Jambi, Kilasjambi.com- Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jambi kembali mengingatkan aktivitas manusia yang ekstraktif menjadi tindakan yang merusak lingkungan dan dapat mengantarkan manusia pada kiamat lebih cepat. Krisis iklim, emisi gas rumah kaca, hingga pemanasan global sangat berkaitan dengan ulah manusia.
Hal ini disampaikan Dwi Nanto dalam workshop meliput isu lingkungan dalam rangkaian Konferta ke-V AJI Jambi yang berlangsung di Mahligai Tower, Telanaipura, Kota Jambi, Sabtu (2/3/2024). Puluhan mahasiswa, sejumlah dosen, dan jurnalis yang hadir dalam kegiatan itu, tidak hanya memahami tentang bahayanya krisis iklim tetapi juga mempelajari bagaimana memitigasinya.
Manajer Kajian dan Penguatan Informasi Walhi Jambi Dwi Nanto mengatakan bahwa sekitar 8 miliar manusia tentu memiliki masalahnya masing-masing. Tetapi, kehancuran bumi atau lingkungan adalah masalah umat manusia bersama, sesuai pernyataan WHO. Sebanyak 14 negara sepakat bahwa krisis iklim menjadi ancaman terbesar bagi umat manusia.
“Pandemi COVID-19 sebelumnya dianggap ancaman terbesar umat manusia. Nah statmen ini tiba gugur setelah adanya hasil penelitian di 14 negara. Sebanyak 70 persen responden dari 14 negara sepakat krisis iklim menjadi ancaman umat manusia yang terbesar dari ancaman penyakit menular,” katanya.
Dwi pun mengatakan emisi gas rumah kaca semakin terasa dan mengkhawatirkan. Ia menjelaskan bumi sebenarnya tidak hanya menerima panas matahari, tetapi juga ‘memantulkan’ panas karena bumi tidak bisa menerima 100 persen panas matahari.
“Celakanya, saat pulang ‘kampung’, panas matahari terbentur di atmosfer. Kenapa seperti itu? karena atmosfer sudah rusak. Ini karena aktivitas manusia yang ‘merilis’ karbon dioksida seperti dari aktivitas pertambangan batu bara, pembakaran lahan gambut, dan sebagainya,” ujar Dwi.
Pemanasan global atau kenaikan suhu, kata Dwi, sengat erat kaitannya dengan aktivitas yang melepaskan karbon dioksida (CO2) serta perusakan sumber oksigen (O2). “Kita membongkar batu bara, mengebor minyak, pakai AC, ini aktivitas yang memproduksi CO2. Kemudian kita menghilangkan petugas yang membuat O2, yakni pohon. Jadi, kita menambang batu bara sekaligus melakukan deforestasi,” katanya.
Aktivitas-aktivitas yang merusak lingkungan kemudian mendukung laju perubahan iklim yang ditandai musim yang tidak menentu dan sulit diprediksi. “Kemarau dan musim hujan sudah tidak jelas,” kata Dwi.
Ahmad Riki Sufrian, Ketua AJI Jambi periode 2021-2024, berharap para peserta dalam workshop ini dapat memiliki pengetahuan mendalam terkait masalah lingkungan dan perubahan iklim. Sehingga mahasiswa dan mahasiswi bisa lebih kritis lagi serta ke depan bisa memperjuangkan kelestarian lingkungan.
“Kita berharap juga presiden yang terpilih nanti, bisa perhatian terhadap isu lingkungan. Kita pun berharap Indonesia masih menjadi paru-paru dunia,” ujar Riki.
Walhi Jambi–sebuah lembaga yang fokus dalam isu lingkungan hidup turut serta berpartisipasi dalam Workshop yang merupakan rangkaian Konferta AJI Jambi.
Workshop ini digelar sebelum kegiatan utama Konferta ke-V AJI Jambi. Konferta merupakan konferensi yang diselenggarakan setiap tiga tahun untuk melakukan pergantian pengurus AJI.
2 comments