Pola Hubungan Dominasi antara Orang Melayu dan Orang Rimba

Oleh Herma Yulis*

SELALU ada sesuatu yang menarik saat membaca buah karya seorang antropolog. Barangkali, karena mereka menuliskan apa yang dilihat, dialami, dan dirasakan langsung saat melakukan interaksi dalam sebuah penelitian, sehingga tulisan yang dihasilkan menjadi bernas dan tetap memikat.

Antropolog bisa menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk mempelajari budaya masyarakat yang menjadi objek penelitian. Demikian pula halnya yang dilakukan Adi Prasetijo ketika meneliti kelompok Orang Rimba di Jambi.

Dia melakukan kajian yang mendalam terkait pencarian jati diri Orang Rimba dalam hubungan dominasi yang terjadi antara orang Melayu dan Orang Rimba di daerah Air Hitam, Bukit Duabelas, Jambi. Penelitian ini dilakukan pada kelompok Tarib, kelompok Air Panas, dan kelompok Nyai. Hasil kajiannya selama tinggal dan berbaur bersama Orang Rimba itu dituliskan dalam buku Serah Jajah dan Perlawanan yang Tersisa: Etnografi Orang Rimba di Jambi.

Melalui buku ini Adi Prasetijo berusaha menyuguhkan kehidupan Orang Rimba di Jambi beserta segala persoalan pelik yang dihadapi oleh kelompok minoritas tersebut. Sebab, tanpa kita sadari, Orang Rimba sebenarnya sudah mengalami diskriminasi selama puluhan atau mungkin ratusan tahun lalu.

Diskriminasi yang terjadi dalam bentuk peminggiran ini dapat dilihat melalui proses dominasi kuat yang masih berlangsung hingga masa kini. Hubungan dominasi orang Melayu terhadap Orang Rimba merupakan sebuah hubungan antarsuku bangsa yang terwujud secara lokal.

Pada kasus Orang Rimba Air Hitam, proses dominasi dari Orang Melayu terjadi dalam beberapa domain, antara lain perubahan agama, perubahan pola hidup, dan perubahan pola pencaharian, yang intinya adalah perubahan kebudayaan Orang Rimba menjadi kebudayaan yang dinilai lebih beradab dan manusiawi menurut cara pandang orang Melayu dan pihak pemerintah.

Meskipun perubahan itu bagi Orang Rimba bukanlah suatu hal yang mudah untuk dilakukan. Kondisi ini menjadikan Orang Rimba berada pada posisi sulit. Di satu sisi mereka tak memiliki kuasa untuk menolak, namun di sisi lain perubahaan yang ditawarkan bertolak belakang dengan budaya dan cara hidup mereka selama ini.

Dalam pandangan Orang Rimba, antara dunia mereka dan dunia orang Melayu adalah dua hal yang teroposisi kuat: Orang Rimba dengan ciri hidup nomaden, hidup bergantung dari hutan, dan memegang teguh agama yang diturunkan oleh nenek moyang; di sisi lain Orang Melayu hidup dengan segala ciri yang mencerminkan masyarakat umumnya, yakni Islam, hidup menetap, berkampung, dan mempunyai pola pencaharian sebagaimana layaknya masyarakat yang ada di desa Melayu. (halaman vi)

Dalam kajian ini, penulis berusaha memperlihatkan bagaimana pola-pola pendominasian orang Melayu terhadap Orang Rimba menurut sudut pandang Orang Rimba sebagai pihak minoritas. Selanjutnya, bagaimana reaksi Orang Rimba terhadap pendominasian yang hampir terjadi di segala sektor kehidupan mereka.

Sistem Pajak Orang Rimba

Salah satu aspek yang menarik dari buku ini adalah deskripsi tentang serah jajah, sebuah praktik yang merupakan lambang dari hubungan dominasi-minoritas antara orang Melayu dan Orang Rimba. Sejak zaman kesultanan, pihak Kesultanan Melayu Jambi menganggap bahwa Orang Rimba Air Hitam di Bukit Duabelas merupakan bagian dari masyarakat marga Air Hitam, sehingga kepada mereka tetap diberlakukan hukum-hukum dan prinsip-prinsip adat yang berlaku di Kesultanan Melayu Jambi.

Adapun bentuk pengakuan orang Melayu terhadap keberadaan Orang Rimba di Air Hitam berupa pengakuan wilayah pengembaraan mereka di Air Hitam, merujuk seloko adat yang menyatakan pangkal waris Tanah Garo, ujung waris Tanah Serenggam, Air Hitam tanah bejenang. Berdasarkan seloko adat ini Orang Rimba mengakui mempunyai waris yang ada di Tanah Garo dan Tanah Serenggam, serta jenang di daerah Air Hitam. (halaman 120)

Selanjutnya, hubungan antara Orang Rimba dan orang Melayu diatur oleh tatanan struktur berdasarkan hubungan ekonomi antar keduanya. Hubungan itu berdasarkan atas aturan serah naik jajah turun dengan tujuan menjamin kelancaran alur distribusi pajak (jajah) dari Orang Rimba kepada pihak Kesultanan Melayu Jambi pada masa lalu. Waris dan Jenang diangkat oleh pihak kesultanan dengan fungsi sebagai penarik jajah sekaligus sebagai orang yang mengurusi mereka. Waris dan Jenang kemudian juga bertugas sebagai penghubung antara Orang Rimba dan dunia luar. (halaman 263)

Hubungan antara Orang Rimba dan orang Melayu yang terjalin sejak masa Kesultanan Melayu Jambi tak dapat dipisahkan dengan interaksi antara ulu dan ilir. Masyarakat ulu adalah kelompok masyarakat yang masih hidup berkelompok dan memiliki sumber daya alam yang melimpah.

Orang Rimba termasuk bagian dari masyarakat ulu. Sementara masyarakat ilir tidak memiliki limpahan sumber daya alam sebagaimana di ulu. Namun, sebagai kelompok yang dominan, sejak dulu masyarakat ilir berusaha menguasai kehidupan masayarakat ulu karena mereka membutuhkan sumberdaya alam seperti jernang dan getah balam sebagai komoditas dagang untuk dijual ke pasar internasional seperti di Selat Malaka.

Upaya ini dilakukan dengan tindakan fisik seperti penguasaan lahan, perbudakan, penculikan anak gadis, dan penghancuran desa; juga dengan cara membangun suatu tatanan sedemikian rupa yang mengikat masyarakat ulu kepada masyarakat ilir. Konsep pajak serah naik jajah turun dan pembagian masyarakat ke dalam kalbu-kalbu berdasarkan kedekatan pekerjaannya kepada kesultanan, serta peran waris dan jenang yang berkuasa, merupakan bukti dari upaya masyarakat ilir dengan dukungan Kesultanan Melayu Jambi untuk menguasai masyarakat ulu. (halaman 254)

Meskipun masa Kesultanan Melayu Jambi telah lama berakhir, akan tetapi Orang Rimba masih tetap hormat dan bergantung pada waris dan jenang yang dianggap sebagi pelindung bagi mereka jika berurusan dengan orang luar.

Orang Rimba lalu bekerja pada waris dan jenang dengan imbalan yang sangat sedikit karena alasan diikat oleh adat. Orang Rimba masih memandang waris dan jenang dengan peran semasa Kesultanan Melayu Jambi, yaitu sebagai penghubung dan pengayom mereka ketika ada masalah dengan orang luar. Mereka memandang waris dan jenang adalah orang-orang yang baik dan selalu ada untuk mereka ketika masalah muncul. (halaman 266)

Buku ini juga menggambarkan perubahan yang terjadi dalam kehidupan Orang Rimba sebagai akibat dari perubahan sosial dan ekonomi yang terjadi di sekitar mereka. Perubahan tersebut meliputi hilangnya hutan dan sumber daya alam yang menjadi sumber kehidupan mereka, serta pengaruh dari budaya Melayu dan budaya modern yang semakin merambah ke daerah mereka.

Buku ini memberikan gambaran yang jelas tentang tantangan yang dihadapi oleh Orang Rimba dalam menghadapi perubahan tersebut dan bagaimana mereka berusaha untuk mempertahankan kehidupan tradisional mereka.

Ini adalah karya etnografi yang penting dan layak dibaca bagi siapa saja yang ingin mempelajari lebih lanjut mengenai kehidupan Orang Rimba di Jambi. Buku ini memberikan gambaran yang mendalam tentang perbedaan budaya dan adat istiadat antara kedua kelompok tersebut, serta bagaimana hubungan dominasi minoritas terbentuk antara mereka. Membaca buku ini juga akan memberikan inspirasi bagi pembaca untuk terus memperjuangkan hak asasi manusia dan memerangi segala bentuk diskriminasi dan ketidakadilan sosial yang selalu ada di sekitar kita.

 

Judul buku      : Serah Jajah dan Perlawanan yang Tersisa, Etnogafi Orang Rimba di Jambi

Penuklis           : Adi Prasetijo

Penerbit           : Wedatama Widya Sastra, Jakarta

Tahun terbit    : Cetakan pertama, 2011

Tebal buku      : xvii + 298 halaman

ISBN                : 978-979-3258-89-8

 

*Herma Yulis, (pencinta buku, tinggal di Batanghari)

Tulisannya berupa cerpen, artikel, opini, esei, dan resensi buku pernah dimuat di koran Kompas, Koran Tempo, Nova, Suara Pembaruan, Seputar Indonesia (SINDO), Jurnal Nasional (Jurnas), Media Indonesia, Kedaulatan Rakyat, Suara Pembaruan, Suara Merdeka, Majalah Mata Baca, Majalah Medium, Jambi Independent, Minggu Pagi, Jurnal Seloko, Scientific Journal, dan Kilasjambi.com. Tahun 2016, bersama Puteri Soraya Mansur menerbitkan buku kumpulan cerpen Among-Among

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Posts
Read More

Gaharu, Siapa Berminat?

Jon Afrizal* Hampir seluruh agama di dunia menggunakan kayu gaharu (eaglewood) sebagai perlengkapan ibadah. Mulai dari tasbih hingga…