Yusak Adrian Hutapea Menyalakan Suluh di Tengah Rimba

Puteri Soraya Mansur*

Orang-orang yang bekerja dalam senyap memang jarang sekali tersorot oleh kamera yang membuat mereka terlihat gemerlap. Lebih-lebih bagi mereka yang meninggal dalam pelukan kesenyapan saat tubuhnya mendedikasikan diri dalam kerja.

Orang-orang seperti mereka harus ‘dihidupkan’ kembali supaya kita sebagai penghuni bumi yang makin tua ini jangan sampai melupakan kerja-kerjanya selama menghirup nafas di dunia yang senantiasa mengalami perubahan. Salah satu tokoh yang harus ‘dihidupkan’ kembali ialah pionir pendidikan yang sering dipanggil Yusak. Mengapa ia perlu ‘dihidupkan’ kembali?

Antropolog dari Kampus Biru

Orang tuanya memberi nama Yusak Adrian Panca Pangeran Hutapea karena lahir bertepatan dengan peringatan Hari Lahir Pancasila pada 1 Juni 1967. Yusak lahir setelah ibunya mengandung selama sebelas bulan. ‘Pertapaan’ bayi Yusak lebih lama ketimbang bayi pada umumnya mungkin yang membuat ia menjadi pribadi pendiam dan penyabar.

Ia berasal dari keluarga yang cukup berada. Ayahnya, W.P. Hutapea merupakan pegawai di Stanvac yang setelah dinasionalisasi oleh pemerintah Indonesia menjadi Pertamina. Ibunya, Roosni Simatupang, memiliki darah dari seorang pejuang kemerdekaan bernama Abdul Djafar Simatupang. Presiden Sukarno kala itu pernah berkunjung dan menginap di rumah kakeknya di Subang.

Yusak menempuh pendidikan formal mulai 1973 di TK Patra Pertamina, Rawamangun, Jakarta. Lantas pada 1974, ia melanjutkan di SD Tarakanita V, Jakarta. Setelah tamat SD, kemudian ia lanjut ke SMP Tarakanita IV pada 1980. Pendidikan menengah ia tempuh di SMAN Teladan Jakarta pada 1983.

Saat ia lulus dari SMA pada 1986, kemudian mengikuti Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (Sipenmaru) tetapi gagal. Tak menyerah atas kegagalan itu, ia mendaftar dan lulus di Jurusan Tenik Pertambangan Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Yogyakarta. Dua tahun kemudian, ia mengikuti Sipenmaru lagi dan diterima di Jurusan Antropologi Universitas Gadjah Mada (UGM).

Yusak menempuh kuliah cukup lama selain karena kuliah di dua kampus, ia juga mengikuti kegiatan kampus yang cukup menyita waktu yakni kelompok mahasiswa pecinta alam, baik di Mahameru (UPN Veteran Yogyakarta) maupun Mapagama (UGM). Ia juga seorang pribadi yang mandiri selama kuliah karena berusaha untuk bekerja di beberapa tempat yang nantinya berguna saat bergabung dengan salah satu Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang menangani kelompok marjinal di Jambi.

Yusak lulus kuliah di UGM pada akhir tahun 1997 dan wisuda pada Agustus 1998. Kuliahnya di UPN Veteran Yogyakarta tidak diselesaikan. Ia memilih menjadi seorang antropolog dari Kampus Biru ketimbang menjadi penerus ayahnya di bidang pertambangan.

Menyalakan Suluh di Tanah Makekal

Yusak melamar kerja sebagai fasilitator Pendidikan Budaya dan Lingkungan (PBL) di Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi pada 24 Januari 1998. Secara resmi, ia bergabung pada Maret 1998 setelah melakukan wawancara dengan beberapa staf Warsi pada waktu itu. Pertimbangan Yusak diterima menjadi fasilitator PBL selain karena seorang antropolog, ia juga berpengalaman sebagai tenaga pengajar dan pengelola lembaga kursus di Yogyakarta sewaktu masih berstatus mahasiswa.

Satu bulan pertama bergabung di Warsi, Yusak melakukan observasi ke Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD) yang menjadi rumah bagi Orang Rimba, salah satu kelompok marjinal di Jambi. Yusak menjelajah rimba tersebut demi menemui Orang Rimba. Ia berhasil memetakan Orang Rimba yang akan menjadi bidikannya dalam proyek pendidikan yang akan ia rancang. Tanah Makekal Ulu dan Hilir menjadi bidikan pertamanya.

Saat rapat koordinasi, ia mengusulkan untuk membuat ‘kurikulum’ pendidikan khusus layaknya ‘kurikulum’ pendidikan yang diberikan Rama Y.B. Mangunwijaya pada anak-anak jalanan di bantaran Kali Code, Yogyakarta. Ia juga mengusulkan untuk magang di sana. Usul tersebut disetujui dan ia magang selama satu bulan.

Sekembalinya dari Yogyakarta, Yusak menyusun “Framework Pilot project Pendidikan Orang Rimba di Makekal Ulu dan Hilir” dan terjun ke rimba kembali. Framework-nya ‘sederhana’ tetapi telah mengurai permasalahan bagi Warsi sehingga menjadi pijakan awal pendidikan Orang Rimba. Framework itu terdiri dua bagian yaitu (1) Kajian Awal, serta Identifikasi dan Inventarisasi (kerja bulan pertama); (2) Skema Sistem Pendidikan Orang Rimba (kerja bulan kedua hingga Yusak menghembuskan nafas terakhirnya pada 25 Maret 1999).

Skema Sistem Pendidikan Orang Rimba terdiri dari: (1) Kajian Awal; (2) Identifikasi dan Inventarisasi; (3) Kajian Tindak Lanjut; (4) Pendidikan Dasar Awal bagi Orang Rimba; (5) Penutup. Pendidikan Dasar Awal bagi Orang Rimba menjadi inti dari skema tersebut, meliputi aksara, baca-tulis, tingkah laku belajar, kesehatan masyarakat, lingkungan, masalah sosial, serta menyerahkan peserta didik kepada tenaga pendidik berikutnya.

Yusak menyusun ‘kurikulum’ bagi Orang Rimba menyesuaikan dengan kondisi dan keinginan Orang Rimba. Mereka tak ingin pendidikan mengubah adat Orang Rimba yang menjadikan rimba sebagai rumah. Mereka memiliki budaya melangun atau berpindah tempat tetapi memiliki genah (tempat) sebagai konsentrasi sebaran kelompok-kelompok Orang Rimba.

Yusak mengikuti keberadaan Orang Rimba untuk memberikan pendidikan pada mereka. Ia tak hanya memberi pelajaran tetapi juga belajar tetang tata cara hidup mereka. Ia begitu menyatu dengan kelompok marjinal itu sehingga ilmu yang diperolehnya saat kuliah sungguh tak sia-sia.

Hiruk-pikuk Reformasi tak menyulutkan semangat Yusak untuk kembali ke rimba pada 25 Juli 1998. Ia mengawali pembelajarannya pada 27 Juli 1998 dengan tiga murid, Ternong, Pengusai, dan Beseling. Mereka belajar tanpa mengenal seragam, gedung, bahkan alat-alat yang digunakan masih sangat sederhana. Yusak memanfaatkan dinding pondok tempat tinggal mereka untuk mengajarkan huruf dan angka.

Bagi Yusak, pembelajaran untuk Orang Rimba bisa di mana saja dan kapan saja. Tak perlu benda-benda, model, atau teori laiknya pendidikan formal, karena yang diperlukan adalah persahabatan yang tulus.

Yusak tidak hanya menyalakan suluh di tengah rimba tetapi ia menyiapkan skema tersebut untuk generasi penerusnya. Solusi jangka panjang telah disiapkan oleh Yusak sehingga penerusnya tinggal mengembangkannya sesuai kebutuhan dan perubahan yang dialami oleh Orang Rimba. Terdapat puluhan fasilitator penerus Yusak yang hingga saat ini masih berpatokan pada skema pendidikan Orang Rimba tersebut di bawah naungan Warsi. Oleh karena itu, sosok Yusak memang layak untuk ‘dihidupkan’ kembali supaya tak hanya dikenang dan diakui kerjanya oleh orang-orang yang mengenalnya, tetapi oleh seluruh umat manusia. Ia merupakan pahlawan kemanusiaan bagi Orang Rimba.

Meski tubuh Yusak tiada lagi, tetapi cinta dan citanya pada Orang Rimba akan selalu abadi dan tergambar dengan jelas melalui dua bait sajak gubahannya ini:

Sore di Makekal Ulu

Mentari mulai redup
Kala kududuk sendiri memandang pondokku
Terdengar di dalam suara anak-anak
Mengeja satu demi satu huruf untuk membaca

Aku masih duduk sendiri
Ditemani secangkir kopi susu yang mulai dingin
Satu demi satu jangkrik mulai melompat.

 

*Alumni Magister Sejarah UGM yang mengajar di SMAN 10 Batanghari

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Posts
Read More

Sengsara Kaum Tani

Puluhan petani perempuan berada di barisan paling depan. Sembari menuntun anak-anak, mereka membentangkan spanduk bertuliskan berbagai tuntutan petani.…