratus gantang beserta selemak-semanis. Ini adalah kearifan lokal dalam rangka menjaga alam Serampas agar terhindar dari kegiatan illegal logging dan perambahan kawasan seperti yang marak terjadi di wilayah sekitar.

Hutan Adat Serampas

Pada tahun 1998, program Integrated Conservation Development Programe – Taman Nasional Kerinci Seblat (ICDP-TNKS) masuk ke desa Rantau Kermas. Program ini bertujuan memadukan pembangunan dengan kelestarian kawasan. Program ini melibatkan Bappeda Kabupaten Sarolangun Bangko (sebelum terjadi pemekaran menjadi Merangin), KKI Warsi, World Wide Fund (WWF), Balai Taman Nasional Kerinci Seblat ( (TNKS), dan masyarakat desa Rantau Kermas.

Melalui program ini kemudian dicetuskan pembentukan hutan adat Depati Kari Jayo Tuo yang kemudian disahkan melalui Peraturan Desa Rantau Kermas Nomor: 01/KADES/RK/3/2000. Dalam rangka keberlangsungan MHA Serampas dan kearifan lokalnya dalam menjaga hutan, dibutuhkan payung hukum yang mengikat dalam bentuk Peraturan Daerah (Perda). Menyadari pentingnya hal itu, masyarakat Serampas bersama KKI WARSI berusaha mendorong DPRD Merangin membuat Perda Inisiatif tentang pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat Marga Serampas.

Perda ini kemudian disahkan pada rapat paripurna DPRD Merangin, pada 16 Februari 2016. Dengan disahkannya Perda ini, masyarakat Serampas telah memiliki payung hukum dalam mengelola hutan adat mereka.

“Kami sangat yakin, dan kami berjanji akan bisa menjaga hutan ini. Karena selama ini kami sudah membuktikan bisa menjaga hutan melalui aturan adat yang berlaku,” kata Ishak, Ketua Forum Masyarakat Adat Serampas, usai pengesahan Perda tersebut.

Perda ini kemudian diperkuat lagi dengan terbitnya Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor: SK.6745/MENLHK-PSKL/KUM.1/12/2016 Tentang Penetapan Hutan Adat Marga Serampas seluas + 24 hektare di Desa Rantau Kermas Kecamatan Jangkat, Kabupaten Merangin, Jambi.

Serampas pada Masa Kesultanan Jambi

Sejak masa Kesultanan, Serampas dan Kesultanan Jambi telah menjalin hubungan timbal balik yang saling menguntungkan. Banyak bukti yang menunjukkan keharmonisan hubungan keduanya. Misalnya, apresiasi pihak kesultanan kepada Serampas dengan mengeluarkan piagam pengakuan wilayah adat, sementara Sultan menerima upeti dari hasil hutan dan kekayaan alam yang melimpah-ruah di daerah Serampas.

Hal itu dibenarkan oleh William Marsden dalam Sejarah Sumatera (2008:297). Marsden menuliskan bahwa pada masa Kesultanan Jambi penduduk Serampas mengaku sebagai rakyat Sultan Jambi yang terkadang menuntut upeti dari mereka. Upeti yang mereka berikan berupa seekor kerbau, setali emas, dan 100 tabung bambu beras setiap kampung.

Hubungan ini juga dapat ditelusuri melalui sejumlah piagam yang ditemukan di Serampas. Ada enam piagam ditemukan di Renah Kemumu dan satu piagam lagi di Renah Alai. Piagam itu dikeluarkan oleh Kesultanan Jambi yang ditujukan kepada kepala wilayah di daerah Serampas.

Hingga saat ini piagam tersebut masih disimpan dengan baik oleh masyarakat Serampas. Orang Serampas beranggapan bahwa piagam itu merupakan pusaka yang diturunkan dari nenek moyang mereka. Piagam itu pun disakralkan dan tak bisa dikeluarkan di sembarang waktu. Biasanya piagam tersebut baru dapat dikeluarkan dalam acara resmi yang disebut kenduri pseko.

Kepala Seksi Pernaskahan Asia Tenggara di British Library, London, Inggris, Dr. Annabel Teh Gallop dalam publikasinya “Piagam Serampas: Malay Documents from Highland Jambi” (2009) menyebutkan bahwa dokumen tersebut ditulis dalam bahasa Melayu dalam aksara Jawi (Arab Melayu); semuanya memiliki segel dan tampaknya fatwa kerajaan asli dari pengadilan Jambi.

Dokumen Piagam Serampas ini berisi fatwa-fatwa kerajaan yang meliputi tiga kategori. Yaitu persoalan batas-batas milik penerima dari dekrit itu; urusan pemerintahan dan pencacahan hukum harus ditegakkan, dan hukuman untuk pihak yang melanggar aturan ini; dan daftar hak prerogatif kerajaan, dengan menyertai daftar hukuman untuk ketidak-kepatuhan.

Piagam-piagam ini dikeluarkan pada masa pemerintahan Sultan Abdul Kahar dengan gelar Sultan Agung Seri Ingalaga. Beliau menerbitkan piagam sebagai pengakuan batas wilayah adat suatu marga. Dan, piagam-piagam ini akhirnya menjadi barang peninggalan pusaka bagi setiap kalbu atau marga. Demikian pula dengan orang Serampas yang mewarisi beberapa piagam dari pihak Kesultanan Jambi. Ini menjadi bentuk pengakuan batas tradisional Marga Serampas pada masa lalu yang menjadi pegangan orang Serampas sampai saat ini.

 

*Herma Yulis, tinggal di Batanghari

Tulisannya berupa cerpen, artikel, dan resensi buku pernah dimuat di koran Kompas, Koran Tempo, Nova, Suara Pembaruan, Seputar Indonesia (SINDO), Jurnal Nasional (Jurnas), Media Indonesia, Kedaulatan Rakyat, Suara Pembaruan, Suara Merdeka, Majalah Mata Baca, Majalah Medium, Jambi Independent, Minggu Pagi, Jurnal Seloko, Kilasjambi.com, dan Scientific Journal. Tahun 2016, bersama Puteri Soraya Mansur menerbitkan buku kumpulan cerpen Among-Among

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Posts