KILAS JAMBI – Sekumpulan anak kecil menyusuri jalan cor beton di tepian Batanghari. Satu persatu bocah-bocah ini mengikuti gerombolan pemuda yang bersiap memulai tradisi main Topeng Labu Desa Muarajambi di ujung dusun. “Jadi main topeng bang,” tanya salah satu anak kecil. “Iyo sebentar lagi,” jawab seorang pemuda dengan Megafon di tangannya.
Main Topeng Labu merupakan tradisi tahunan yang ada di Desa Muarajambi, Kabupaten Muarojambi, Jambi. Sudah dilakukan secara turun temurun sejak ratusan tahun lalu. Setiap hari pertama Idulfitri, hampir dipastikan tradisi ini bakal digelar. Namun, di tengah pandemi COVID-19, banyak warga yang mengira main Topeng Labu bakal tidak digelar. Sehingga, sepanjang perjalanan menuju titik dimulainya main topeng, banyak warga yang bertanya apakah main Topeng Labu tetap digelar atau tidak.
Tak berapa lama, gerombolan pemuda yang sudah selesai mengenakan topeng, pakaian dan berbagai perangkat lainnya berkumpul. Salah satu pemuda memimpin doa kemudian dilanjutkan arahan dari pimpinan kelompok ini. “Main topeng tahun ini kita tidak bersalaman dengan warga dan masing-masing pemain topeng menjaga jarak minimal dua meter satu sama lainnya,” kata Abdul Haviz kepada para pemain topeng, Minggu (24/5).
“dung..dung..dung,” suara gong mulai dibunyikan. Serentak, para pemain topeng mulai berjalan menyusuri jalan setapak dusun Muarajambi. Setiap rumah yang dilalui, para pemiliknya sudah menunggu di atas teras. Mereka melambai-lambaikan tangan kepada para pemain topeng. “Tetap di rumah, jangan bersalaman, kami sudah memaafkan,” teriak salah satu pemuda sepanjang perjalanan menggunakan Megafon.
Abdul Haviz, pemuda pelestari tradisi dan budaya Desa Muarajambi menyampaikan, bagi masyarakat Desa Muarajambi jika tidak ada main topeng di hari pertama lebaran seperti tidak merasakan suasana lebaran. “Main topeng ini selalu ditunggu masyarakat,” kata pria yang akrab disapa Ahok ini.
Memang konsep yang mereka tampilkan pada tahun ini sedikit berbeda dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Karena, mereka tetap berupaya menjalankan protokol kesehatan penanganan COVID-19. Setiap pemain topeng menjaga jarak, menggunakan masker dan sarung tangan. “Tidak dibolehkan berjabatan tangan dengan warga,” ungkapnya.
Padahal, jika tidak dalam kondisi pandemi COVID-19, mereka akan ke rumah-rumah warga yang dilewati untuk bersalam-salaman. Bahkan, tak jarang warga memberikan makanan, minuman hingga uang lelah para pemain topeng. “Tapi main topeng tahun ini tetap tidak menghilangkan suasana siltarahmi antar warga Desa Muarajambi pada tradisi topeng labu,” jelasnya.
Sementara itu, Mukhtar Hadi, Pelestari kesenian Topeng Labu Muara Jambi mengisahkan, tradisi Topeng Labu sempat hilang. Seiingatnya akhir tahun 1990 sampai akhir tahun 2000, tradisi ini tidak dimainkan. Pemuda setempat enggan memainkannya dengan berbagai alasan untuk hal itu.
Gelisah dengan ancaman kepunahan, pada 2009, usai menyelesaikan kuliah di IAIN Sultan Thaha Saipudin Jambi, Borju berinisiatif mengangkat kembali tradisi Topeng Labu di desanya. Dengan beberapa pemuda Desa Muara Jambi, dirinya mulai mencari labu manis yang sudah tua di sawah-sawah warga. Proses kreatif mulai mereka lakukan.
“Saya berpikir, kalau tradisi ini hanya muncul setahun sekali di hari lebaran, kesenian ini tidak akan dikenal orang di luar Desa Muara Jambi,” ungkap pria 36 tahun ini.
Akhirnya, Borju berupaya membawa Topeng Muara Jambi ke beberapa kegiatan di Kota Jambi. Seperti pawai budaya, pergelaran seni, hingga festival-festival pariwisata. “Upaya mengenalkan permainan topeng labu ini akhirnya mulai memperlihatkan hasilnya,” kata Borju.
Kini, setidaknya usaha mereka untuk mempertahankan tradisi daerah tersebut bisa dibilang berhasil. Main Topeng Labu menjadi salah satu tradisi yang selalu dinanti masyarakat sekitar Desa Muara Jambi saban hari pertama lebaran.
Ada satu cerita yang hingga saat ini bertahan mengenai keberadaan topeng labu tadi. Cerita itu tak lepas dari penyakit kusta. Dahulu, kata Borju, Desa Muara Jambi pernah terserang wabah Kusta. “Penyakit kukut kalau orang sini bilang,” kata Borju.
Orang yang terkena kusta di kampung zaman dahulu akan diasingkan ke dalam hutan, Ngutan istilah mereka. Ketika hari raya Idulfitri, orang yang terkena kusta ini memiliki kerinduan untuk kembali ke kampung untuk bertemu keluarga.
Sehingga, digunakan media labu untuk menutupi wajah agar tidak dikenali warga kampung.
“Ternyata kehadiran orang bertopeng ke kampung, menjadi hiburan bagi warga desa. Kemudian, warga desa memberikan makanan dan minuman kepada orang yang terkena kusta ini untuk dibawa ke dalam hutan,” jelasnya.
Dari cerita ini, mereka meyakini, bahwa ada pesan kesetaraan sesama manusia. Tidak ada manusia yang layak dikucilkan dan direndahkan. Semua orang harus mendapatkan perlakuan yang sama. “Di tengah wabah, tradisi topeng labu ini mengajarkan kita untuk tetap menjaga silaturahmi dan memberikan dukungan kepada orang-orang yang terserang wabah penyakit,” pungkasnya. (Ramond)