Antisipasi Pengelola Hutan Desa Jelutih Hadapi Ancaman Ilegal Logging

KILAS JAMBI – Pandemi Covid-19 telah menyebabkan tekanan pada kawasan hutan juga meningkat. Harga karet yang terjun bebas, menyebabkan masyarakat sekitar hutan melakukan ekpansi lahan dengan melakukan perambahan dan ilegal logging.

Hal ini mengemuka dalam Mini Workshop “Penatausahaan Rencana Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu” yang diselenggarakan di Desa Jelutih, Kecamatan Bathin XXIV, Kabupaten Batanghari, belum lama ini.

Perambahan dan ilegal logging terindikasi mendekati dan mulai masuk ke dalam kawasan Hutan Desa Jelutih. Hutan Desa Jelutih dengan luas 2.752 hektar memiliki potensi hasil hutan bukan kayu dan hasil hutan kayu yang sangat berlimpah.

Hutan Desa yang berbatasan dengan Taman Nasional Bukit Duabelas ini, sejak dapat izin tahun 2011, belum melakukan kegiatan pemanfaatan hasil hutan. Kawasan hutan desa yang berada di hutan produksi ini, kini mengalami tekanan kuat dari pelaku perambahan dan ilegal logging.

Lembaga Pengelola Hutan Desa Jelutih khawatir jika kegiatan perambahan lambat laun akan merambat ke area Hutan Desa mereka. “Perlu ada upaya penataan kegiatan hasil hutan kayu hutan desa, karena tidak dipungkiri tingginya aktivitas perambahan yang mulai merambat ke area hutan desa,” kata Ketua LPHD Jelutih, M Rofi.

Sebelumnya Hutan Desa Jelutih, berdasarkan hasil evaluasi perhutanan sosial dari Direktorat Jenderal PSKL Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan bersama Pokja PPS Jambi, pada tanggal 6 September 2020 lalu merekomendasikan perlunya LPHD dikuatkan kapasitas pemahamannya terkait pemanfaatan hasil hutan kayu secara berkelanjutan sesuai dengan ketentuan yang ada saat ini.

LPHD sangat mengharapkan adanya masukan dan arahan dari pihak KPHP, dan Pokja PPS Jambi sebagai masukan bagi LPHD untuk merevisi Rencana Pengelolaan Hutan Desa sesuai rekomendasi KLHK.

Menurut Rofi, LPHD ingin sekali dapat mengelola hutan desa secara mandiri. Pihak LPHD juga mengharapkan dukungan dari KPHP Kabupaten Batanghari dan Dinas Kehutanan mencegah kegiatan ilegal logging yang datang dari luar Desa Jelutih, dimana pihak LPHD merasa bahwa aktivitas perambahan sudah sangat sulit dibendung hingga merambat ke area hutan desa sehingga perlu untuk ditata.

Dalam rangka inilah LPHD sangat membutuhkan arahan dan petunjuk dari KPHP dan Dinas Kehutanan, terkait bagaimana pemanfaatan HHK ini agar LPHD ke depan dapat menata dan mengendalikan aktivitas perambahan yang diawali dengan merevisi rencana pengelolaan hutan desa.

KPHP Batanghari menuturkan bahwa pemanfaatan hasil hutan kayu di Hutan Desa Jelutih pada dasarnya dapat dilakukan karena berada pada kawasan fungsi hutan produksi namun rencana pemanfaatannya tentu harus mengikuti regulasi yang berlaku saat ini, yaitu dengan tidak menebang kayu alam yang ada, namun dapat memanen hasil hutan kayu yang memang ditanami sendiri oleh pengelola izin atau masyarakat sekitar hutan. Hal ini sesuai Pasal 7 Perdirjen PSKL P16/2016. Menurut KPH, berbeda dengan skema HTR yang memperbolehkan untuk menebang kayu alam, ketentuan ini tidak membuka peluang untuk dilakukannya pemanenan kayu alam yang ada di hutan alam dengan fungsi kawasan produksi bagi pemegang izin hutan desa.

Sedangkan untuk kegiatan ilegal loging, menurut Andri Yushar, Kepala KPHP Batanghari, sejak dahulu pihaknya bersama Dinas Kehutanan juga sudah melakukan berbagai upaya pencegahan, dan seharusnya hasil hutan kayu yang diperoleh dari kegiatan ilegal loging tidak dapat dipasarkan secara legal, sebab kayu yang diperoleh dari hutan harus memiliki barcode yang memuat data asal-usul diperolehnya kayu tersebut.

Cegah Ekspansi HTI di Area Perhutanan Sosial

Asrul Aziz Sigalingging, Kordinator Projek KKI Warsi, menjelaskan, saat ini perlu sekali dilakukan konsolidasi dan penguatan di tingkat tapak terutama pada level pemegang izin perhutanan sosial.

Hal ini mengingat adanya kekhawatiran bahwa area perhutanan sosial rentan menjadi sasaran ekspansi perusahaan HTI yang ingin memasok kayu alam, dan areal penanaman dengan memanfaatkan izin-izin perhutanan sosial baik yang sudah diterbitkan atau dengan mendorong usulan baru.

Menurutnya, sejak dikeluarkannya Peraturan Menteri LHK Nomor 83 tahun 2016 tentang Perhutanan Sosial, yang memperbolehkan masyarakat di sekitar kawasan hutan negara untuk mengelola dan memanfaatkan hutan.

Bagi perusahaan HTI kebijakan ini dinilai sangat menghambat perusahaan yang selama ini sangat leluasa mendapatkan izin penguasaan hutan, bahkan memanfaatkan area hutan di luar konsesinya. Sehingga ada kekhawatiran bagi perusahaan HTI jika ke depannya mereka akan kesulitan untuk mendapatkan kayu alam serta areal baru yang relatif subur untuk ditanami dengan kayu akasia, eukaliptus, jabon, untuk memenuhi tingginya permintaan bahan baku kayu tanaman industri.

Menurut Aziz Sigalingging, untuk menghadapi persoalan tersebut, ada indikasi perusahaan HTI mulai mengatur strategi dengan cara memanfaatkan izin-izin Perhutanan Sosial yang diusulkan oleh masyarakat seperti HTR sebagai pemasok kayu dan areal penanaman.

“Pada skema hutan desa maupun HKm berbasis fungsi produksi, hal ini juga tidak menutup kemungkinan meski rute atau jalur prosedur pemanfaatan HHK nya berbeda dengan yang berbasis IUPHHK HTR. Misalkan pada skema Hutan Desa, karena diperbolehkan melakukan pemanfaatan HHK berbasis hutan tanaman, ini juga berpotensi ditunggangi. Misalkan perusahaan mengiming-imingi melakukan kerjasama penanaman akasisa, eukaliputs maupun jabon di area Hutan Desa maupun HKm. Celah ini sangat memungkinkan untuk dimanfaatkan,” kata Aziz.

Ditanya terkait apakah kerja sama kemitraan antara perusahaan HTI dengan pemegang izin perhutanan sosial terkait pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (HHK) di area perhutanan sosial tidak dibenarkan dengan ketentuan yang ada saat ini.

“Hal ini memang sama sekali tidak dilarang dalam ketentuan perundang-undangan. Namun yang harus dipahami ialah prosedur kerjasama kemitraan itu memang harus dilalui dengan proses yang benar dan akuntabel,” kata Aziz.

Aziz mengingatkan jangan sampai terjadi corporation behind social forestry. Alias perusahaan dibalik izin perhutanan sosial. “Karena ini akan menabrak semangat ideologis perhutanan sosial. Filosofi perhutanan sosial itu kan pengelolaan hutan berbasis masyarakat. Jangan izinnya saja punya masyarakat tapi pengelolaan realnya malah di tangan korporasi,” terang Aziz.

Untuk itu, di Jelutih, Warsi akan mendorong masyarakat untuk bersama-sama memahami lebih jauh aspek tata kelola penatausahaan hasil hutan kayu sebelum masyarakat merevisi rencana pengelolaan hutan desa mereka. Secara akses dan topografi hutan desa Jelutih ini sangat berpotensi, tapi pada saat bersamaan juga sangat rentan dimanfaatkan jadi areal ekspansi HTI Apalagi hutan desa Jelutih merupakan penyangga bagi TNBD.

“Untuk itu sangat penting adanya penatausahaan rencana pemanfaatan hasil hutan kayu, dengan meningkatkan kapasitas dan pemahaman kelembagaan LPHD Rimbo Pusako Batang Terab Jelutih, agar memahami secara seksama prosedur ketentuan pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (HHK) di area Perhutanan Sosial terutama dalam skema Hutan Desa,” kata Azis. (*)

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Posts