Melangun dan Filosofi Kematian Orang Rimba

Tradisi melangun Orang Rimba, foto: ist

Puteri Soraya Mansur*

Sejarah mengajarkan bahwa salah satu ciri kehidupan manusia purba ialah hidup berpindah-pindah atau nomaden. Di zaman sekarang, bentuk nomaden manusia modern tak lagi merujuk pada konsep layaknya manusia purba melainkan mobilitas hidup yang tinggi dari satu wilayah ke wilayah lainnya. Salah satu gaya hidup yang dilakukan oleh manusia modern ialah travelling.

Di tengah perubahan-perubahan yang dialami oleh manusia modern, cara hidup nomaden sampai saat ini juga masih diterapkan oleh satu di antara suku terasing yang ada di Indonesia yaitu Orang Rimba.

Konsep nomaden yang dilakukan oleh Orang Rimba tidak hanya berkaitan dengan cara memperoleh makanan untuk bertahan hidup, melainkan salah satu adat sebagai bagian tata upacara hidup. Menurut Adi Prasetijo, salah satu pionir fasilitator Orang Rimba KKI Warsi, menyatakan bahwa tahapan penting dalam kehidupan Orang Rimba yaitu kehamilan, kelahiran, perkawinan, dan kematian.

Setiap tahapan memiliki peranan penting di dalam kehidupan Orang Rimba yang diatur dalam hukum adat mereka. Di antara keempat tahapan hidup itu, kematian merupakan akhir dari rangkaian hidup manusia di dunia sehingga Orang Rimba menciptakan adat yang bersifat nomaden yaitu melangun (berarti hidup mengembara di hutan). Melangun mengandung makna yang dalam sekaligus filosofis.

Adi Prasetijo juga menyatakan dalam bukunya berjudul “Serah Jajah dan Perlawanan yang Tersisa Etnografi Orang Rimba di Jambi” bahwa Melangun merupakan tradisi meninggalkan genah (tempat tinggal) secara bersama-sama menuju ke genah baru apabila ada anggota keluarga yang meninggal dunia. Orang Rimba harus meninggalkan ladang, hasil ladang, dan rumah untuk pindah ke tempat lain.

Biasanya daerah yang dituju ialah daerah bekas garapan mereka dahulu yang telah lama ditinggalkan atau tempat-tempat lain yang dianggap mempunyai sumber makanan yang cukup melimpah, baik nabati maupun hewani. Orang Rimba hidup dengan beberapa kelompok yang tersebar di sekitar Taman Nasional Bukit Dua Belas (TNBD).

Melangun dimulai saat keluarga menunjukkan tanda-tanda akan meninggal. Si sakit tersebut segera diungsikan ke tempat lain dalam sebuah pondok dengan ditunggui oleh keluarga dekatnya (ayah, ibu, anak, dan saudara kandung). Di saat yang sama, anggota keluarga yang lain mempersiapkan melangun dan saat si sakit meninggal, maka melangun pun dilakukan. Para perempuan dan anak-anak meratop (meratap) sejadi-jadinya sembari menyebut nama orang yang meninggal. Adat meratop mirip dengan adat meratap yang dilakukan oleh beberapa suku yang ada di Indonesia, misalnya suku Batak.

Alat-alat yang dibawa saat melangun berupa parang, kujur (tombak), beberapa helai kain, dan peralatan memasak. Selebihnya ditinggalkan di genah yang lama. Guna menandai suatu daerah yang para anggotanya telah melangun, mereka membuat potongan kayu yang ditancapkan di atas tanah tepat di tengah jalan menuju genah lama dan di atas potongan kayu tersebut diletakkan panik secara terbalik.

Anggota keluarga yang meninggal menyiapkan genah pusaron (tempat pemakaman). Genah pusaron biasanya diletakkan di tempat-tempat yang dianggap tersembunyi dan jarang dilalui orang atau disandarkan di pohon banir yang besar.

Genah pusaron berupa panggung seukuran mayat dengan ketinggian dua atau tiga meter lebih sehingga tidak dapat dijangkau oleh binatang buas. Di dalamnya diletakkan peralatan rumah tangga, seperti parang, kujur, periuk, dan kain. Apabila si mayit memiliki anjing peliharaan yang setia, maka ditinggalkan di genah pusaron tersebut.

Peralatan rumah tangga dan kain menjadi bekal bagi arwah dalam mencari makan dan penghidupan di halom (alam) yang lain. Saat anggota keluarga yang lain menemukan genah baru, anggota keluarga laki-laki kemudian kembali ke genah lama untuk mengambil barang-barang, terutama kain-kain yang dapat digunakan untuk membayar denda adat apabila mereka melakukan kesalahan.

Berdasarkan penjelasan mengenai upacara melangun, pada dasarnya adat tersebut terbagi menjadi tiga tahap yaitu awal, inti, dan akhir. Melangun awal dilakukan pada saat menjelang si sakit menemui ajal, melangun inti terjadi ketika si sakit meninggal, pembuatan genah pusaron, dan pergi menuju genah baru. Melangun inti menjadi proses  melangun terpanjang karena memerlukan waktu hingga bertahun-tahun. Setidaknya sekitar enam tahun untuk kembali ke genah lama, tetapi perkembangan selanjutnya paling lama hanya tiga bulan saja karena ancaman perusahaan-perusahaan perkebunan di sekitar TNBD. Tahapan melangun akhir terjadi saat Orang Rimba kembali ke genah lama.

Selain pembagian tahapan tersebut, hakikat melangun dapat dilihat dari setiap tahapan maupun prosesi secara keseluruhan. Setiap tahapan memiliki makna, seperti tahapan melangun awal bahwa perlu ada persiapan sehingga arwahnya bisa menuju alam keabadian (halom) dengan ditemani sanak-saudara yang menjadi orang-orang terdekat di dunia. Sanak-saudara juga yang memberikan genah pusaron yang menjadi tempat peristirahatan terakhir sebagai bentuk penghormatan mereka kepada si mayat.

Orang Rimba juga sangat menghargai tubuh si mayat supaya tidak dicabik-cabik oleh binatang buas sehingga dibuat setinggi mungkin supaya raga tersebut membusuk alami. Bahkan anjing setia yang dimiliki si mayat dijadikan sebagai penjaga tuannya yang sudah tiada itu.

Meratop memiliki hakikat kesedihan dalam akan kematian yang wajib diperlihatkan oleh perempuan dan anak-anak sebagai kaum yang paling dilindungi. Mereka meraung sebagai tanda kesedihan yang mendalam atas kehilangan salah satu bagian dari kelompok mereka. Hakikat kesedihan itu tidak hanya berhenti dalam meratop melainkan mewujud dalam rangkaian inti yang memiliki jangka waktu terpanjang yaitu pergi dari genah. Semakin lama meninggalkan genah lama semakin menunjukkan dalamnya kesedihan yang dialami Orang Rimba. Bahkan makin keras raungan makin jauh mereka melangun ke genah baru.

Menurut Mardiyah Chamim, melangun adalah sebentuk pernyataan cinta kasih dan kenangan pada orang, kerabat, dan keluarga yang telah meninggal. Semacam upacara in memoriam mengenang seseorang. Baik manusia dalam sekumpulan suku terasing seperti Orang Rimba maupun manusia modern yang banyak menghuni dunia saat ini, mereka hanya mengalami perubahan saja dalam menjalankan segala prosesi budaya yang melingkupinya, namun hakikatnya dari seluruh prosesi tetap sama. Terlebih saat melihat kematian sebagai satu rangkaian akhir di dunia sekaligus awal dari kehidupan selanjutnya.

 

*Puteri Soraya Mansur, alumni Magister Sejarah UGM yang mengajar di SMAN 10 Batanghari.

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Posts