Ancaman Energi Kotor PLTU Mulut Tambang Jambi 1

Jambi, kilasjambi.com – Berkapasitas 2×300 megawatt, PLTU-MT (Pembangkit Listrik Tenaga Uap–Mulut Tambang) Jambi 1 yang akan dibangun di Desa Pemusiran, Kecamatan Mandiangin, Kabupaten Sarolangun, digadang-gadang akan menjadi pembangkit listrik bertenaga uap terbesar nomor dua se-Asia.

Namun di balik megaproyek milik Negara itu, muncul kekhawatiran mendalam terjadinya kerusakan lingkungan yang kian meneror kehidupan warga, terutama mempercepat laju perubahan iklim, karena energi kotor yang digunakan, yaitu batubara.

Di Mandiangin, perusahaan-perusahaan tambang batubara juga sudah mencabik-cabik bumi tempat warga berpijak, sejak lama.

Perusahaan Listrik Negara (PLN) melalui anak perusahaannya, Indonesia Power, melakukan pembebasan lahan pada tahun 2018 untuk pembangunan PLTU-MT Jambi 1. PLN mengakuisisi lahan milik PT Jambi Prima Coal (JPC)-perusahaan batubara milik konglomerat asal India, seluas ±1000 hektar di Desa Pemusiran.

Pada tahun 2019 dilakukan peletakan batu pertama di lokasi rencana pembangunan PLTU-MT Jambi 1, yang saat itu dihadiri langsung Bupati Sarolangun, Cek Endra.

Tiang pancang di lokasi pembangunan PLTU-MT Jambi 1, foto: riki/kilasjambi.com

Bukhori, Kepala Desa Pemusiran, mengaku tidak mengetahui secara detail soal rencana pembangunan PLTU-MT Jambi 1. Ia hanya mengetahui sebatas pembebasan lahan, tapi dirinya pernah dimintai surat keterangan perizinan dari PLN. Namun pihaknya tak memberikan rekomendasi.

“Dalam dua tahun belakangan ini lahan milik PT JPC diambil alih oleh PLN, untuk pembangunan PLTU Jambi 1,” kata Bukhori, saat ditemui di Balai Desa Pemusiran akhir Agustus lalu.

Tapak Mesin Membutuhkan Lahan 60 Hektare

Meski mengaku tidak mengetahui secara detail soal pembangunan, Bukhori pernah mendampingi konsultan PLN melakukan pengukuran untuk tapak mesin PLTU pada tahun 2018.

“Dari hasil pengukuran, untuk tapak mesinnya saja seluas 60 hektare,” kata Bukhori.

Saat pengukuran, katanya, konsultan PLN melakukan hingga tiga kali pindah lokasi untuk mencari dataran. PLN menghindari lahan yang berada di atas aliran sungai maupun payau. Sedangkan untuk lokasi perkantoran, lahan penampung batubara, dan lain-lain, dibutuhkan ratusan hektare lahan.

Dari observasi kilasjambi.com di lapangan akhir Agustus lalu, di lokasi rencana pembangunan PLTU-MT Jambi 1 sudah berdiri satu tiang pancang yang ditanam saat peletakan batu pertama pada tahun 2019, di lokasi juga terlihat beberapa tiang pancang yang belum ditanam.

Hingga kini pembangunan PLTU-MT Jambi 1 masih terbengkalai, Bukhori mendapat kabar jika pembangunan terkendala masa pandemi Covid-19. Namun kabar terbaru yang ia dapat dari pihak PLN dan Dinas Perizinan Sarolangun, pembangunan akan dilanjutkan pada tahun 2024.

Beberapa tiang pancang di lahan pembangunan PLTU-MT Jambi 1 yang belum ditanam, foto: riki/kilasjambi.com

Bertenaga uap, turbin-turbin penghasil energi listrik PLTU-MT Jambi 1 akan mengandalkan batubara yang kemungkinan besar akan dipasok dari perusahaan tambang batubara yang ada di Desa Pemusiran, Mandiangin.

Saat ini ada beberapa perusahaan tambang batubara yang beroperasi di Pemusiran, seperti PT SGM (Surya Global Mandiri), lalu PT DKC (Dinar Kalimantan Coal), PT JBC (Jambi Prima Coal), serta PT Inti Tirta.

Sosialisasi ke Warga Minim

Menurut Bukhori, PLN melakukan sosialisasi kepada masyarakat setelah mengantongi izin. Sehingga masyarakat Desa Pemusiran tidak bisa memberi pandangan terhadap rencana pembangunan PLTU-MT Jambi 1, terutama soal dampak lingkungan.

“Pihak desa mengetahui ada perluasan lahan untuk lokasi pembangunan PLTU-MT Jambi 1 justru dari masyarakat, saat warga mengurus administrasi penjualan lahan ke PLN di kantor desa,” katanya.

Hanya saja, kata Bukhori, di tengah-tengah masyarakat justru muncul stigma jika pihak desa tidak mungkin tak terlibat dalam pemberian izin pembangunan PLTU-MT Jambi 1.

Ia mengatakan, PLN terus berupaya untuk melakukan perluasan lahan pembangunan PLTU-MT Jambi 1 dengan membeli lahan masyarakat Desa Pemusiran, dengan kisaran hingga Rp100 juta per hektare.

“Saat melakukan sosialisasi, konsultan PLN menyampaikan, bagi masyarakat yang tidak ingin melepas lahannya untuk pembangunan PLTU-MT Jambi 1. Mereka akan berurusan dengan kejaksaan dan pengadilan. Sebab, uang pembebasan lahan akan dititipkan ke dua instansi tersebut,” kata Bukhori.

PLN belum pernah melakukan sosialisasi langsung ke masyarakat terkait dampak atau pencemaran lingkungan yang ditimbulkan jika PLTU-MT Jambi 1 beroperasi, sosialisasi hanya dilakukan PLN ke perangkat desa.

“Jadi warga suka tidak suka harus mendukung pembangunan PLTU, karena izin sudah ditetapkan. Apalagi proyek ini merupakan objek vital negara,” katanya.

Menurut Bukhori, keberadaan PLTU-MT Jambi 1 tidak akan berdampak langsung terhadap masyarakat, karena lokasi PLTU yang berjarak ±5 km dari pemukiman warga. Padahal, perangkat Desa Pemusiran sendiri belum pernah melakukan kajian secara mendalam terhadap dampak lingkungan yang ditimbukan jika PLTU beroperasi.

“Jika PLTU beroperasi, masyarakat menyampaikan harapan atau keinginan ke perangkat desa, agar mendapatkan ampere dan listrik gratis dari PLN,” katanya.

Saat melakukan sosialisasi, PLN menjanjikan akan mengutamakan dan memberdayakan warga setempat sebagai tenaga kerja di PLTU-MT Jambi 1. Namun, disesuaikan dengan SDM yang dimiliki.

Cek Endra Berharap PLTU Tetap Berjalan

Bupati Sarolangun, Cek Endra mengakui, pembangunan PLTU-MT Jambi 1 mandek. Tetapi ia berharap PLTU tetap berjalan. Apalagi, Pemerintah Kabupaten Sarolangun telah mengeluarkan segala macam bentuk perizinan, hingga dokumen Amdal (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan).

Menurutnya, masalah yang dihadapi Indonesia Power ada di investasi, konsorsium yang telah dibentuk bubar, sehingga menyebabkan paceklik keuangan untuk melanjutkan pembangunan PLTU.

“Sampe hari ini belum ada investornya, tapi dari segi perizinan pemerintah kita berharap tetap jadi. Lahan sudah siap, izin dan Amdal sudah siap. Ya karena ini investasi besar mungkin dengan krisis sekarang ini juga belum ada peminat serius,” kata Cek Endra, pada 6 September lalu.

“Mudah-mudahan lah, kalau itu tinggal dari pusat lah mencari investornya, PLN yang mencari partnernya,” tambahnya.

Deposit Batubara Melimpah

Pembangunan PLTU di Pemusiran, kata Cek Endra, berbanding lurus dengan cadangan batubara di Sarolangun, deposit bahan bakar fosil itu di Sarolangun mencapai satu miliar ton lebih.

“Kalau untuk cadangan batubara kita cukup, itu kalau untuk PLTU dengan kapasitas 2×300 megawatt itu cuma memerlukan 125 juta ton,” katanya.

“Jadi sangat cukup kalau untuk PLTU di Pemusiran,” katanya menegaskan.

Aktivitas tambang batubara di Desa Pemusiran yang tidak jauh dari lokasi pembangunan PLTU-MT Jambi 1, foto: riki/kilasjambi.com

Ia menyebut, kepemilikan saham PLTU-MT Jambi 1, 51 persen dimiliki PLN. Sedangkan 49 persen akan dibuka untuk pihak swasta, “Nah yang nalangin modalnya yang 49 persen ini, itu kendalanya,” katanya.

Cek Endra sangat berharap swarta murni yang membangun PLTU, bukan BUMN, “Kalau izinnya dengan pihak swasta murni, sebenarnya lebih enak,” kata Cek Endra.

Kata Cek Endra, untuk melanjutkan pembangunan PLTU. PLN tentu harus menunggu persetujuan penambahan modal dari DPR RI, sedangkan investor masih enggan masuk karena kondisi keuangan yang dihantam pandemi.

Pemprov Jambi Dorong Energi Baru Terbarukan

Keinginan Cek Endra, bertolak belakang dengan Pemerintah Provinsi Jambi. Secara terbuka Gubernur Jambi, Al Haris mengatakan, bahwa Pemerintah Provinsi Jambi tidak akan mengakomodir dan melanjutkan agenda pembangunan PLTU-MT Jambi 1 dan PLTU-MT Jambi 2.

“Kita akan fokuskan kepada energi terbarukan,” tegas Al Haris, saat menghadiri peringatan Hari Tani Nasional yang digelar Gerakan Suara Tuntutan Rakyat (Gestur), Kamis 23 September 2021.

Haris mengatakan, dari hasil rapat bersama Kementerian Koordinator Maritim dan Investasi (Kemenko Marves) RI, pemerintah pusat juga tidak akan mengakomodir PLTU Jambi 1 dan 2.

“Untuk itu penting bagi kita semua menjaga komitmen ini sampai ke level operasional di lapangan,” kata Haris.

Walhi Yakin PLTU Jambi 1 Tetap Lanjut

Walhi Jambi ikut menyoroti rencana pembangunan PLTU-MT Jambi 1 di Desa Pemusiran, meski saat ini mangkrak. Walhi berkeyakinan pembangunan PLTU akan tetap dilanjutkan, apalagi pemerintah sudah mengeluarkan perizinan dan dokumen Amdalnya.

Manejer Advokasi Walhi Jambi, Dwi Nanto, membandingkan jika PLTU-MT Jambi 1 sudah berproduksi. Maka dampak buruk yang ditimbulkan terhadap lingkungan, akan lebih besar dari PLTU Samaran yang telah beroperasi, yang lokasinya berada tak jauh berada dari Desa Pemusiran.

“Memang dari beberapa informasi, termasuk Kades Pemusiran sendiri mengkonfirmasi bahwa di 2020 lalu sebenarnya akan ditargetkan produksi. Tapi memang ada kendala soal Covid-19, sehingga kemungkinan dipending dulu, operasionalnya belum dilakukan dan kita melihat belum muncul persoalan-persoalan yang ada di sana,” kata Dwi, 6 September lalu.

Sehingga, kata Dwi, dalam konteks kampanye dan advokasi, pihaknya belum melakukan intervensi. Karena basisnya soal kerugian masyarakat dan kerusakan lingkungan hidup. Tapi dalam analisis Walhi, setelah diperiksa dokumen-dokumen lingkungan hidup PLTU-MT Jambi 1 ada beberapa poin yang cacat hukum.

Walaupun sampai saat ini PLTU-MT Jambi 1 belum beroperasi, Walhi Jambi yakin PLTU tersebut akan tetap berjalan, karena dari informasi yang dikumpulkan Walhi. Pembangunan PLTU-MT Jambi 1 merupakan bagian dari kebutuhan industri semen Baturaja di kawasan Bukit Bulan, Kecamatan Limun, Sarolangun. Produksi semen Baturaja akan membutuhkan suplai energi listrik yang sangat besar.

“Dari perencanaan pemerintah itu, suplai energi listrik untuk semen Baturaja itu dari PLTU Jambi 1, kita berkeyakinan walaupun PLTU 1 sampai saat ini terkendala soal pembiayaan dan segala macamnya, ke depan akan tetap dibangun,” kata Dwi.

Menurut Walhi, akan terjadi penggalian batubara besar-besaran terutama di dalam kawasan hutan di Desa Pemusiran, karena PLTU-MT Jambi 1 membutuhkan suplai dalam volume yang sangat banyak.

Lalu lalang truk pengakut batubara di Desa Pemusiran, foto: riki/kilasjambi.com

Dari diskusi yang dilakukan Walhi dengan warga Pemusiran, warga belum mengetahui dampak yang akan ditimbulkan. Mereka sebatas mengetahui clean and clear soal izin, persoalan lahan juga tidak ada konflik.

“Tapi persoalan kerusakan lingkungan hidup mereka belum tahu, sehingga memang beberapa waktu lalu kita melakukan kegiatan-kegiatan pelatihan ke masyarakat Pemusiran. Terutama soal advokasi,” kata Dwi.

“Juga soal Amdal, untuk mengetahui proses-proses izinnya lingkungannya seperti apa, kalau mau digugat itu seperti apa. Lalu hukum kritis, gimana supaya masyarakat menggugat menggunakan prosedur-prosedur yang legal,” tambahnya.

Walhi juga coba mendorong masyarakat untuk dibekali soal safety security, mengingat kasusnya di industri kerajaan tambang, “Dan setelah kita assessment memang rawan terjadi gesekan dengan kelompok-kelompok yang kuat. Akan cukup sulit jika warga tidak dibekali pengetahuan soal advokasi,” kata Dwi.

Walhi mengaku belum melakukan pendekatan ke pemerintah, Walhi hanya meminta data ataupun dokumen Amdal pembangunan PLTU-MT Jambi 1. Namun menurutnya, pemerintah defence dalam persoalan PLTU-MT Jambi 1, terpaksa Walhi melakukan perlawanan dengan melayangkan gugatan ke Komisi Informasi Publik (KIP).

“Misalnya DLH atau Dinas Satu Pintu gak mau memberikan dokumen izin lingkungan PLTU, kemudian kita perkarakan dan kita gugat ke KIP dan kita menang. Dan mereka menyerah, sehingga memberikan semua dokumen-dokumen yang kita butuhkan,” katanya.

Walhi Soroti Dampak PLTU Samaran

Walhi membandingkan dampak lingkungan yang disebabkan dari beroperasionalnya PLTU Samaran, padahal PLTU tersebut hanya berkapasitas 2×7 megawatt. Dampak yang ditimbulkan mulai dari pencemaran sungai dan pencemaran udara, hingga konflik lahan antara perusahaan dengan masyarakat. Tentu dengan kapasitas PLTU-MT Jambi 1 sebesar 2×300 megawatt, dampak terhadap lingkungan yang terjadi akan jauh lebih luas.

“Yang terjadi di Samaran, terindikasi akan sama persisnya kalau dipraktikkan di wilayah lain, akan terjadi perusakan sumber daya alam di sana. Terutama wilayah-wilayah baru yang akan dieksploitasi untuk diambil batubara,” kata Dwi.

Menurutnya, polusi udara paling rawan terjadi melalui cerobong-cerobong PLTU. Dari analisa Walhi bila produksi di Pemusiran itu masif dengan kapasitas 2×300 megawatt, akan membutuhkan banyak sekali batubara dan limbahnya akan menyebar di daerah Pemusiran dan sekitarnya.

Redaksi kilasjambi.com melakukan upaya konfirmasi ke manajemen Indonesia Power soal rencana pembangunan PLTU-MT Jambi 1, dengan mengajukan beberapa pertanyaan melalui https://www.indonesiapower.co.id/. Akan tetapi, hingga berita ini ditayangkan, redaksi kilasjambi.com tidak juga mendapat balasan email dari Indonesia Power.

Dokumen Amdal PLTU-MT Jambi 1

Dari dokumen Amdal pembanguan PLTU-MT Jambi 1, untuk pengurangan emisi NOx (Nitrogen Monoksida-NO dan Nitrogen Dioksida-NO2) dilakukan dengan penambahan SCR dan SNCR.

Pengurangan emisi sulfur dioksida pada PLTU-MT Jambi 1 dilakukan dengan memenuhi peraturan yang mengatur ambang batas kandungan sulfur dioksida di udara. Pada boiler dengan teknologi boiler yang menggunakan teknologi CFB, emisi sulfur akan dibatasi dengan menyuntikkan limestone bersama batubara ke boiler, karena suhu dalam boiler CFB akan menyebabkan limestone dengan sulfur akan berinteraksi. Sulfur akan ditangkap oleh limestone dan keluar dari boiler dalam bentuk debu gypsum yang akan ditangkap di ESP. Sistem ini dipakai karena mampu mengurangi kadar sulfur yang tinggi dan efektifitas pengurangan sulfur hingga 98 persen.

Cerobong asap yang akan dibangun terdiri dari struktur silinder terbuat dari beton bertulang setinggi 210 meter, diharapkan dengan ketinggian ini pengeluaran fluegas dari boiler dapat optimal dan sebaran polutan dapat terdispersi secara sempurna sehingga kondisi udara ambien masih memenuhi baku mutu lingkungan.

Keberadaan PLTU-MT Jambi 1 akan berdampak pada sumber air warga, karena dari dokumen Amdal, air baku untuk kebutuhan operasional perusahaan sebanyak 36.000 m3 dalam 24 jam, air baku akan diambil di aliran sungai di Desa Pemusiran.

Kondisi Lingkungan di PLTU Samaran

PLTU Samaran di Kecamatan Mandiangin, Sarolangun, dioperasikan oleh PT Permata Prima Elektrindo Coal Fire dengan kapasitas 2×7 MW, PLTU ini telah beroperasi sejak tahun 2010.

Sekitar 11 tahun beroperasi, berbagai dampak lingkungan mulai dirasakan warga di pemukiman yang tidak jauh berada dari lokasi PLTU Samaran. Ada sekitar 20 rumah yang berdekatan dengan PLTU. Jarak rumah warga dengan PLTU hanya ±200 meter.

Dampak pencemaran lingkungan yang paling dirasakan warga adalah polusi udara dari debu batubara di PLTU. Menurut keterangan warga setempat, partikel-pertikel debu batubara paling terasa saat musim kemarau, debu hitam yang beterbangan membuat penampungan air bersih mereka tercemar.

PLTU Samaran, foto: riki/kilasjambi.com

Meski hingga kini tidak ada peningkatan kasus ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut) terhadap warga di sekitar PLTU Pemusiran, namun warga mengkhawatirkan dampak jangka panjang debu hitam batubara.

“Terutama terhadap anak-anak,” kata Ramli, Tokoh Masyarakat Desa Samaran, akhir Agustus lalu.

Ramli yang rumahnya persis berada di jalan masuk menuju PLTU Samaran mengatakan, perusahaan membuang limbahnya ke Sungai Batang Tembesi. Meskipun sebelum dibuang ke sungai, limbah perusahaan disterilkan di bak-bak penampungan.

“Secara medis warga tidak mengetahui apa dampak yang ditimbulkan,” kata Ramli.

Gangguan lain yang dirasakan warga, kata Ramli, adalah suara bising mesin PLTU, meski warga mengaku saat ini sudah mulai terbiasa. Selain itu, tidak ada kompensasi dari negara dan perusahaan untuk masyarakat, terhadap dampak lingkungan yang ditimbulkan.

“Selama beroperasi, pihak perusahaan hanya memberikan bantuan sembako saat masa pandemi Covid-19,” katanya.

Warga juga merasa terganggu dengan lalu lintas mobil pengakut batu bara (tiga sumbu) yang disuplai ke PLTU Samaran dengan daya angkut mencapai ±25 ton. Dari pantauan di lapangan, dalam waktu ±30 menit, ada sekitar 4-5 truk yang lalu-lalang di dalam pemukiman warga.

Lalu lalang kendaraan pengakut batubara bertonase besar yang disuplai ke PLTU Samaran, foto: riki/kilasjambi.com

Ramli menyebut, perusahaan pernah menjanjikan lampu penerangan untuk desa, namun hingga kini belum sepenuhnya terealisasi, lampu penerangan hanya dipasang di jalan menuju PLTU.  Perusahaan juga berjanji akan memaksimalkan tenaga kerja lokal dari desa, akan tetapi juga tidak terealisasi maksimal.

“Kami pernah meminta perusahaan untuk memperbaiki saluran drainase di sepanjang jalan menuju PLTU yang semakin hari semakin menyempit, karena saluran drainase tidak berfungsi dengan baik. Saat musim hujan, air menggenang di drainase dan berpotensi berkembang biaknya nyamuk demam berdarah,” kata Ramli.

Tambang Batubara Cemari Sungai

Sebelum PLTU-MT Jambi 1 beroperasi, kerusakan lingkungan telah meluas di wilayah Kecamatan Mandiangin, khususnya di Desa Pemusiran. Tambang-tambang batubara yang bercokol dan mengeruk perut bumi, membuat aliran sungai dan danau-danau kecil di Desa Pemusiran saat ini kondisinya sudah tercemar limbah tambang batubara. Air sungai dan danau tidak bisa lagi dikonsumsi masyarakat.

“Sungai dan danau yang tercemar menjadi keruh, juga membuat habitat ikan semakin punah,” kata Bukhori, Kades Pemusiran.

Bukhori mengatakan, Sejumlah warga masih menggunakan air sungai yang keruh, namun hanya untuk keperluan MCK (Mandi, Cuci dan Kakus).

Kondisi danau-danau kecil di Desa Pemusiran yang tercemar tambang batubara, foto: riki/kilasjambi.com

Sebagai bentuk cuci dosa mereka karena telah mencemari sumber air, perusahaan hanya membuatkan empat titik sumur bor untuk warga. Dampak lainnya, kebun karet milik warga yang lokasinya tidak jauh dari tambang batubara atau di pinggir perlintasan truk angkutan batubara, produksinya makin berkurang, getah karet tidak keluar karena tercemar debu batubara terutama saat musim kemarau.

Kondisi ini, kata Bukhori, sering menimbulkan konflik antar warga pemilik kebun dengan perusahaan batubara, salah satu bentuk protes yang dilakukan warga dengan menutup jalan milik perusahaan.

“Masyarakat juga mengeluhkan suhu di Desa Pemusiran semakin panas sejak beberapa tambang batubara beroperasi,” kata Bukhori.

Menanti Komitmen Pemerintah Turunkan Emisi GRK

Pemerintah Indonesia terus berkomitmen untuk menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) sebanyak 26 persen pada tahun 2020 dan 29 persen pada tahun 2030, sesuai dengan konvensi perubahan iklim yang telah disepakati.

Selain itu, Presiden Joko Widodo mengatakan pemerintah memiliki target untuk emisi karbon yang harus diturunkan berdasarkan konvensi perubahan iklim yang telah diratifikasi, yaitu 29 persen pada 2030. Berdasarkan konvensi perubahan iklim, Pemerintah Indonesia memiliki kewajiban untuk penurunan emisi karbon di sektor kehutanan 17,2 persen, sektor energi 11 persen, sektor limbah 0,32 persen, sektor pertanian 0,13 persen, serta sektor industri dan transportasi sebesar 0,11 persen.

Kabar baiknya, Presiden Cina berjanji tidak akan membangun PLTU batubara baru di luar negeri. Presiden Xi Jinping menyampaikan komitmen tersebut dalam debat umum sidang ke-76 Majelis Umum Perserikatan Bangsa Bangsa pada 21 September 2021. Ia menyatakan bahwa Cina akan berusaha untuk mencapai puncak emisi karbon dioksida yang dilepaskan sebelum tahun 2030 dan mencapai karbon netral sebelum tahun 2060 dengan cara meningkatkan dukungan untuk negara berkembang lainnya, dalam mengembangkan energi hijau dan rendah karbon,

Hardi Yuda, Direktur Lembaga Tiga Beradik mengatakan, pernyataan tersebut harus segera diterapkan dengan mengevaluasi proyek PLTU batubara. Saat ini yang sudah beroperasi di Sumatera ada 33 pembangkit dengan kapasitas sebesar 3.566,5 megawatt dan 16 pembangkit sebesar 4.450 megawatt yang sedang direncanakan RUPTL 2020-2029. Dari data itu, Cina mendominasi sebagai aktor utama pendanaan di balik PLTU-PLTU itu.

“Beberapa contoh nyata keberadaan PLTU batubara yang sudah memberikan dampak buruk terhadap lingkungan yaitu Nagan Raya di Aceh, Teluk Sepang di Bengkulu, Pangkalan Susu di Sumatera Utara dan sedang tahap konstruksi yaitu PLTU Sumsel 1 di Sumatera Selatan,” kata Hardi Yuda.

Untuk Provinsi Jambi, ia mengatakan, PLTU Samaran, Kabupaten Sarolangun, berdampak kepada memburuknya situasi lingkungan dan kesehatan warga.

Selain itu dalam proses konstruksi dibangun PLTU Jambi 1, dan masih tahap perencanaan untuk PLTU Jambi 2 dengan daya masing-masing 2×300 megawatt. Jika agenda ini terus berlangsung dipastikan akan berdampak buruk, seperti berkurang bahkan hilangnya ruang hidup bagi masyarakat, kemiskinan jangka panjang, buruknya situasi lingkungan maupun kesehatan, dan konflik horizontal.

“Kami meyakini dampak PLTU batubara relatif sama di setiap wilayah yang ada di Sumatera. Apalagi ini PLTU mulut tambang batubara,” katanya. (riki/*)

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Posts