Cenenggo dan Sesandingon: Tradisi Pencegahan Penyakit bagi Orang Rimba

Kehidupan Orang Rimba di Bukit Duabelas. Menghidupkan api di malam hari, foto: Herma Yulis

Oleh Herma Yulis*

PADA akhir 2019, dunia memasuki masa kelam yang menakutkan. Konon, sekelompok kelelawar menularkan coronavirus kepada manusia di Wuhan, Cina. Sejak itu coronavirus menyebar dengan pesat kepada manusia lewat udara melalui mata, hidung, dan mulut.

Penularan virus mematikan ini sangat cepat. Sehingga dalam waktu tiga bulan ia telah menyebar ke banyak negara di dunia, termasuk Indonesia.

Menurut data dari laman https://covid19.go.id, diakses pada 8 April 2023, data sebaran covid 19 di Indonesia terdiri dari 6.740.183 (positif), 6.582.777 (sembuh), dan 161.046 (meninggal dunia). Ini adalah angka yang cukup besar sehingga memporak-porandakan tatanan sosial di tengah masyarakat.

Ada pun upaya yang dilakukan untuk mencegah penularan coronavirus, selain melakukan vaksinasi pemerintah juga menganjurkan beberapa langkah antisipatif seperti; menjaga jarak sosial (social distancing), menghindari kerumunan, mengenakan masker, serta menghindari kontak langsung secara fisik dengan orang lain. Intinya adalah mengurangi interaksi sosial dan dituntut untuk dapat hidup lebih mandiri selama menghadapi krisis ini.

Melihat fenomena tersebut, sepertinya kita yang mengaku sebagai manusia modern, ternyata perlu belajar lagi kepada kelompok minoritas seperti Orang Rimba yang seringkali dicibir dan direndahkan. Sebab, pola hidup yang kita lakukan saat menghadapi gencarnya penularan coronavirus beberapa waktu lalu sebenarnya bukan hal baru bagi Orang Rimba di tengah pedalaman Bukit Duabelas Jambi.

Kehidupan Orang Rimba yang bergantung pada sumber daya alam di dalam hutan juga tidak lepas dari berbagai tantangan seperti penyakit dan kondisi lingkungan yang tidak selalu menguntungkan. Namun, dengan kearifan lokal yang mereka wariskan dari para leluhur, Orang Rimba masih tetap dapat bertahan dan melanjutkan kehidupannya hingga saat ini.

Orang Rimba Mencegah Penularan Penyakit

Salah satu tradisi kearifan lokal yang masih dilestarikan oleh Orang Rimba adalah tradisi cenenggo dan sesandingon. Tradisi ini adalah cara yang dilakukan Orang Rimba untuk mencegah terjadinya penularan penyakit di dalam kelompok mereka. Cenenggo merujuk pada seseorang yang sedang mengidap penyakit, sedangkan sesandingon adalah istilah yang digunakan untuk menyebut pengasingan diri yang dilakukan oleh orang yang sedang bercenenggo.

Penyakit yang sering menyerang orang Rimba adalah cacar, batuk (betuk), batuk pilek (betuk slemo), dan kolera (gelira). Orang Rimba meyakini bahwa penyakit berasal dari orang terang (sebutan untuk orang di luar komunitas mereka) atau dari hilir. Bagi Orang Rimba penyakit ini sangat menakutkan karena bisa menyebabkan kematian. Untuk mencegah penularan, ketika sedang sakit orang Rimba biasanya berkomunikasi dengan jarak sekitar 10 meter dan menghindari kontak langsung dengan pihak luar.

Menurut Rangkuti dan Bubung Angkawijaya dalam Orang Rimba Menantang Zaman (2010), Orang Rimba yang sedang bercenenggo wajib memberitahukan kepada kelompoknya atau kepada Orang Rimba lain yang dikunjunginya, dengan harapan ia bisa mendapatkan bantuan selama sakit, baik makanan maupun pengobatan. Tidak memberitahukan tentang kondisinya yang sakit dianggap telah melanggar adat, dan jika kelak menyebabkan penularan kepada orang lain, maka ia dihukum denda dengan membayar dua keping kain panjang. Apabila akibat dari penularan penyakitnya telah menyebabkan kematian maka dihukum denda sebanyak 500 keping/helai kain panjang atau yang disebut dengan istilah bayar bangun.

Orang Rimba percaya bahwa penyakit bisa disembuhkan dengan mengisolasi diri dari masyarakat dan melakukan berbagai ritual. Sehingga ketika seseorang sedang terinfeksi penyakit, maka ia akan dikucilkan dari masyarakat dan melakukan sesandingon atau pengasingan diri untuk mencegah penularan penyakit kepada orang lain.

Sesandingon dilakukan dengan cara membangun pondok yang terpisah dari pondok-pondok lain di lingkungan mereka. Pondok ini harus jauh dari pemukiman kelompok dan tidak boleh didatangi oleh orang lain selama masa pengasingan.

Orang Rimba percaya bahwa sesandingon harus dilakukan dengan tekun dan tidak boleh diabaikan. Jika seseorang tidak melakukan sesandingon dengan benar, penyakitnya tidak akan sembuh dan bahkan bisa menyebar ke orang lain. Selain itu, orang yang tidak melakukan sesandingon dengan benar juga akan dipandang sebagai orang yang tidak menghormati tradisi adat dan budaya mereka.

Tradisi cenenggo dan sesandingon ini mengajarkan kita tentang pentingnya menjaga kesehatan dan mencegah penularan penyakit. Kita dapat mengambil pelajaran dari cara hidup Orang Rimba yang menjaga jarak dan menghindari kontak langsung dengan orang yang sedang bercenenggo. Hal ini sangat relevan dengan situasi pandemi COVID-19 yang kita alami.

Namun, kita juga perlu memahami bahwa tradisi cenenggo dan sesandingon tidak selalu efektif dalam mengatasi semua jenis penyakit. Kadang-kadang, penanganan medis yang lebih modern dan canggih diperlukan untuk menyembuhkan penyakit yang lebih kompleks. Oleh karena itu, penting bagi Orang Rimba untuk terus membuka diri dan menggabungkan tradisi mereka dengan pengetahuan medis modern.

Dalam rangka menjaga keberlangsungan tradisi cenenggo dan sesandingon, diperlukan juga upaya dari berbagai pihak untuk mendukung masyarakat Orang Rimba untuk mempertahankan identitas budaya mereka tersebut. Sebab, tradisi ini sangat penting dalam menjaga kesehatan dan mencegah penularan penyakit, serta sebagai identitas budaya yang harus dijaga dan dilestarikan.

Meskipun tradisi cenenggo dan sesandingon masih dilakukan oleh masyarakat Orang Rimba, namun praktik ini semakin sulit dilakukan di era modern. Keterbatasan lahan dan perubahan kondisi lingkungan membuat Orang Rimba semakin sulit untuk mengisolasi diri selama masa penyembuhan. Selain itu, pengaruh budaya luar yang semakin masuk ke dalam masyarakat Orang Rimba juga membuat tradisi Orang Rimba semakin tergerus.

 

*Herma Yulis, tinggal di Batanghari

Tulisannya berupa cerpen, artikel, dan resensi buku pernah dimuat di koran Kompas, Koran Tempo, Nova, Suara Pembaruan, Seputar Indonesia (SINDO), Jurnal Nasional (Jurnas), Media Indonesia, Kedaulatan Rakyat, Suara Pembaruan, Suara Merdeka, Majalah Mata Baca, Majalah Medium, Jambi Independent, Minggu Pagi, Jurnal Seloko, Kilasjambi.com, Scientific Journal, dan Geotimes. Tahun 2016, bersama Puteri Soraya Mansur menerbitkan buku kumpulan cerpen Among-Among

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Posts